Psikolog UI: Lato-lato Dapat Timbulkan Emosi Positif dan Asah Keterampilan Motorik Anak
Senin, 16 Januari 2023 - 22:35 WIB
“Pertama tentunya, menyeleksi dulu apakah alat permainan ini sesuai dan cocok untuk anaknya. Kedua, ketika orang tua sudah tahu mana permainan yang aman dan cocok untuk anaknya, orang tua bisa memberikan contoh bagaimana memainkannya terlebih dahulu jika anak memang mengalami kesulitan memainkannya," ujarnya.
Di sini, orang tua bisa menjadi play leader dan kemudian secara perlahan membiarkan anak melakukan trial and error dan bermain dengan caranya. Orang tua juga bisa memberikan aturan kapan permainan ini bisa dimainkan dan dimana tempat yang aman dan cocok memainkannya,” tambah Efriyani.
Lebih lanjut Efriyani menambahkan, langkah selanjutnya yang harus dilakukan orang tua adalah orang tua bisa menjadi co-player, artinya orang tua bisa menjadi teman bermain anak.
Terakhir, orang tua juga bisa memegang peran onlooker, yakni orang tua menjadi pengamat dan siap membantu jika anak memerlukan bantuan. Hal ini juga berarti, jika anak sudah terampil bermain lato-lato, orang tua tetap harus mengawasi.
Di sisi lain, lato-lato juga turut berpengaruh pada aturan beberapa sekolah di Indonesia. Seperti, Dinas Pendidikan (Disdik) kabupaten Bandung Barat yang melarang siswa Sekolah Dasar (SD) membawa mainan lato-lato ke sekolah.
Menanggapi tersebut, Efriyani menyampaikan bahwa aturan tersebut dilakukan sekolah karena beberapa hal, misalnya menganggu jalannya kegiatan sekolah, menimbulkan risiko kecelakaan, dan lain sebagainya.
“Sebenarnya, sekolah bisa memberikan ruang atau waktu tertentu untuk bermain mainan ini sehingga pengawasan dari pihak sekolah juga bisa optimal. Misalnya, tidak setiap hari tapi ada hari tertentu anak-anak diperbolehkan membawa dan bermain di waktu dan tempat tertentu," katanya.
"Dibuat kompetisi antarsiswa juga bisa. Saya rasa, itu bisa menyenangkan dan bermanfaat untuk anak-anak. Intinya adalah karena ini ruang lingkupnya di sekolah, tentunya permainan ini harus bisa diawasi untuk tidak menimbulkan kecelakaan dan tentunya tidak menganggu aktivitas sekolah,” pungkasnya.
Di sini, orang tua bisa menjadi play leader dan kemudian secara perlahan membiarkan anak melakukan trial and error dan bermain dengan caranya. Orang tua juga bisa memberikan aturan kapan permainan ini bisa dimainkan dan dimana tempat yang aman dan cocok memainkannya,” tambah Efriyani.
Lebih lanjut Efriyani menambahkan, langkah selanjutnya yang harus dilakukan orang tua adalah orang tua bisa menjadi co-player, artinya orang tua bisa menjadi teman bermain anak.
Terakhir, orang tua juga bisa memegang peran onlooker, yakni orang tua menjadi pengamat dan siap membantu jika anak memerlukan bantuan. Hal ini juga berarti, jika anak sudah terampil bermain lato-lato, orang tua tetap harus mengawasi.
Di sisi lain, lato-lato juga turut berpengaruh pada aturan beberapa sekolah di Indonesia. Seperti, Dinas Pendidikan (Disdik) kabupaten Bandung Barat yang melarang siswa Sekolah Dasar (SD) membawa mainan lato-lato ke sekolah.
Menanggapi tersebut, Efriyani menyampaikan bahwa aturan tersebut dilakukan sekolah karena beberapa hal, misalnya menganggu jalannya kegiatan sekolah, menimbulkan risiko kecelakaan, dan lain sebagainya.
“Sebenarnya, sekolah bisa memberikan ruang atau waktu tertentu untuk bermain mainan ini sehingga pengawasan dari pihak sekolah juga bisa optimal. Misalnya, tidak setiap hari tapi ada hari tertentu anak-anak diperbolehkan membawa dan bermain di waktu dan tempat tertentu," katanya.
"Dibuat kompetisi antarsiswa juga bisa. Saya rasa, itu bisa menyenangkan dan bermanfaat untuk anak-anak. Intinya adalah karena ini ruang lingkupnya di sekolah, tentunya permainan ini harus bisa diawasi untuk tidak menimbulkan kecelakaan dan tentunya tidak menganggu aktivitas sekolah,” pungkasnya.
(mpw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda