Meramu Kurikulum, Jalan Masuk Penuhi Tuntutan Zaman
Rabu, 22 Juni 2022 - 21:19 WIB
Adanya tuntutan zaman dalam layanan Psikolog juga dipaparkan Silverius yang menurutnya menjadi diskursus tersendiri.
“Metode pelayanan juga ada tuntutan yang berbeda. Di mana sekarang semua serba digital. Ini menjadi pertimbangan, akankah layanan model konsultasi psikolog juga akan mengikuti zaman, dengan cara online. Jika iya, bagaimana prosedurnya agar tetap sesuai dengan kode etik, “ ungkapnya.
Soal lain yang dibicarakan adalah bagaimana agar Pemerintah memiliki persamaan persepsi mengenai pentingnya kesehatan mental masyarakat menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Ia mengaku sangat mengapresiasi apa yang dinyatakan Gubernur DKI Anies Baswedan bahwa kesehatan mental di kota besar sangat dibutuhkan. Kemajuan suatu kota tidak hanya diukur dari indikator ekonomi tetapi juga aspek kesehatan mental. Sehingga peran psikolog sangat diperlukan terutama layanan psikologi pendidikan dasar.
Namun menurutnya tidak hanya pemerintah yang didorong pentingnya memiliki kesadaran akan kesehatan mental, tetapi juga masyarakat. “Tantangannya adalah masyarakat masih menganggap tabu jika seseorang melakukan konsultasi pada psikolog. Padahal, konsultasi atau pendampingan pada psikolog akan bermanfaat besar. Mulai dari mengetahui potensi diri, meningkatkan keberhasilan diri dengan cara mengubah mental dan mindset. Karena sudah teruji, bahwa keberhasilan para pengusaha 80 persen dipengaruhi kesehatan mental, jadi PR kita adalah mengubah mindset masyarakat bahwa pendampingan psikologis itu hal yang biasanya saja, “ jelasnya.
Selain masih dipandang belum biasa, psikologi bagi masyarakat awam menurut Silverius masih merasa belum menjadi kebutuhan. “Pada dasarnya psikolog harusnya justru untuk masyarakat bawah. Mereka sangat memerlukan untuk menguatkan mental, namun justru Psikolog di kalangan bawah tidak laku. Yang mereka butuhkan adalah basic need, yakni makan dan minum, “ ujarnya.
Oleh karena itu, agar psikologi masuk pada kalangan bawah, ia mengajak para psikolog atau mahasiswa untuk meakukan pendekatan melalui ekonomi. “ Harus ada mediatornya. Kita tidak bisa tiba-tiba membangun karakter tanpa memberi solusi ekonomi. Itu akan percuma,” jelasnya.
Ia pun berharap acara ini dapat menyinergikan pendidikan psikologi, dan profesi psikologi. “ Harapannya adalah Bagaimana kita mampu mengelinkkan kurikulum antara dunia pendidikan dan tuntutan profesinya. Sehingga harapannya keduanya dapat saling berkolaborasi. Profesi dapat bersumbangsih untuk kurikulum dan melalui riset risetnya dunia akademis bisa menjadikan dasar pengembangan profesi untuk melayani masyarakat, “ harapnya.
Dalam acara tersebut ungkapnya ada sekitar 388 peserta dari 150 prodi Psikologi di seluruh Indonesia baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenag.
“Metode pelayanan juga ada tuntutan yang berbeda. Di mana sekarang semua serba digital. Ini menjadi pertimbangan, akankah layanan model konsultasi psikolog juga akan mengikuti zaman, dengan cara online. Jika iya, bagaimana prosedurnya agar tetap sesuai dengan kode etik, “ ungkapnya.
Soal lain yang dibicarakan adalah bagaimana agar Pemerintah memiliki persamaan persepsi mengenai pentingnya kesehatan mental masyarakat menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Ia mengaku sangat mengapresiasi apa yang dinyatakan Gubernur DKI Anies Baswedan bahwa kesehatan mental di kota besar sangat dibutuhkan. Kemajuan suatu kota tidak hanya diukur dari indikator ekonomi tetapi juga aspek kesehatan mental. Sehingga peran psikolog sangat diperlukan terutama layanan psikologi pendidikan dasar.
Namun menurutnya tidak hanya pemerintah yang didorong pentingnya memiliki kesadaran akan kesehatan mental, tetapi juga masyarakat. “Tantangannya adalah masyarakat masih menganggap tabu jika seseorang melakukan konsultasi pada psikolog. Padahal, konsultasi atau pendampingan pada psikolog akan bermanfaat besar. Mulai dari mengetahui potensi diri, meningkatkan keberhasilan diri dengan cara mengubah mental dan mindset. Karena sudah teruji, bahwa keberhasilan para pengusaha 80 persen dipengaruhi kesehatan mental, jadi PR kita adalah mengubah mindset masyarakat bahwa pendampingan psikologis itu hal yang biasanya saja, “ jelasnya.
Selain masih dipandang belum biasa, psikologi bagi masyarakat awam menurut Silverius masih merasa belum menjadi kebutuhan. “Pada dasarnya psikolog harusnya justru untuk masyarakat bawah. Mereka sangat memerlukan untuk menguatkan mental, namun justru Psikolog di kalangan bawah tidak laku. Yang mereka butuhkan adalah basic need, yakni makan dan minum, “ ujarnya.
Oleh karena itu, agar psikologi masuk pada kalangan bawah, ia mengajak para psikolog atau mahasiswa untuk meakukan pendekatan melalui ekonomi. “ Harus ada mediatornya. Kita tidak bisa tiba-tiba membangun karakter tanpa memberi solusi ekonomi. Itu akan percuma,” jelasnya.
Ia pun berharap acara ini dapat menyinergikan pendidikan psikologi, dan profesi psikologi. “ Harapannya adalah Bagaimana kita mampu mengelinkkan kurikulum antara dunia pendidikan dan tuntutan profesinya. Sehingga harapannya keduanya dapat saling berkolaborasi. Profesi dapat bersumbangsih untuk kurikulum dan melalui riset risetnya dunia akademis bisa menjadikan dasar pengembangan profesi untuk melayani masyarakat, “ harapnya.
Dalam acara tersebut ungkapnya ada sekitar 388 peserta dari 150 prodi Psikologi di seluruh Indonesia baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenag.
(atk)
tulis komentar anda