Dikritik karena Muatan Sensitif, Kemendikbud Tegaskan Buku Panduan Sastra Tak Wajib
Jum'at, 31 Mei 2024 - 19:46 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan ( BSKAP ), Anindito Aditomo menegaskan Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra sifatnya tak wajib. Hal ini menyusul dugaan adanya muatan sensitif di buku tersebut.
Panduan itu dibuat sebagai alat bantu untuk mendorong guru supaya ingin menggunakan karya sastra di kelasnya. Karya sastra mana yang cocok untuk SD, untuk SMP, untuk SMA.
"Jadi ini sifatnya tidak wajib ini sifatnya adalah alat bantu. Program ini itu ingin memperkenalkan karya sastra pada anak-anak kita,"kata Anindito kepada wartawan di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Baca juga: Diduga Miliki Muatan Sensitif, Kemendikbudristek Kaji Kembali Buku Sastra untuk SMA
"Jadi tujuannya baik, tujuannya untuk, karena gak ada yang wajib, tujuannya ini buku panduannya ingin membantu guru memilih mana yang cocok kira-kira,"sambungnya.
Buku panduan itu juga berisi disclaimer atau peringatan-peringatan yang kemudian di foto, di screenshot dan disebar dan viral di media sosial tanpa konteks seolah-olah konten-konten ini berbahaya.
Baca juga: Muhammadiyah Minta Kemendikbudristek Tarik Buku Panduan Rekomendasi Sastra dari Peredaran, Kenapa?
"Padahal justru sebaliknya itu adalah upaya guru untuk memberi peringatan kalau pilih buku ini hati-hati, ada konten-konten seperti ini, ada tema-tema seperti ini yang mungkin sensitif. Guru tentu saja boleh tidak menggunakan buku itu karena sekali lagi tidak ada yang wajib, ini sifatnya semuanya adalah alat bantu,"ucapnya.
Namun dia memahami jika adanya hal-hal keliru dan buku panduannya juga perlu diperbaiki. Salah satunya termasuk dari para kurator yang menyampaikan surat kepada Kemendikbudristek yang memberi masukan, memberi kritik terhadap buku panduan itu.
"Karena ada kesalahan kata, misalnya yang paling parah ada sastrawan yang masih hidup tapi ditulis sudah meninggal misalnya. Kemudian ada juga yang kurang pas dalam cara buku panduan itu mereview, memberi komentar, memberi disclaimer pada buku-buku atau karya sastra yang diusulkan jadi tone-nya mungkin terlalu negatif,"katanya.
Namun dia menyayangkan adanya narasi yang hanya memotong bagian-bagian tertentu yang sensitif. Sehingga seolah-olah buku panduan itu mempromosikan bullying, mempromosikan kekerasan seksual padahal sebaliknya.
"Seringkali tema-tema sensitif itu dibahas justru untuk mengkritik, untuk mencegah untuk membicarakan bahwa ini ada masalah di masyarakat kita. Jadi raising awareness bukan sebaliknya kalau dibaca secara utuh, sebenarnya justru sebaliknya, tidak demikian," pungkasnya.
Panduan itu dibuat sebagai alat bantu untuk mendorong guru supaya ingin menggunakan karya sastra di kelasnya. Karya sastra mana yang cocok untuk SD, untuk SMP, untuk SMA.
"Jadi ini sifatnya tidak wajib ini sifatnya adalah alat bantu. Program ini itu ingin memperkenalkan karya sastra pada anak-anak kita,"kata Anindito kepada wartawan di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Baca juga: Diduga Miliki Muatan Sensitif, Kemendikbudristek Kaji Kembali Buku Sastra untuk SMA
"Jadi tujuannya baik, tujuannya untuk, karena gak ada yang wajib, tujuannya ini buku panduannya ingin membantu guru memilih mana yang cocok kira-kira,"sambungnya.
Buku panduan itu juga berisi disclaimer atau peringatan-peringatan yang kemudian di foto, di screenshot dan disebar dan viral di media sosial tanpa konteks seolah-olah konten-konten ini berbahaya.
Baca juga: Muhammadiyah Minta Kemendikbudristek Tarik Buku Panduan Rekomendasi Sastra dari Peredaran, Kenapa?
"Padahal justru sebaliknya itu adalah upaya guru untuk memberi peringatan kalau pilih buku ini hati-hati, ada konten-konten seperti ini, ada tema-tema seperti ini yang mungkin sensitif. Guru tentu saja boleh tidak menggunakan buku itu karena sekali lagi tidak ada yang wajib, ini sifatnya semuanya adalah alat bantu,"ucapnya.
Namun dia memahami jika adanya hal-hal keliru dan buku panduannya juga perlu diperbaiki. Salah satunya termasuk dari para kurator yang menyampaikan surat kepada Kemendikbudristek yang memberi masukan, memberi kritik terhadap buku panduan itu.
"Karena ada kesalahan kata, misalnya yang paling parah ada sastrawan yang masih hidup tapi ditulis sudah meninggal misalnya. Kemudian ada juga yang kurang pas dalam cara buku panduan itu mereview, memberi komentar, memberi disclaimer pada buku-buku atau karya sastra yang diusulkan jadi tone-nya mungkin terlalu negatif,"katanya.
Namun dia menyayangkan adanya narasi yang hanya memotong bagian-bagian tertentu yang sensitif. Sehingga seolah-olah buku panduan itu mempromosikan bullying, mempromosikan kekerasan seksual padahal sebaliknya.
"Seringkali tema-tema sensitif itu dibahas justru untuk mengkritik, untuk mencegah untuk membicarakan bahwa ini ada masalah di masyarakat kita. Jadi raising awareness bukan sebaliknya kalau dibaca secara utuh, sebenarnya justru sebaliknya, tidak demikian," pungkasnya.
(nnz)
tulis komentar anda