Rektor UP: Pendidikan Karakter Dicontohkan Bukan Sekadar Diajarkan
Jum'at, 20 September 2024 - 13:05 WIB
Pendidikan karakter memang ibarat pondasi kokoh bagi bangunan kesuksesan seseorang. Lebih dari sekadar kecerdasan intelektual, karakter yang kuatlah yang menjadi penentu utama keberhasilan dalam menjalani hidup. Rektor Universitas Pancasila Prof. Marsudi W. Kisworo menyatakan keberhasilan hanya 10% ditentukan oleh intelektual dan 90% oleh karakter bukanlah sekadar ungkapan, melainkan sebuah kebenaran yang telah terbukti.
Ia menambahkan saat ini, pendidikan karakter justru makin penting. Pekerjaan-pekerjaan fisik nanti akan diambil alih oleh mesin-mesin pintar atau AI, namun ada satu hal yang tidak bisa direplikasi oleh AI secanggih apapun, yaitu karakter manusia.
"Pemahaman ini seharusnya harus dipahami oleh semua mahasiswa dan semua orang," ucapnya dalam kuliah umum Fakultas Psikologi pada Selasa, (20/9) di Kampus Universitas Pancasila, Depok dengan topik 3 Dosa Besar pendidikan: Peran Mahasiswa sebagai Agen Pengubah.
Sayangnya pendidikan karakter, masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Hal ini terjadi lantaran sistem pendidikan kita belum memberi ruang untuk menumbuhkan karakter yang baik.
"Kalau saya melihat masalah pendidikan karakter bukan hanya masalah yang sekadar diajarkan, pendidikan karakter harus dicontohkan. Saya katakan ada 10 dosa pendidikan kita tapi bukan hanya dari aspek mahasiswa tetapi dari aspek bagaimana sistem pendidikan kita yang selama ini tidak membuat mahasiswa atau murid-murid memiliki karakter yang baik," tandasnya.
Ia mencontohkan paradigma pendidikan yakni Tut Wuri Handayani dinilai sudah tidak relevan. "Yang tepat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo," ucapnya.
Dengan paradigma demikian, menyebabkan kreativitas tidak berjalan. "Murid harus ngikutin gurunya. Pokoknya kalau misalnya murid menjawab tidak sesuai yang diajarkan guru, maka murid salah. Kita tidak memberikan kebebasan pada murid untuk berkreasi, " kata Rektor Marsudi.
Sistem pendidikan kita, ungkap Rektor, juga tidak tidak memungkinkan peserta didik untuk bekerja sama. Dengan adanya sistem perangkingan, peserta didik terus diajak bersaing. Bahkan banyak sekolah mengelompokkan anak pintar dengan anak pintar, yang membuat terjadinya persaingan antar mereka. "Itu menjauhkan dari karakter kerja sama," katanya.
Makanya menurutnya tidak heran, jika olahraga di Indonesia yang berhasil memenangkan kompetisi adalah olahraga individual, bukanlah tim atau kelompok. Karena pendidikan tidak mengajarkan bekerja sama atau bekerja tim.
Ia menambahkan saat ini, pendidikan karakter justru makin penting. Pekerjaan-pekerjaan fisik nanti akan diambil alih oleh mesin-mesin pintar atau AI, namun ada satu hal yang tidak bisa direplikasi oleh AI secanggih apapun, yaitu karakter manusia.
"Pemahaman ini seharusnya harus dipahami oleh semua mahasiswa dan semua orang," ucapnya dalam kuliah umum Fakultas Psikologi pada Selasa, (20/9) di Kampus Universitas Pancasila, Depok dengan topik 3 Dosa Besar pendidikan: Peran Mahasiswa sebagai Agen Pengubah.
Sayangnya pendidikan karakter, masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Hal ini terjadi lantaran sistem pendidikan kita belum memberi ruang untuk menumbuhkan karakter yang baik.
"Kalau saya melihat masalah pendidikan karakter bukan hanya masalah yang sekadar diajarkan, pendidikan karakter harus dicontohkan. Saya katakan ada 10 dosa pendidikan kita tapi bukan hanya dari aspek mahasiswa tetapi dari aspek bagaimana sistem pendidikan kita yang selama ini tidak membuat mahasiswa atau murid-murid memiliki karakter yang baik," tandasnya.
Ia mencontohkan paradigma pendidikan yakni Tut Wuri Handayani dinilai sudah tidak relevan. "Yang tepat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo," ucapnya.
Dengan paradigma demikian, menyebabkan kreativitas tidak berjalan. "Murid harus ngikutin gurunya. Pokoknya kalau misalnya murid menjawab tidak sesuai yang diajarkan guru, maka murid salah. Kita tidak memberikan kebebasan pada murid untuk berkreasi, " kata Rektor Marsudi.
Sistem pendidikan kita, ungkap Rektor, juga tidak tidak memungkinkan peserta didik untuk bekerja sama. Dengan adanya sistem perangkingan, peserta didik terus diajak bersaing. Bahkan banyak sekolah mengelompokkan anak pintar dengan anak pintar, yang membuat terjadinya persaingan antar mereka. "Itu menjauhkan dari karakter kerja sama," katanya.
Makanya menurutnya tidak heran, jika olahraga di Indonesia yang berhasil memenangkan kompetisi adalah olahraga individual, bukanlah tim atau kelompok. Karena pendidikan tidak mengajarkan bekerja sama atau bekerja tim.
tulis komentar anda