Muhammadiyah Protes Frasa Agama 'Raib' di Peta Jalan Pendidikan 2020-2035
Selasa, 09 Maret 2021 - 10:28 WIB
“Jadi inilah yang sering mengundang tanya, ini tim perumusnya alpa, sengaja, atau memang ada pikiran lain sehingga agama menjadi hilang. Nah, problem ini adalah problem yang serius menurut saya yang perlu dijadikan masukan penting bagi pemerintah. Agar kita berpikir bukan dari aspek primordial, tapi berpikir secara konstitusional, karena itu sudah tertera langsung tanpa perlu interpretasi di dalam Pasal 31,” terangnya.
Haedar mengaku setuju jika ide dalam sumber nilai konstruksi kehidupan kebangsaan berasal dari tiga unsur, yaitu Pancasila, Agama dan Budaya. Karenanya, salah satu unsur itu tidak boleh dihilangkan karena akan menimbulkan kecurigaan publik.
Haedar tak menepis bahwa kelalaian dalam penyusunan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 memicu kecurigaan adanya keterkaitan antara keputusan kontroversial Kemendikbud terkait SKB 3 Menteri yang dirasa begitu sensitif terhadap urusan pakaian keagamaan.
Dia menjelaskan, keputusan dalam SKB 3 Menteri memiliki problem yang sama dengan Peta Jalan Nasional 2020-2035, yaitu kontradiktif dan inkonsisten.
Alasannya, pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2 telah mengatur bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib membiayai. Pada perkembangannya, negara mewujudkan pasal tersebut melalui sistem Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Nah poin ini yang kami kritik kemarin bahwa sanksi terhadap sekolah yang mewajibkan pakaian khusus keagamaan dicabut BOS-nya dalam SKB 3 Menteri itu bertentangan dengan ayat 2 Pasal 31 ini, kenapa dikait-kaitkan dengan pakaian khusus keagamaan misalnya,” tegas Haedar.
Dia menegaskan, pihaknya juga setuju akan inklusivitas sekolah. Tetapi mestinya dilakukan dengan lebih bijak, bukan langsung menodongnya dengan SKB.
Haedar khawatir pendekatan kekuasaan seperti SKB yang dilakukan tanpa mengindahkan kearifan lokal agama dan budaya tertentu, berpotensi merusak Kebinekaan Indonesia.
Sementara itu jika hanya dilakukan sepihak dan inkonsisten hanya pada satu agama tertentu maka timbul bermacam kecurigaan. Haedar mengambil contoh dengan salah satu perayaan hari keagamaan yang memaksa dihentikannya semua kegiatan publik pada hari itu, termasuk bagi pemeluk agama berbeda.
“Nah kalau ada kasus seperti ini apa tidak keluar juga SKB 3 Menteri untuk melarang seluruh Pemda yang melakukan usaha diskriminasi? Ini dampaknya luas. Saya termasuk menyarankan jangan ada larangan karena itu sudah melekat dengan agama dan budaya,” pungkasnya.
Haedar mengaku setuju jika ide dalam sumber nilai konstruksi kehidupan kebangsaan berasal dari tiga unsur, yaitu Pancasila, Agama dan Budaya. Karenanya, salah satu unsur itu tidak boleh dihilangkan karena akan menimbulkan kecurigaan publik.
Haedar tak menepis bahwa kelalaian dalam penyusunan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 memicu kecurigaan adanya keterkaitan antara keputusan kontroversial Kemendikbud terkait SKB 3 Menteri yang dirasa begitu sensitif terhadap urusan pakaian keagamaan.
Dia menjelaskan, keputusan dalam SKB 3 Menteri memiliki problem yang sama dengan Peta Jalan Nasional 2020-2035, yaitu kontradiktif dan inkonsisten.
Alasannya, pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2 telah mengatur bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib membiayai. Pada perkembangannya, negara mewujudkan pasal tersebut melalui sistem Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Nah poin ini yang kami kritik kemarin bahwa sanksi terhadap sekolah yang mewajibkan pakaian khusus keagamaan dicabut BOS-nya dalam SKB 3 Menteri itu bertentangan dengan ayat 2 Pasal 31 ini, kenapa dikait-kaitkan dengan pakaian khusus keagamaan misalnya,” tegas Haedar.
Dia menegaskan, pihaknya juga setuju akan inklusivitas sekolah. Tetapi mestinya dilakukan dengan lebih bijak, bukan langsung menodongnya dengan SKB.
Haedar khawatir pendekatan kekuasaan seperti SKB yang dilakukan tanpa mengindahkan kearifan lokal agama dan budaya tertentu, berpotensi merusak Kebinekaan Indonesia.
Sementara itu jika hanya dilakukan sepihak dan inkonsisten hanya pada satu agama tertentu maka timbul bermacam kecurigaan. Haedar mengambil contoh dengan salah satu perayaan hari keagamaan yang memaksa dihentikannya semua kegiatan publik pada hari itu, termasuk bagi pemeluk agama berbeda.
“Nah kalau ada kasus seperti ini apa tidak keluar juga SKB 3 Menteri untuk melarang seluruh Pemda yang melakukan usaha diskriminasi? Ini dampaknya luas. Saya termasuk menyarankan jangan ada larangan karena itu sudah melekat dengan agama dan budaya,” pungkasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda