Psikolog: Pandemi Titik Balik Ubah Arah Pendidikan
Sabtu, 19 September 2020 - 11:38 WIB
Menurut Novi, Kemendikbud harus berani bilang bahwa saatnya menerapkan kurikulum berbasis keluarga. Mengapa? Karena kurikulum berbasis akademik di masa pandemi ini tidak mungkin tercapai. Kurikulum keluarga itu, prinsipnya, pertama, pendidikan harus memahami kondisi siswa. Kedua, pendidikan harus merupakan kolaborasi sekolah dengan keluarga. Ketiga pahami kondisi sosial dan emosional anak. Keempat, ciptakan interkasi yang hangat pada guru dengan anak dan orang tua dengan anak.
“Mengapa terjadi pembunuhan seperti kasus di Tangerang karena ada tuntutan dari sekolah yakni tugas. Di saat yang sama orang tua tidak sempat membangun hubungan relasi yang baik dengan anak,” katanya.
Melalui kurikulum keluarga, penekanannya ada pada penciptaan motivasi dan pembangunan karakter anak. Misalnya pelajarannya adalah, tanyakan apa yang diharapkan orang tua kepada anak dan apa yang diharapkan anak kepada orang tua. Dan, itu sebaiknya itu direkam melalui video.
Atau, mengajari anak cara tanam warung hidup di rumah dengan bahan yang ada. Lalu peran orang tua adalah mencari bahan-baan yang bisa dipakai. Dengan model pendidikan seperti ini, kata Novi, orang tua malah senang karena merasa bisa saling bantu.
“Intinya, anak belajar keterampilan hidup, belajar perkembangan dirinya, memahami diri sendiri, memahami orang lain, empatik. Intinya, pembangunan karakter yang dikedepankan,” paparnya.
Novi menyinggung soal filosofi pendidikan karakter yang diperkenalkan Ki Hajar Dewantara. yakni olah rasa, olah pikir, olah laku, dan olah raga. Hal yang kurang dikelola oleh sistem pendidikan saat ini adalah olah pikir dan olah rasa. Soal membuang sampah misalnya, sebaiknya anak tidak hanya diminta membuang sampah pada tempatnya, melainkan tapi anak-anak ditanya, “Kalau ada sampah di jalan, sebaiknya diapain, kalau tadi dibuang sembarangan apa akibatnya,” ujarnya.
Pendidikan karakter kepada anak menurut Novi idealnya diterapkan sejak anak mulai PAUD sampai SD. Ini saat menanamkan emosi sosial, membuat pondasi untuk membangun karakter anak. “Di masa ini anak tidak perlu ada ujian, pendidikan hanya menciptakan motivasi dan membangun karakter anak,” ujar dosen yang meraih gelar doktor psikologi di The University of Melbourne, Australia ini.
Ketika SMP anak mulai dikenalkan dengan personal group, mulai memahami hobi dan bagaimana mengembangkan kompetensinya. Lalu, ketika SMA, baru anak mengenal bagaimana memulai karier, apakah dia mau belajar vokasi atau masuk universitas, atau justru mau berwirausaha. “Ini akan mudah karena di saat SMA anak sudah beres dengan pengembangan karakternya, jadi sudah tahu apa passion-nya,” katanya.
“Mengapa terjadi pembunuhan seperti kasus di Tangerang karena ada tuntutan dari sekolah yakni tugas. Di saat yang sama orang tua tidak sempat membangun hubungan relasi yang baik dengan anak,” katanya.
Melalui kurikulum keluarga, penekanannya ada pada penciptaan motivasi dan pembangunan karakter anak. Misalnya pelajarannya adalah, tanyakan apa yang diharapkan orang tua kepada anak dan apa yang diharapkan anak kepada orang tua. Dan, itu sebaiknya itu direkam melalui video.
Atau, mengajari anak cara tanam warung hidup di rumah dengan bahan yang ada. Lalu peran orang tua adalah mencari bahan-baan yang bisa dipakai. Dengan model pendidikan seperti ini, kata Novi, orang tua malah senang karena merasa bisa saling bantu.
“Intinya, anak belajar keterampilan hidup, belajar perkembangan dirinya, memahami diri sendiri, memahami orang lain, empatik. Intinya, pembangunan karakter yang dikedepankan,” paparnya.
Novi menyinggung soal filosofi pendidikan karakter yang diperkenalkan Ki Hajar Dewantara. yakni olah rasa, olah pikir, olah laku, dan olah raga. Hal yang kurang dikelola oleh sistem pendidikan saat ini adalah olah pikir dan olah rasa. Soal membuang sampah misalnya, sebaiknya anak tidak hanya diminta membuang sampah pada tempatnya, melainkan tapi anak-anak ditanya, “Kalau ada sampah di jalan, sebaiknya diapain, kalau tadi dibuang sembarangan apa akibatnya,” ujarnya.
Pendidikan karakter kepada anak menurut Novi idealnya diterapkan sejak anak mulai PAUD sampai SD. Ini saat menanamkan emosi sosial, membuat pondasi untuk membangun karakter anak. “Di masa ini anak tidak perlu ada ujian, pendidikan hanya menciptakan motivasi dan membangun karakter anak,” ujar dosen yang meraih gelar doktor psikologi di The University of Melbourne, Australia ini.
Ketika SMP anak mulai dikenalkan dengan personal group, mulai memahami hobi dan bagaimana mengembangkan kompetensinya. Lalu, ketika SMA, baru anak mengenal bagaimana memulai karier, apakah dia mau belajar vokasi atau masuk universitas, atau justru mau berwirausaha. “Ini akan mudah karena di saat SMA anak sudah beres dengan pengembangan karakternya, jadi sudah tahu apa passion-nya,” katanya.
(mpw)
tulis komentar anda