Wisudawan Tertua ITS Lulus di Usia 63 Tahun, Ini Sosoknya
Selasa, 27 September 2022 - 16:51 WIB
JAKARTA - Aditya Sutantio meyakini bahwa menuntut ilmu adalah perihal keberanian menginjakkan langkah pertama. Keyakinan itu membawanya menjadi wisudawan tertua pada Wisuda ke-126 Institut Teknologi Sepuluh Nopember ( ITS ). Wisudawan Departemen Teknik Sipil ini berhasil menamatkan studi doktoralnya di usia 63 tahun 4 bulan.
Melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor awalnya tak pernah ada dalam benak pria yang akrab disapa Adit ini. Dirinya yang sejak lulus dari jenjang sarjana telah berkecimpung di dunia konstruksi memilih untuk fokus pada pekerjaan di lapangan dan menjalankan berbagai proyek. Mulai dari jembatan, bendungan, hingga perumahan di pelosok Bali dan Nusa Tenggara.
Baca juga: Delapan Kampus Termahal di Indonesia, Ada Incaranmu?
Namun takdir berkata lain. Usai menamatkan pendidikan magisternya di Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT) ITS 2009 silam, ia didaulat menjadi salah satu pengajar di SIMT ITS. Meski di usia yang tak lagi muda, tuntutan menjadi pendidik menggerakkan hatinya untuk kembali mengenyam pendidikan.
“Hal ini pun tak lepas dari peran Prof Yulinah, salah satu guru besar yang kerap mendorong saya,” tutur sosok kelahiran Rembang 1959 ini, melalui siaran pers, Selasa (27/9/2022).
Bagi Adit, menjalani pendidikan doktoral dengan kondisi fisik yang tak sebugar dulu menjadi tantangan yang luar biasa, bahkan pernah hampir membuatnya menyerah. Ia berujar, terkadang cukup sulit untuk dapat membagi waktu antara kuliah dan pekerjaan yang tak sedikit. “Namun kebersamaan dengan mahasiswa doktoral lainnya membuat tugas yang dikerjakan terasa lebih ringan, kami juga sering belajar bersama,” ujarnya tersenyum.
Tak hanya persoalan waktu, bapak dua anak ini juga pernah terkendala dengan tuntutan untuk menghasilkan publikasi ilmiah internasional yang kelak dijadikan disertasi. “Publikasi ini sangat menantang bagi saya. “Diperlukan ketekunan, kecermatan, dan kemampuan untuk menulis bahasa Inggris yang benar,” ungkapnya.
Namun dukungan sang istri serta para pembimbing, Alm Prof Dr Ir Nadjadji Anwar, Ir I Putu Artama Wiguna, serta Prof Erma Suryani membuat Adit terus berjuang meski telah mengalami empat kali penolakan publikasi. Mengangkat topik disertasi tentang konstruksi berkelanjutan, pada awal 2022 akhirnya ia pun berhasil menerbitkan dua publikasi internasional sekaligus.
Baca juga: Mau Masuk Kampus Terbaik di Amerika dan Inggris? Cek Syarat yang Diperlukan
Dalam penelitiannya, Adit mengungkapkan keprihatinan terhadap masih jauhnya prospek pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Ia pun mengembangkan dynamic model, sebuah sistem di mana setiap variabelnya saling mempengaruhi. “Dalam kasus penelitian saya, diukur peningkatan konstruksi keberlanjutan dari pengurangan dampak lingkungan yang telah dilakukan,” terangnya.
Penyuka traveling ini pun berharap, ke depannya penelitian tersebut dapat secara perlahan dimanfaatkan para pengembang properti untuk mulai menggunakan material-material yang ramah lingkungan. Hal tersebut dapat diterapkan dengan memakai kembali material buangan serta desain bangunan yang lebih hemat energi. “Tentunya dibutuhkan pula kesadaran kolektif semua pihak agar kehidupan generasi selanjutnya dapat lebih baik,” ujarnya mengingatkan.
Merasakan berbagai keterbatasan dalam menjalankan pembangunan di daerah pelosok hingga berhasil menyelesaikan studi doktoral di usia yang tak lagi muda, membuat Adit berpesan kepada generasi muda untuk menjalani setiap proses pendidikan dengan penuh rasa syukur. “Seperti naik gunung, mencapai puncak itu hanya bonus. Yang terpenting adalah nikmati proses dan jalani dengan keikhlasan,” pungkasnya.
Melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor awalnya tak pernah ada dalam benak pria yang akrab disapa Adit ini. Dirinya yang sejak lulus dari jenjang sarjana telah berkecimpung di dunia konstruksi memilih untuk fokus pada pekerjaan di lapangan dan menjalankan berbagai proyek. Mulai dari jembatan, bendungan, hingga perumahan di pelosok Bali dan Nusa Tenggara.
Baca juga: Delapan Kampus Termahal di Indonesia, Ada Incaranmu?
Namun takdir berkata lain. Usai menamatkan pendidikan magisternya di Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT) ITS 2009 silam, ia didaulat menjadi salah satu pengajar di SIMT ITS. Meski di usia yang tak lagi muda, tuntutan menjadi pendidik menggerakkan hatinya untuk kembali mengenyam pendidikan.
“Hal ini pun tak lepas dari peran Prof Yulinah, salah satu guru besar yang kerap mendorong saya,” tutur sosok kelahiran Rembang 1959 ini, melalui siaran pers, Selasa (27/9/2022).
Bagi Adit, menjalani pendidikan doktoral dengan kondisi fisik yang tak sebugar dulu menjadi tantangan yang luar biasa, bahkan pernah hampir membuatnya menyerah. Ia berujar, terkadang cukup sulit untuk dapat membagi waktu antara kuliah dan pekerjaan yang tak sedikit. “Namun kebersamaan dengan mahasiswa doktoral lainnya membuat tugas yang dikerjakan terasa lebih ringan, kami juga sering belajar bersama,” ujarnya tersenyum.
Tak hanya persoalan waktu, bapak dua anak ini juga pernah terkendala dengan tuntutan untuk menghasilkan publikasi ilmiah internasional yang kelak dijadikan disertasi. “Publikasi ini sangat menantang bagi saya. “Diperlukan ketekunan, kecermatan, dan kemampuan untuk menulis bahasa Inggris yang benar,” ungkapnya.
Namun dukungan sang istri serta para pembimbing, Alm Prof Dr Ir Nadjadji Anwar, Ir I Putu Artama Wiguna, serta Prof Erma Suryani membuat Adit terus berjuang meski telah mengalami empat kali penolakan publikasi. Mengangkat topik disertasi tentang konstruksi berkelanjutan, pada awal 2022 akhirnya ia pun berhasil menerbitkan dua publikasi internasional sekaligus.
Baca juga: Mau Masuk Kampus Terbaik di Amerika dan Inggris? Cek Syarat yang Diperlukan
Dalam penelitiannya, Adit mengungkapkan keprihatinan terhadap masih jauhnya prospek pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Ia pun mengembangkan dynamic model, sebuah sistem di mana setiap variabelnya saling mempengaruhi. “Dalam kasus penelitian saya, diukur peningkatan konstruksi keberlanjutan dari pengurangan dampak lingkungan yang telah dilakukan,” terangnya.
Penyuka traveling ini pun berharap, ke depannya penelitian tersebut dapat secara perlahan dimanfaatkan para pengembang properti untuk mulai menggunakan material-material yang ramah lingkungan. Hal tersebut dapat diterapkan dengan memakai kembali material buangan serta desain bangunan yang lebih hemat energi. “Tentunya dibutuhkan pula kesadaran kolektif semua pihak agar kehidupan generasi selanjutnya dapat lebih baik,” ujarnya mengingatkan.
Merasakan berbagai keterbatasan dalam menjalankan pembangunan di daerah pelosok hingga berhasil menyelesaikan studi doktoral di usia yang tak lagi muda, membuat Adit berpesan kepada generasi muda untuk menjalani setiap proses pendidikan dengan penuh rasa syukur. “Seperti naik gunung, mencapai puncak itu hanya bonus. Yang terpenting adalah nikmati proses dan jalani dengan keikhlasan,” pungkasnya.
(nnz)
tulis komentar anda