IPB University Dorong Diversifikasi Pangan melalui Inovasi Beras dari Sagu
Rabu, 16 Desember 2020 - 14:20 WIB
JAKARTA - Ketergantungan Indonesia dalam memenuhi pangan beras melalui impor merupakan permasalahan kompleks yang dapat mempengaruhi kebijakan dan stabilitas negara dalam sektor pangan. Hal ini mendorong, Prof Dr Hasjim Bintoro, dosen IPB University dari Departemen Agronomi dan Hortikultura untuk melakukan inovasi dalam upaya mewujudkan diversifikasi pangan melalui inovasi beras dari sagu.
"Kandungan pati sagu dan beras mirip, jadi ada kemungkinan untuk diganti. Kelebihan sagu adalah indeks glikemiknya yang rendah serta bebas gluten, jadi akan cocok untuk penderita diabetes," ungkap Prof Hasjim, pakar sagu di Indonesia. (Baca juga: Ini Catatan Penting Agar Sukses Mendaftar pada SNMPTN-SBMPTN )
Pada masa COVID-19, dikhawatirkan negara eksportir membatasi ekspornya, sehingga diversifikasi pangan menjadi salah satu solusi dalam upaya menurunkan permintaan beras. Guru Besar IPB University dari Fakultas Pertanian tersebut menyampaikan, saat ini negara yang biasa menjual beras mulai menghemat karena negaranya juga akan memenuhi permintaan pangan rakyatnya sendiri.
"Nah kita ini kan setiap tahun harus beli, dan harus impor. Jadi momentum ini harus kita gunakan agar tidak bergantung pada negara lain dengan bahan pangan kita yang melimpah yaitu lahan sagu yang sangat luas. Bahkan 85 persen sagu dunia ada di kita, ini harus kita manfaatkan," terangnya.
Melimpahnya sagu Indonesia tersebut sebagian besar terdapat di wilayah Papua, yang saat ini sedang mengalami konflik kenegaraan dengan keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Hal ini juga disikapi oleh Prof Hasjim. "Papua itu masalahnya adalah kurang terstrukturnya pembangunan, inilah mengapa urgensinya sagu dimanfaatkan agar rakyatnya dapat sejahtera. Kemiskinannya perlu kita atasi agar tidak terpengaruh negatif oleh asing," ungkapnya. (Baca juga: IPB University Gandeng Universitas Timor Kembangkan Sekolah Peternakan Rakyat )
Dalam penjelasannya, Prof Hasjim menerangkan bahwa pengembangan sagu secara optimal adalah dilakukan secara terpadu. Budidaya dan pemanfaatan sagu secara terpadu dapat memberikan korelasi positif dengan bertambahnya pendapatan. "Nanti apabila diproduksi dalam supply yang banyak, maka harganya dapat turun," ujarnya.
Prof Hasjim melihat bahwa sagu letaknya masih di hutan, berduri sehingga petani hanya dapat memanen yang dapat dijangkau saja. Sehingga diperlukan penyelesaian permasalahan infrastruktur agar pemanenannya dapat skala besar. Jika pemanfaatan sagu hanya satu sampai dua hektar saja maka ini tidak dapat menutupi cost produksi. Idealnya produksi sagu skala besar adalah 30-40 ribu hektar agar dapat sesuai dengan biaya infrastruktur.
"Dalam membangun kawasan sagu, bukan hanya dengan sagu namun juga pabriknya. Sagunya jangan hanya dijual dalam bentuk pati, melainkan produk turunan. Dengan produk turunan maka nilai jualnya dapat lebih tinggi sehingga dapat mengganti dan mendukung kesejahteraan rakyat sekitar,” tutupnya.
"Kandungan pati sagu dan beras mirip, jadi ada kemungkinan untuk diganti. Kelebihan sagu adalah indeks glikemiknya yang rendah serta bebas gluten, jadi akan cocok untuk penderita diabetes," ungkap Prof Hasjim, pakar sagu di Indonesia. (Baca juga: Ini Catatan Penting Agar Sukses Mendaftar pada SNMPTN-SBMPTN )
Pada masa COVID-19, dikhawatirkan negara eksportir membatasi ekspornya, sehingga diversifikasi pangan menjadi salah satu solusi dalam upaya menurunkan permintaan beras. Guru Besar IPB University dari Fakultas Pertanian tersebut menyampaikan, saat ini negara yang biasa menjual beras mulai menghemat karena negaranya juga akan memenuhi permintaan pangan rakyatnya sendiri.
"Nah kita ini kan setiap tahun harus beli, dan harus impor. Jadi momentum ini harus kita gunakan agar tidak bergantung pada negara lain dengan bahan pangan kita yang melimpah yaitu lahan sagu yang sangat luas. Bahkan 85 persen sagu dunia ada di kita, ini harus kita manfaatkan," terangnya.
Melimpahnya sagu Indonesia tersebut sebagian besar terdapat di wilayah Papua, yang saat ini sedang mengalami konflik kenegaraan dengan keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Hal ini juga disikapi oleh Prof Hasjim. "Papua itu masalahnya adalah kurang terstrukturnya pembangunan, inilah mengapa urgensinya sagu dimanfaatkan agar rakyatnya dapat sejahtera. Kemiskinannya perlu kita atasi agar tidak terpengaruh negatif oleh asing," ungkapnya. (Baca juga: IPB University Gandeng Universitas Timor Kembangkan Sekolah Peternakan Rakyat )
Dalam penjelasannya, Prof Hasjim menerangkan bahwa pengembangan sagu secara optimal adalah dilakukan secara terpadu. Budidaya dan pemanfaatan sagu secara terpadu dapat memberikan korelasi positif dengan bertambahnya pendapatan. "Nanti apabila diproduksi dalam supply yang banyak, maka harganya dapat turun," ujarnya.
Prof Hasjim melihat bahwa sagu letaknya masih di hutan, berduri sehingga petani hanya dapat memanen yang dapat dijangkau saja. Sehingga diperlukan penyelesaian permasalahan infrastruktur agar pemanenannya dapat skala besar. Jika pemanfaatan sagu hanya satu sampai dua hektar saja maka ini tidak dapat menutupi cost produksi. Idealnya produksi sagu skala besar adalah 30-40 ribu hektar agar dapat sesuai dengan biaya infrastruktur.
"Dalam membangun kawasan sagu, bukan hanya dengan sagu namun juga pabriknya. Sagunya jangan hanya dijual dalam bentuk pati, melainkan produk turunan. Dengan produk turunan maka nilai jualnya dapat lebih tinggi sehingga dapat mengganti dan mendukung kesejahteraan rakyat sekitar,” tutupnya.
(mpw)
tulis komentar anda