Prof Poppy Sulistyaning Dikukuhkan Jadi Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UGM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, M.PP., M.Sc., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional.
Pada upacara pengukuhan Guru Besar di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Kamis (23/3/2023), Poppy menyampaikan pidato yang berjudul Menimbang Kembali Embedded Liberalism untuk Reformasi WTO: Plurilateralisme dalam Multilateral Perdagangan Internasional.
Poppy dalam pidatonya menyebutkan soal keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia telah melanggar ketentuan dari WTO.
Merespons kebijakan itu, Presiden Joko Widodo menegaskan akan tetap melanjutkan kebijakan hilirisasi di dalam negeri.
Menurut Poppy, keputusan panel dari WTO ini berawal dari tuntutan Uni Eropa selaku penggugat atas dua kebijakan utama pemerintah Indonesia yang melarang ekspor mentah nikel dan kewajiban untuk melakukan proses pertambahan nilai domestik.
Pertikaian dagang antara Uni Eropa dan Indonesia ini berlangsung pada saat lembaga penyelesaian sengketa WTO tengah dilanda kemacetan sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan putusan proses penyelesaian sengketa ini akibat ketiadaan anggota Appellate Body yang merupakan organ penting dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO.
“Kekosongan anggota Appellate Body WTO ini merupakan salah satu dari deretan bukti bahwa multilateralisme perdagangan di bawah WTO tengah mengalami tekanan luar bisa dalam beberapa tahun belakangan,” ujar Poppy.
Dari kasus pertikaian dagang ini, menurut Poppy mencerminkan WTO mengalami stagnasi. Padahal, keberadaan WTO saat ini harus mampu beradaptasi dan memberi ruang bagi negara-negara anggotanya dalam menjalankan kebijakan domestik yang tengah dihadapkan pada ancaman nyata perubahan iklim dan perkembangan pesat ekonomi digital.
Pada upacara pengukuhan Guru Besar di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Kamis (23/3/2023), Poppy menyampaikan pidato yang berjudul Menimbang Kembali Embedded Liberalism untuk Reformasi WTO: Plurilateralisme dalam Multilateral Perdagangan Internasional.
Poppy dalam pidatonya menyebutkan soal keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia telah melanggar ketentuan dari WTO.
Merespons kebijakan itu, Presiden Joko Widodo menegaskan akan tetap melanjutkan kebijakan hilirisasi di dalam negeri.
Menurut Poppy, keputusan panel dari WTO ini berawal dari tuntutan Uni Eropa selaku penggugat atas dua kebijakan utama pemerintah Indonesia yang melarang ekspor mentah nikel dan kewajiban untuk melakukan proses pertambahan nilai domestik.
Pertikaian dagang antara Uni Eropa dan Indonesia ini berlangsung pada saat lembaga penyelesaian sengketa WTO tengah dilanda kemacetan sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan putusan proses penyelesaian sengketa ini akibat ketiadaan anggota Appellate Body yang merupakan organ penting dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO.
“Kekosongan anggota Appellate Body WTO ini merupakan salah satu dari deretan bukti bahwa multilateralisme perdagangan di bawah WTO tengah mengalami tekanan luar bisa dalam beberapa tahun belakangan,” ujar Poppy.
Dari kasus pertikaian dagang ini, menurut Poppy mencerminkan WTO mengalami stagnasi. Padahal, keberadaan WTO saat ini harus mampu beradaptasi dan memberi ruang bagi negara-negara anggotanya dalam menjalankan kebijakan domestik yang tengah dihadapkan pada ancaman nyata perubahan iklim dan perkembangan pesat ekonomi digital.