Psikolog: Pandemi Titik Balik Ubah Arah Pendidikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus ibu membunuh anak sendiri di Kota Tangerang, Banten, karena dipicu korban yang susah diajar saat belajar daring memicu keprihatinan banyak pihak. Kasus ini menambah panjang deretan masalah yang dipicu oleh sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemic COVID-19.
Kasus ibu berinial LH (26) di Tengerang ini viral setelah membunuh anaknya yang berusia 8 tahun karena kesal korban tidak memperhatikan arahannya saat belajar daring. Sang anak dipukul hingga terjatuh, tak sadarkan diri hingga meninggal dunia. Untuk menutupi jejaknya, LH dan suami mengubur anaknya sendiri di daerah Lebak, Banten. (Baca juga: Peringatan Keras buat Kemendikbud, Ibu Sampai Tega Bunuh Anak saat PJJ )
Pemicu anak kerap menjadi korban kekerasan antara lain karena ketidaksabaran orang tua dalam mendampingi anak saat belajar daring. Orang tua kerap mengeluh karena materi pelajaran daring yang sering dirasa berat. Selain itu juga karena faktor anak yang sulit diatur. Di sisi lain, banyak orang tua yang mengalami tekanan psikologis akibat pandemi.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Novi Poespita Candra mengatakan, kasus seperti ini sebenarnya ujung dari sistem pendidikan di Indonesia yang memang bermasalah. Menurutnya, pendidikan kita seolah-olah hanya rutunitas untuk mencapai nilai akademik. Misalnya, orang tua hanya menyerahkan anak ke sekolah 100% untuk diajar guru, harapannya hasilnya baik, lalu anak pulang ke rumah, begitu seterusnya. Seolah tidak disadari bahwa sistem pendidikan ini tidak lagi relevan untuk merespons perubahan.
“Ketika pandemi datang, lihat pendidikan dirasa berat oleh semua pihak. Ada guru yang stres karena tidak mengerti cara mengajar daring. Orang tua juga sama. Kenapa begitu? Karena kita tidak pernah beradaptasi dengan situasi seperti ini,” ujarnya kepada SINDOnews, Jumat (18/9). (Baca juga: Hindari Kekerasan Siswa saat PJJ, Program Parenting Harus Diperkuat )
Karena itu, dia mengingatkan pemerintah untuk menjadikan pandemi ini sebagai titik balik untuk reorientasi arah pendidikan. Saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyetop pendidikan model sekarang. Dia mengingatkan bahwa yang terjadi di masa pandemi ini sebenarnya krisis kesehatan mental, tapi ini tidak pernah diserukan.
“Selalu indikator pendidikan adalah pencapaian PISA, nilai akademik, bukan bagaimana misalnya mencegah bullying terhadap anak di sekolah,” ujarnya.
Menurut dia, pendidikan itu tidak hanya soal capaian akademik, tapi juga soal well being, bagaimana pendidikan itu membahagiakan semua pihak. “Ukuran keberhasilan pendidikan itu justru ketika angka stres anak rendah, kekerasan terhadap anak rendah, juga ketika anak tidak stres dikejar-kejar tugas,” ujar co-founder Gerakan Belajar Menyenangkan (GSM), ini.
Novi mengingatkan bahwa ke depan, walaupun misalnya virus Corona berhenti, tantangan kehidupan tidak akan berhenti. Bisa saja terjadi pandemi lain, misalnya pandemic teknologi, yakni ketika teknologi berubah dengan cepat, atau pandemi ekonomi. Dalam kondisi seperti itu pendidikan yang berorientasi akademik tidak lagi relevan. (Baca juga: Komisi X DPR akan Panggil Kampus yang Ospeknya Bermasalah )
Menurut Novi, Kemendikbud harus berani bilang bahwa saatnya menerapkan kurikulum berbasis keluarga. Mengapa? Karena kurikulum berbasis akademik di masa pandemi ini tidak mungkin tercapai. Kurikulum keluarga itu, prinsipnya, pertama, pendidikan harus memahami kondisi siswa. Kedua, pendidikan harus merupakan kolaborasi sekolah dengan keluarga. Ketiga pahami kondisi sosial dan emosional anak. Keempat, ciptakan interkasi yang hangat pada guru dengan anak dan orang tua dengan anak.
“Mengapa terjadi pembunuhan seperti kasus di Tangerang karena ada tuntutan dari sekolah yakni tugas. Di saat yang sama orang tua tidak sempat membangun hubungan relasi yang baik dengan anak,” katanya.
Melalui kurikulum keluarga, penekanannya ada pada penciptaan motivasi dan pembangunan karakter anak. Misalnya pelajarannya adalah, tanyakan apa yang diharapkan orang tua kepada anak dan apa yang diharapkan anak kepada orang tua. Dan, itu sebaiknya itu direkam melalui video.
Atau, mengajari anak cara tanam warung hidup di rumah dengan bahan yang ada. Lalu peran orang tua adalah mencari bahan-baan yang bisa dipakai. Dengan model pendidikan seperti ini, kata Novi, orang tua malah senang karena merasa bisa saling bantu.
“Intinya, anak belajar keterampilan hidup, belajar perkembangan dirinya, memahami diri sendiri, memahami orang lain, empatik. Intinya, pembangunan karakter yang dikedepankan,” paparnya.
Novi menyinggung soal filosofi pendidikan karakter yang diperkenalkan Ki Hajar Dewantara. yakni olah rasa, olah pikir, olah laku, dan olah raga. Hal yang kurang dikelola oleh sistem pendidikan saat ini adalah olah pikir dan olah rasa. Soal membuang sampah misalnya, sebaiknya anak tidak hanya diminta membuang sampah pada tempatnya, melainkan tapi anak-anak ditanya, “Kalau ada sampah di jalan, sebaiknya diapain, kalau tadi dibuang sembarangan apa akibatnya,” ujarnya.
Pendidikan karakter kepada anak menurut Novi idealnya diterapkan sejak anak mulai PAUD sampai SD. Ini saat menanamkan emosi sosial, membuat pondasi untuk membangun karakter anak. “Di masa ini anak tidak perlu ada ujian, pendidikan hanya menciptakan motivasi dan membangun karakter anak,” ujar dosen yang meraih gelar doktor psikologi di The University of Melbourne, Australia ini.
Ketika SMP anak mulai dikenalkan dengan personal group, mulai memahami hobi dan bagaimana mengembangkan kompetensinya. Lalu, ketika SMA, baru anak mengenal bagaimana memulai karier, apakah dia mau belajar vokasi atau masuk universitas, atau justru mau berwirausaha. “Ini akan mudah karena di saat SMA anak sudah beres dengan pengembangan karakternya, jadi sudah tahu apa passion-nya,” katanya.
Kasus ibu berinial LH (26) di Tengerang ini viral setelah membunuh anaknya yang berusia 8 tahun karena kesal korban tidak memperhatikan arahannya saat belajar daring. Sang anak dipukul hingga terjatuh, tak sadarkan diri hingga meninggal dunia. Untuk menutupi jejaknya, LH dan suami mengubur anaknya sendiri di daerah Lebak, Banten. (Baca juga: Peringatan Keras buat Kemendikbud, Ibu Sampai Tega Bunuh Anak saat PJJ )
Pemicu anak kerap menjadi korban kekerasan antara lain karena ketidaksabaran orang tua dalam mendampingi anak saat belajar daring. Orang tua kerap mengeluh karena materi pelajaran daring yang sering dirasa berat. Selain itu juga karena faktor anak yang sulit diatur. Di sisi lain, banyak orang tua yang mengalami tekanan psikologis akibat pandemi.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Novi Poespita Candra mengatakan, kasus seperti ini sebenarnya ujung dari sistem pendidikan di Indonesia yang memang bermasalah. Menurutnya, pendidikan kita seolah-olah hanya rutunitas untuk mencapai nilai akademik. Misalnya, orang tua hanya menyerahkan anak ke sekolah 100% untuk diajar guru, harapannya hasilnya baik, lalu anak pulang ke rumah, begitu seterusnya. Seolah tidak disadari bahwa sistem pendidikan ini tidak lagi relevan untuk merespons perubahan.
“Ketika pandemi datang, lihat pendidikan dirasa berat oleh semua pihak. Ada guru yang stres karena tidak mengerti cara mengajar daring. Orang tua juga sama. Kenapa begitu? Karena kita tidak pernah beradaptasi dengan situasi seperti ini,” ujarnya kepada SINDOnews, Jumat (18/9). (Baca juga: Hindari Kekerasan Siswa saat PJJ, Program Parenting Harus Diperkuat )
Karena itu, dia mengingatkan pemerintah untuk menjadikan pandemi ini sebagai titik balik untuk reorientasi arah pendidikan. Saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyetop pendidikan model sekarang. Dia mengingatkan bahwa yang terjadi di masa pandemi ini sebenarnya krisis kesehatan mental, tapi ini tidak pernah diserukan.
“Selalu indikator pendidikan adalah pencapaian PISA, nilai akademik, bukan bagaimana misalnya mencegah bullying terhadap anak di sekolah,” ujarnya.
Menurut dia, pendidikan itu tidak hanya soal capaian akademik, tapi juga soal well being, bagaimana pendidikan itu membahagiakan semua pihak. “Ukuran keberhasilan pendidikan itu justru ketika angka stres anak rendah, kekerasan terhadap anak rendah, juga ketika anak tidak stres dikejar-kejar tugas,” ujar co-founder Gerakan Belajar Menyenangkan (GSM), ini.
Novi mengingatkan bahwa ke depan, walaupun misalnya virus Corona berhenti, tantangan kehidupan tidak akan berhenti. Bisa saja terjadi pandemi lain, misalnya pandemic teknologi, yakni ketika teknologi berubah dengan cepat, atau pandemi ekonomi. Dalam kondisi seperti itu pendidikan yang berorientasi akademik tidak lagi relevan. (Baca juga: Komisi X DPR akan Panggil Kampus yang Ospeknya Bermasalah )
Menurut Novi, Kemendikbud harus berani bilang bahwa saatnya menerapkan kurikulum berbasis keluarga. Mengapa? Karena kurikulum berbasis akademik di masa pandemi ini tidak mungkin tercapai. Kurikulum keluarga itu, prinsipnya, pertama, pendidikan harus memahami kondisi siswa. Kedua, pendidikan harus merupakan kolaborasi sekolah dengan keluarga. Ketiga pahami kondisi sosial dan emosional anak. Keempat, ciptakan interkasi yang hangat pada guru dengan anak dan orang tua dengan anak.
“Mengapa terjadi pembunuhan seperti kasus di Tangerang karena ada tuntutan dari sekolah yakni tugas. Di saat yang sama orang tua tidak sempat membangun hubungan relasi yang baik dengan anak,” katanya.
Melalui kurikulum keluarga, penekanannya ada pada penciptaan motivasi dan pembangunan karakter anak. Misalnya pelajarannya adalah, tanyakan apa yang diharapkan orang tua kepada anak dan apa yang diharapkan anak kepada orang tua. Dan, itu sebaiknya itu direkam melalui video.
Atau, mengajari anak cara tanam warung hidup di rumah dengan bahan yang ada. Lalu peran orang tua adalah mencari bahan-baan yang bisa dipakai. Dengan model pendidikan seperti ini, kata Novi, orang tua malah senang karena merasa bisa saling bantu.
“Intinya, anak belajar keterampilan hidup, belajar perkembangan dirinya, memahami diri sendiri, memahami orang lain, empatik. Intinya, pembangunan karakter yang dikedepankan,” paparnya.
Novi menyinggung soal filosofi pendidikan karakter yang diperkenalkan Ki Hajar Dewantara. yakni olah rasa, olah pikir, olah laku, dan olah raga. Hal yang kurang dikelola oleh sistem pendidikan saat ini adalah olah pikir dan olah rasa. Soal membuang sampah misalnya, sebaiknya anak tidak hanya diminta membuang sampah pada tempatnya, melainkan tapi anak-anak ditanya, “Kalau ada sampah di jalan, sebaiknya diapain, kalau tadi dibuang sembarangan apa akibatnya,” ujarnya.
Pendidikan karakter kepada anak menurut Novi idealnya diterapkan sejak anak mulai PAUD sampai SD. Ini saat menanamkan emosi sosial, membuat pondasi untuk membangun karakter anak. “Di masa ini anak tidak perlu ada ujian, pendidikan hanya menciptakan motivasi dan membangun karakter anak,” ujar dosen yang meraih gelar doktor psikologi di The University of Melbourne, Australia ini.
Ketika SMP anak mulai dikenalkan dengan personal group, mulai memahami hobi dan bagaimana mengembangkan kompetensinya. Lalu, ketika SMA, baru anak mengenal bagaimana memulai karier, apakah dia mau belajar vokasi atau masuk universitas, atau justru mau berwirausaha. “Ini akan mudah karena di saat SMA anak sudah beres dengan pengembangan karakternya, jadi sudah tahu apa passion-nya,” katanya.
(mpw)