Kunjungi Universitas Edinburgh Skotlandia, Al Azhar Siap Jadi Kampus Ramah Disabilitas
Senin, 18 Maret 2024 - 22:13 WIB
JAKARTA - Regulasi yang jelas, sinergi antar elemen, dan dukungan fasilitas menunjukkan komitmen negara-negara maju dalam memperhatikan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang inklusif dan ramah disabilitas.
Di Universitas Edinburgh (University of Edinburgh / UoE), Skotlandia misalnya, masalah ini sudah benar-benar ditangani secara terintegrasi dan terus menerus diinovasi.
Demikian catatan penting perjalanan tiga dosen muda dari Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia selama lebih dari sepekan di Skotlandia, khusus di Universitas Edinburgh pada 4-8 Maret lalu. Kegiatan ini merupakan implementasi hibah bertajuk “UK-ID Disability Inclusion Partnership Grant” dari British Council Indonesia.
Selama di UoE, tim dosen ini disambut Professor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES) yang tahun ini sedang merayakan 175 tahun berdiri. Sambutan dari para staff memberikan rasa hangat di tengah suhu 0 derajat kota Edinburgh yang juga tercatat sebagai situs warisan dunia UNESCO pada 1995.
”Di Skotlandia, kalau sekolah atau kampus menolak calon mahasiswa disabilitas itu termasuk pelanggaran, ilegal. Jadi, mau tidak mau harus dan karenanya, perguruan tinggi dan sekolah tidak bisa bekerja sendirian,” kata Cut Meutia Karolina yang berkunjung ke Edinburgh bersama Edoardo Irfan dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Gusmia Arianti, Senin (18/3/2024).
Menurut Gusmia, kegiatan bersama dan kunjungan ini sangat penting bukan hanya bagi UAI, tapi untuk pendidikan tinggi di Indonesia secara umum. ‘’Buat kami, ini merupakan bekal penting mempersiapkan diri sebagai kampus ramah disabilitas. Kelak, kami juga bisa sharing ke masyarakat luas. Kami belajar kepada institusi yang tepat karena MHSES kan ranking satu di Skotlandia dan peringkat ke-13 dunia untuk subjek pendidikan,’’ kata Kaprodi Ilkom UAI Arianti.
Edo, sapaan Edoardo Irfan, juga mengamini hal ini. Di Skotlandia, Edo melihat pendidikan tinggi ramah disabilitas lebih dari sekadar pelaksanaan regulasi. ‘’Mereka sudah lama melakukan ini dengan serius, fokus, dan sinerginya dengan para stakeholders luar biasa. Sehingga pendidikan inklusif itu benar-benar jadi budaya,’’ kata Edo.
Di Universitas Edinburgh (University of Edinburgh / UoE), Skotlandia misalnya, masalah ini sudah benar-benar ditangani secara terintegrasi dan terus menerus diinovasi.
Demikian catatan penting perjalanan tiga dosen muda dari Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia selama lebih dari sepekan di Skotlandia, khusus di Universitas Edinburgh pada 4-8 Maret lalu. Kegiatan ini merupakan implementasi hibah bertajuk “UK-ID Disability Inclusion Partnership Grant” dari British Council Indonesia.
Baca Juga
Selama di UoE, tim dosen ini disambut Professor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES) yang tahun ini sedang merayakan 175 tahun berdiri. Sambutan dari para staff memberikan rasa hangat di tengah suhu 0 derajat kota Edinburgh yang juga tercatat sebagai situs warisan dunia UNESCO pada 1995.
”Di Skotlandia, kalau sekolah atau kampus menolak calon mahasiswa disabilitas itu termasuk pelanggaran, ilegal. Jadi, mau tidak mau harus dan karenanya, perguruan tinggi dan sekolah tidak bisa bekerja sendirian,” kata Cut Meutia Karolina yang berkunjung ke Edinburgh bersama Edoardo Irfan dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Gusmia Arianti, Senin (18/3/2024).
Menurut Gusmia, kegiatan bersama dan kunjungan ini sangat penting bukan hanya bagi UAI, tapi untuk pendidikan tinggi di Indonesia secara umum. ‘’Buat kami, ini merupakan bekal penting mempersiapkan diri sebagai kampus ramah disabilitas. Kelak, kami juga bisa sharing ke masyarakat luas. Kami belajar kepada institusi yang tepat karena MHSES kan ranking satu di Skotlandia dan peringkat ke-13 dunia untuk subjek pendidikan,’’ kata Kaprodi Ilkom UAI Arianti.
Edo, sapaan Edoardo Irfan, juga mengamini hal ini. Di Skotlandia, Edo melihat pendidikan tinggi ramah disabilitas lebih dari sekadar pelaksanaan regulasi. ‘’Mereka sudah lama melakukan ini dengan serius, fokus, dan sinerginya dengan para stakeholders luar biasa. Sehingga pendidikan inklusif itu benar-benar jadi budaya,’’ kata Edo.
Lihat Juga :
tulis komentar anda