Diapresiasi, Puisi Esai Masuk Kamus Besar Bahasa Indonsia
Sabtu, 02 Mei 2020 - 22:09 WIB
JAKARTA - Puisi esai dinilai tidak hanya sebuah jenis puisi, tapi juga sebuah gerakan sastra yang terus meluas. Wajar jika akhirnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI daring) memasukkan puisi esai sebagai kata baru pada Mei 2020 ini.
Demikian pandangan Denny JA, merespons KBBI 2020 yang memasukkan puisi esai sebagai kata baru. KBBI menerjemahkan puisi esai sebagai Ragam sastra berisi pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dengan pola berbait-bait, berupa fakta, fiksi dan catatan kaki.
Menurut Denny JA yang juga penulis buku puisi best seller, Fang Yin Handkerchief, sewajarnya ragam sastra bertambah. Semakin kompleks peradaban, semakin banyak cara bertutur yang bisa dipilih.
"Itu lebih baik buat para penulis dan publik luas," tutur Denny JA yang juga pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Sabtu (2/5/2020).
Denny mengutip riset yang dilakukan di Amerika Serikat: Survey of Public Participation in Art (SPPA) bahwa terjadi penurunan signfikan pada pembaca puisi jenis lama.
Pada 1992, sekitar 17% populasi di Amerika Serikat mengaku dalam setahun setidaknya membaca satu puisi. Tapi 20 tahun kemudian, dengan pertanyaan yang sama diajukan, ternyata mereka yang mengaku membaca puisi paling tidak satu puisi di tahun itu merosot hanya tersisa 6,7%.
Penyebabnya karena bahasa puisi jenis lama sulit dimengerti publik luas. Para penyair berasyik masyuk dengan bahasa yang menurut mereka kenyal, simbolik dan multi interpretatif.
"Tapi bahasa jenis ini hanya dimengerti oleh mereka yang mempunyai pengalama literer. Jumlah mereka semakin sedikit," katanya.
Menurut Denny, topik dalam puisi jenis lama itu juga terasing dari persoalan nyata yang dirasakan publik luas. Sementara puisi esai justru hadir berbeda dengan jenis puisi lama.
Demikian pandangan Denny JA, merespons KBBI 2020 yang memasukkan puisi esai sebagai kata baru. KBBI menerjemahkan puisi esai sebagai Ragam sastra berisi pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dengan pola berbait-bait, berupa fakta, fiksi dan catatan kaki.
Menurut Denny JA yang juga penulis buku puisi best seller, Fang Yin Handkerchief, sewajarnya ragam sastra bertambah. Semakin kompleks peradaban, semakin banyak cara bertutur yang bisa dipilih.
"Itu lebih baik buat para penulis dan publik luas," tutur Denny JA yang juga pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Sabtu (2/5/2020).
Denny mengutip riset yang dilakukan di Amerika Serikat: Survey of Public Participation in Art (SPPA) bahwa terjadi penurunan signfikan pada pembaca puisi jenis lama.
Pada 1992, sekitar 17% populasi di Amerika Serikat mengaku dalam setahun setidaknya membaca satu puisi. Tapi 20 tahun kemudian, dengan pertanyaan yang sama diajukan, ternyata mereka yang mengaku membaca puisi paling tidak satu puisi di tahun itu merosot hanya tersisa 6,7%.
Penyebabnya karena bahasa puisi jenis lama sulit dimengerti publik luas. Para penyair berasyik masyuk dengan bahasa yang menurut mereka kenyal, simbolik dan multi interpretatif.
"Tapi bahasa jenis ini hanya dimengerti oleh mereka yang mempunyai pengalama literer. Jumlah mereka semakin sedikit," katanya.
Menurut Denny, topik dalam puisi jenis lama itu juga terasing dari persoalan nyata yang dirasakan publik luas. Sementara puisi esai justru hadir berbeda dengan jenis puisi lama.
Lihat Juga :
tulis komentar anda