Tak Ada Lagi Perbedaan Sekolah Negeri dan Swasta di Surabaya
Senin, 24 Agustus 2020 - 19:13 WIB
SURABAYA - Disparitas antara sekolah negeri dan swasta terus dikikis di Kota Pahlawan. Penyetaraan mutu serta kualitas pendidikan yang sama menjadi kunci.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Eri Cahyadi menuturkan, semuanya harus sepakat bahwa pendidikan 9 tahun itu wajib. Makanya, ke depannya pemkot berkomitmen untuk tidak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan swasta. Sebab, kalau hanya mengandalkan negeri saja tidak cukup.
“Nah, ketika masuk swasta, maka infrastrukturnya juga harus sama, termasuk laboratorium dan sebagainnya harus sama, sehingga kita akan support betul ke depannya, dengan catatan sekolah swasta itu harus menaikkan gradenya,” kata Eri, Senin (24/8/2020). (Baca juga: Pembukaan Sekolah di Zona Kuning dan Hijau Harus Fleksibel )
Salah satu cara yang sudah dilakukan dengan menetapkan rombongan belajar (rombel) setiap sekolah negeri dan swasta sebanyak 32 siswa. Sehingga maksimal masing-masing ada 11 kelas. Artinya, kelas 1 ada 11 kelas, kelas 2 ada 11 kelas dan kelas 3 ada 11 kelas juga.
Bagi sekolah yang rombelnya di atas 32 siswa, katanya, maka pemkot pun terus mencarikan solusinya. Salah satunya dengan menambah kelas lagi. Penambahan kelas itu bukan untuk menerima siswa baru, melainkan untuk menampung siswa yang lebih dari rombel tersebut. Misalnya sudah ada sekolah yang menerima rombel 40 siswa, maka 8 siswa di rombel tersebut harus pindah ke kelas yang baru dibangun.
“Kemarinnya kita sudah hitung-hitungan dengan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) dan pihak guru, jika siswanya sampai 40 orang, guru merasa agak kesulitan untuk menguasai muridnya, sehingga rombel 32 itu sudah cukup,” ucapnya. (Baca juga: Ditjen GTK: Guru Harus Menguatkan Kemauan Murid untuk Tekun Belajar )
Selain itu, mulai tahun 2019, Pemkot Surabaya sudah menghitung Bopda itu berdasarkan rombel, bukan per kepala lagi. Makanya, dia berharap kebijakan ini akan bisa menyelesaikan masalah dan nantinya tidak ada perbedaan lagi antara sekolah negeri dan swasta.
Di samping itu, Eri juga menjelaskan bahwa harus ada keterbukaan antara pemerintah dan pihak sekolah. Terbuka dalam hal jumlah siswa yang akan masuk ke sekolah masing-masing, baik negeri maupun swasta. Apalagi, saat ini Dispendukcapil Surabaya sudah menyiapkan data berapa anak SD yang lulus dan akan masuk ke jenjang SMP, sehingga sejak awal sudah bisa dihitung apakah sekolah di suatu daerah atau kecamatan itu kurang atau sudah cukup.
Kemudian, lanjutnya, begitu ada sekolah di salah satu kecamatan yang kurang, nanti akan kita bangunkan sekolah atau hanya menambah kelas baru. Tapi sekali lagi, dengan catatan tidak mengurangi jumlah siswa di sekolah swasta. “Melalui berbagai cara itu, mungkin kita akan bisa menyelesaikan wajib sekolah 9 tahun,” imbuhnya.
Eri menambahkan, Pemkot Surabaya juga terus mengembangkan kerja sama dengan pihak pengusaha dalam hal membantu siswa. Bentuknya, para pengusaha itu memegang anak asuh, sehingga pengusaha itu membantu anak asuhnya dalam biaya pendidikannya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Eri Cahyadi menuturkan, semuanya harus sepakat bahwa pendidikan 9 tahun itu wajib. Makanya, ke depannya pemkot berkomitmen untuk tidak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan swasta. Sebab, kalau hanya mengandalkan negeri saja tidak cukup.
“Nah, ketika masuk swasta, maka infrastrukturnya juga harus sama, termasuk laboratorium dan sebagainnya harus sama, sehingga kita akan support betul ke depannya, dengan catatan sekolah swasta itu harus menaikkan gradenya,” kata Eri, Senin (24/8/2020). (Baca juga: Pembukaan Sekolah di Zona Kuning dan Hijau Harus Fleksibel )
Salah satu cara yang sudah dilakukan dengan menetapkan rombongan belajar (rombel) setiap sekolah negeri dan swasta sebanyak 32 siswa. Sehingga maksimal masing-masing ada 11 kelas. Artinya, kelas 1 ada 11 kelas, kelas 2 ada 11 kelas dan kelas 3 ada 11 kelas juga.
Bagi sekolah yang rombelnya di atas 32 siswa, katanya, maka pemkot pun terus mencarikan solusinya. Salah satunya dengan menambah kelas lagi. Penambahan kelas itu bukan untuk menerima siswa baru, melainkan untuk menampung siswa yang lebih dari rombel tersebut. Misalnya sudah ada sekolah yang menerima rombel 40 siswa, maka 8 siswa di rombel tersebut harus pindah ke kelas yang baru dibangun.
“Kemarinnya kita sudah hitung-hitungan dengan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) dan pihak guru, jika siswanya sampai 40 orang, guru merasa agak kesulitan untuk menguasai muridnya, sehingga rombel 32 itu sudah cukup,” ucapnya. (Baca juga: Ditjen GTK: Guru Harus Menguatkan Kemauan Murid untuk Tekun Belajar )
Selain itu, mulai tahun 2019, Pemkot Surabaya sudah menghitung Bopda itu berdasarkan rombel, bukan per kepala lagi. Makanya, dia berharap kebijakan ini akan bisa menyelesaikan masalah dan nantinya tidak ada perbedaan lagi antara sekolah negeri dan swasta.
Di samping itu, Eri juga menjelaskan bahwa harus ada keterbukaan antara pemerintah dan pihak sekolah. Terbuka dalam hal jumlah siswa yang akan masuk ke sekolah masing-masing, baik negeri maupun swasta. Apalagi, saat ini Dispendukcapil Surabaya sudah menyiapkan data berapa anak SD yang lulus dan akan masuk ke jenjang SMP, sehingga sejak awal sudah bisa dihitung apakah sekolah di suatu daerah atau kecamatan itu kurang atau sudah cukup.
Kemudian, lanjutnya, begitu ada sekolah di salah satu kecamatan yang kurang, nanti akan kita bangunkan sekolah atau hanya menambah kelas baru. Tapi sekali lagi, dengan catatan tidak mengurangi jumlah siswa di sekolah swasta. “Melalui berbagai cara itu, mungkin kita akan bisa menyelesaikan wajib sekolah 9 tahun,” imbuhnya.
Eri menambahkan, Pemkot Surabaya juga terus mengembangkan kerja sama dengan pihak pengusaha dalam hal membantu siswa. Bentuknya, para pengusaha itu memegang anak asuh, sehingga pengusaha itu membantu anak asuhnya dalam biaya pendidikannya.
(mpw)
tulis komentar anda