Kurikulum Pandemi Kapan?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Amalia tampak bersungut-sungut. Raut lelah dan bingung begitu kentara di wajah ibu empat anak yang tinggal di Ciputat, Kota Tangerang Selatan ini. Empat hari di rumah mendampingi tiga putrinya sekolah online, pikiran dan tenaganya seolah terkuras habis.
Kepusingan Amalia bertambah karena masing-masing anaknya menjalani pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berbeda. Anak sulung yang kini di kelas IX SMP mengikuti PJJ sejak pukul 07.30 WIB hingga pukul 12.30 WIB.
Selain waktunya lama, PJJ dengan memanfaatkan aplikasi zoom tersebut bersifat massal, yakni dikuti seluruh siswa kelas IX yang mencapai 300-an anak. Lantaran terlalu banyak peserta, anaknya kerap enggan mengikuti secara menyeluruh. “Seringkali zoom tetap dihidupkan, tapi dia tidur di samping laptop,” keluhnya.
Tugas online anak keduanya juga tak kalah membuat dia repot. Sejak Senin (13/7/2020), anaknya yang duduk di kelas 5 SD sudah mendapat dua tugas dari guru untuk membuat video. “Masalahnya video itu mewajibkan orang tua ikut terekam. Lha kan tidak semua orang tua paham dan punya waktu,” ujarnya. (Baca: Kemendikbud Diminta Tinjau Ulang Semua Regulasi yang Bisa Hambat PJJ)
Di saat ponsel dan laptop terpakai dua anaknya, dia juga bingung karena anak ketiganya yang masuk TK juga mulai sekolah PJJ. “Kuota menjadi cepat habis dan ini membuat kita sebagai orang tua semakin terbebani,” katanya.
Kerepotan serupa juga dialami Rarasati, warga Pondok Aren, Tangerang Selatan. Rarasati yang juga memiliki empat anak ini dibuat bingung membagi penggunaan gadget. Beberapa kali mendampingi anaknya PJJ, dia melihat ada beberapa siswa yang sulit meng-update alamat situs pertemuan karena tidak mendapat pendampingan dari orangtua yang harus bekerja.
Tak sedikit pula siswa mengeluhkan apa yang harus dipelajari dalam pertemuan hari itu akibat akses zoom yang terputus-putus lantaran sekolah mengandalkan aplikasi gratis selama 40 menit. Seringkali siswa harus menyimak pertemuan sambungan melalui ruang Instagram (IG) live.
PJJ yang belum dipayungi kurikulum khusus kala pandemi Covid memang menyisakan banyak persoalan. Kebijakan-kebijakan yang selama ini diberlakukan justru menyebabkan masalah sosial yang lain. Di Surabaya, LT (11) siswi kelas 5 SD dua hari lalu nekat kabur dari rumahnya gara-gara dimarahi ibunya lantaran dianggap menghabiskan pulsa dan kuota internet untuk tugas sekolah. Beruntung setelah sekitar 1,5 jam dicari, LT berhasil ditemukan. (Baca juga: Protes Sanksi Terkait Hong Kong, China Panggil Dubes AS)
Desakan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melonggarkan beban kurikulum pembelajaran di masa pandemi telah lama disuarakan berbagai kalangan. Kendati demikian hingga saat ini janji Kemendikbud untuk mengembangkan kurikulum baru yang sesuai dengan masa darurat kesehatan tak kunjung terealisasi.
Kurikulum 2013 sebagai acuan pendidikan di Indonesia saat ini dinilai sudah kurang sesuai dengan kondisi siswa, guru, dan penyelenggara sekolah. Kurikulum 2013 dinilai terlalu padat konten yang memberatkan para siswa di kala harus melakukan PJJ. Harusnya dengan situasi tersebut maka ada harus ada revisi terhadap target capaian kompetensi literasi dan numerasi siswa, beban pembelajaran, hingga lamanya waktu belajar. Dengan demikian para siswa, guru, maupun penyelenggara sekolah mempunyai acuan pendidikan yang lebih membumi dan sesuai dengan situasi kedaruratan. “PGRI mengusulkan agar pemerintah merancang 'Kurikulum Sekolah Era Pandemi (KSEP)' yang praktis dan aplikatif dengan target pembelajaran yang rasional," ujar Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi.
Harus diakui proses pendidikan di tengah masa pandemi memang tidak bisa berjalan normal. Banyak kendala teknis yang dihadapi oleh stakeholder pendidikan dalam melaksanakan PJJ. Kendala teknis itu di antaranya tidak semua siswa mempunyai handphone, tidak meratanya akses internet, para guru yang belum terbiasa dengan pola pembelajaran jarak jauh, maupun tidak semua orang tua mempunyai kesempatan dan kemampuan mendampingi sang anak untuk belajar. (Baca juga: Suku Bunga Turun Dorong Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi)
Kemendikbud sebenarnya telah menjanjikan akan segera menyusun kurikulum adaptif agar sesuai dengan kondidi pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan Plt Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad. Namun hingga tahun ajaran baru telah berjalan, kurikulum adaptif tersebut tidak kunjung terealisasi.
Kesulitan para siswa, guru, sekolah, maupun orang tua siswa untuk beradaptasi dengan pola pembelajaran jarak jauh juga tergambar dari hasil jajak pendapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jajak pendapat itu dilaksanakan pada 13-21 April 2020. Diikuti oleh 1.700 responden siswa dan 602 responden guru yang meliputi 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota.
Survei tersebut menunjukkan bahwa guru yang sudah terbiasa menggunakan pembelajaran daring (berbasis digital) terus-menerus di kelas hanya 8%. Bahkan masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran online sebelum masa krisis ini (9,6%). Temuan itu diperkuat temuan di mana mayoritas guru dalam PJJ belum memahami sepenuhnya penggunaan media teknologi digital dalam pembelajaran. Mereka hanya sebatas “menggunakan WA, LINE, IG, dan FB” sebagai media pembelajaran (82,2%).
Jajak pendapat KPAI tersebut juga menunjukkan jika mayoritas siswa (79,9%) merasa PJJ berlangsung tanpa interaksi guru-siswa sama sekali. Para guru hanya memberikan tugas dan menagih tugas saja, tanpa ada interaksi belajar, seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru menjelaskan materi. Hanya 20,1% responden dari siswa yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ. Bentuk interaksi tersebut adalah sebanyak 87,2% responden menyatakan melalui chating, 20,2% menggunakan aplikasi zoom meeting, sedangkan 7,6% lagi menggunakan aplikasi video call WhatsApp; dan 5,2% responden menggunakan telepon untuk langsung bicara dengan gurunya. (Baca juga: Ratusan Warga Pasuruan Nekat Rebut dan Buka Paksa Peti Jenazah Covid-19)
Sebanyak 77,8% siswa mengalami kesulitan akibat tugas yang menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit. Belum selesai tugas pertama, sudah datang tugas selanjutnya dari guru yang lain. Demikian seterusnya, padahal tugas yang pertama saja belum selesai. Sedangkan 37,1% responen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit, sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan, aktivitas belajar seperti ini pun tentu jauh dari menyenangkan.
KPAI juga mencatat bahwa di tengah keterbatasan pembelajaran guru malah masih mengejar ketercapaian kurikulum yang dimasa normal saja ketercapaian tersebut sulit dilakukan. Kondisi guru dilapangan ini kontradiktif dengan SE Mendikbud No 4/2020 yang menyebutkan sekolah tidak harus mengejar ketuntasan pembelajarans ebab akan menambah beban siswa dan guru. “KPAI pada bulan April lalu sudah merekomendasikan adanya kurikulum dalam situasi darurat sehingga guru bisa memilih materi esensial dan utama saja yang diberikan,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim juga menuntut hal yang sama. Padahal, katanya, FSGI pun menunggu-nunggu undangan Kemendikbud untuk turut membahas penyusunan kurikulum darurat tersebut. ''Sangat dibutuhkan kurikulum adaptif di masa pandemi,'' katanya.
Memang ada SE No 4/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 dan SE No 15/2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Kedua SE tersebut bisa dijadikan patokan dalam pembelajaran. Terutma dalam memilih kompetensi dasar yang esensial sehingga guru tidak berorientasi pada penyelesaian target capaian semua kurikulum baik standar isi atau kompetensi dasar. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah para guru sudah memahami isi SE tersebut. Menurut Satriwan, perlu adanya survei terbaru untuk melihat sejauhmana pemahaman guru akan SE tersebut. (Lihat videonya: Heboh! Pedagang Angkringan Cantik di Sragen Bikin Pembeli Gagal Fokus)
Kurikulum darurat inilah yang juga dituntut oleh Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian. Bagi Hetifah, tahun ajaran baru ini berbeda dari tahun-tahun ajaran sebelumnya. Oleh karena itu, persiapan dan target-targetnya juga berbeda.
Ketika dikonfirmasi mengenai kapan kurikulum darurat ini terbit, Plt Dirjen Pendidikan Paud, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengaku tidak tahu persis. Dia hanya mengatakan drafnya sudah selesai disiapkan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud. “Tinggal final touch dan dilaporkan ke Pak Menteri,” ujarnya. (Neneng Zubaidah/Abdul Hakim)
Kepusingan Amalia bertambah karena masing-masing anaknya menjalani pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berbeda. Anak sulung yang kini di kelas IX SMP mengikuti PJJ sejak pukul 07.30 WIB hingga pukul 12.30 WIB.
Selain waktunya lama, PJJ dengan memanfaatkan aplikasi zoom tersebut bersifat massal, yakni dikuti seluruh siswa kelas IX yang mencapai 300-an anak. Lantaran terlalu banyak peserta, anaknya kerap enggan mengikuti secara menyeluruh. “Seringkali zoom tetap dihidupkan, tapi dia tidur di samping laptop,” keluhnya.
Tugas online anak keduanya juga tak kalah membuat dia repot. Sejak Senin (13/7/2020), anaknya yang duduk di kelas 5 SD sudah mendapat dua tugas dari guru untuk membuat video. “Masalahnya video itu mewajibkan orang tua ikut terekam. Lha kan tidak semua orang tua paham dan punya waktu,” ujarnya. (Baca: Kemendikbud Diminta Tinjau Ulang Semua Regulasi yang Bisa Hambat PJJ)
Di saat ponsel dan laptop terpakai dua anaknya, dia juga bingung karena anak ketiganya yang masuk TK juga mulai sekolah PJJ. “Kuota menjadi cepat habis dan ini membuat kita sebagai orang tua semakin terbebani,” katanya.
Kerepotan serupa juga dialami Rarasati, warga Pondok Aren, Tangerang Selatan. Rarasati yang juga memiliki empat anak ini dibuat bingung membagi penggunaan gadget. Beberapa kali mendampingi anaknya PJJ, dia melihat ada beberapa siswa yang sulit meng-update alamat situs pertemuan karena tidak mendapat pendampingan dari orangtua yang harus bekerja.
Tak sedikit pula siswa mengeluhkan apa yang harus dipelajari dalam pertemuan hari itu akibat akses zoom yang terputus-putus lantaran sekolah mengandalkan aplikasi gratis selama 40 menit. Seringkali siswa harus menyimak pertemuan sambungan melalui ruang Instagram (IG) live.
PJJ yang belum dipayungi kurikulum khusus kala pandemi Covid memang menyisakan banyak persoalan. Kebijakan-kebijakan yang selama ini diberlakukan justru menyebabkan masalah sosial yang lain. Di Surabaya, LT (11) siswi kelas 5 SD dua hari lalu nekat kabur dari rumahnya gara-gara dimarahi ibunya lantaran dianggap menghabiskan pulsa dan kuota internet untuk tugas sekolah. Beruntung setelah sekitar 1,5 jam dicari, LT berhasil ditemukan. (Baca juga: Protes Sanksi Terkait Hong Kong, China Panggil Dubes AS)
Desakan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melonggarkan beban kurikulum pembelajaran di masa pandemi telah lama disuarakan berbagai kalangan. Kendati demikian hingga saat ini janji Kemendikbud untuk mengembangkan kurikulum baru yang sesuai dengan masa darurat kesehatan tak kunjung terealisasi.
Kurikulum 2013 sebagai acuan pendidikan di Indonesia saat ini dinilai sudah kurang sesuai dengan kondisi siswa, guru, dan penyelenggara sekolah. Kurikulum 2013 dinilai terlalu padat konten yang memberatkan para siswa di kala harus melakukan PJJ. Harusnya dengan situasi tersebut maka ada harus ada revisi terhadap target capaian kompetensi literasi dan numerasi siswa, beban pembelajaran, hingga lamanya waktu belajar. Dengan demikian para siswa, guru, maupun penyelenggara sekolah mempunyai acuan pendidikan yang lebih membumi dan sesuai dengan situasi kedaruratan. “PGRI mengusulkan agar pemerintah merancang 'Kurikulum Sekolah Era Pandemi (KSEP)' yang praktis dan aplikatif dengan target pembelajaran yang rasional," ujar Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi.
Harus diakui proses pendidikan di tengah masa pandemi memang tidak bisa berjalan normal. Banyak kendala teknis yang dihadapi oleh stakeholder pendidikan dalam melaksanakan PJJ. Kendala teknis itu di antaranya tidak semua siswa mempunyai handphone, tidak meratanya akses internet, para guru yang belum terbiasa dengan pola pembelajaran jarak jauh, maupun tidak semua orang tua mempunyai kesempatan dan kemampuan mendampingi sang anak untuk belajar. (Baca juga: Suku Bunga Turun Dorong Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi)
Kemendikbud sebenarnya telah menjanjikan akan segera menyusun kurikulum adaptif agar sesuai dengan kondidi pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan Plt Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad. Namun hingga tahun ajaran baru telah berjalan, kurikulum adaptif tersebut tidak kunjung terealisasi.
Kesulitan para siswa, guru, sekolah, maupun orang tua siswa untuk beradaptasi dengan pola pembelajaran jarak jauh juga tergambar dari hasil jajak pendapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jajak pendapat itu dilaksanakan pada 13-21 April 2020. Diikuti oleh 1.700 responden siswa dan 602 responden guru yang meliputi 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota.
Survei tersebut menunjukkan bahwa guru yang sudah terbiasa menggunakan pembelajaran daring (berbasis digital) terus-menerus di kelas hanya 8%. Bahkan masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran online sebelum masa krisis ini (9,6%). Temuan itu diperkuat temuan di mana mayoritas guru dalam PJJ belum memahami sepenuhnya penggunaan media teknologi digital dalam pembelajaran. Mereka hanya sebatas “menggunakan WA, LINE, IG, dan FB” sebagai media pembelajaran (82,2%).
Jajak pendapat KPAI tersebut juga menunjukkan jika mayoritas siswa (79,9%) merasa PJJ berlangsung tanpa interaksi guru-siswa sama sekali. Para guru hanya memberikan tugas dan menagih tugas saja, tanpa ada interaksi belajar, seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru menjelaskan materi. Hanya 20,1% responden dari siswa yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ. Bentuk interaksi tersebut adalah sebanyak 87,2% responden menyatakan melalui chating, 20,2% menggunakan aplikasi zoom meeting, sedangkan 7,6% lagi menggunakan aplikasi video call WhatsApp; dan 5,2% responden menggunakan telepon untuk langsung bicara dengan gurunya. (Baca juga: Ratusan Warga Pasuruan Nekat Rebut dan Buka Paksa Peti Jenazah Covid-19)
Sebanyak 77,8% siswa mengalami kesulitan akibat tugas yang menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit. Belum selesai tugas pertama, sudah datang tugas selanjutnya dari guru yang lain. Demikian seterusnya, padahal tugas yang pertama saja belum selesai. Sedangkan 37,1% responen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit, sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan, aktivitas belajar seperti ini pun tentu jauh dari menyenangkan.
KPAI juga mencatat bahwa di tengah keterbatasan pembelajaran guru malah masih mengejar ketercapaian kurikulum yang dimasa normal saja ketercapaian tersebut sulit dilakukan. Kondisi guru dilapangan ini kontradiktif dengan SE Mendikbud No 4/2020 yang menyebutkan sekolah tidak harus mengejar ketuntasan pembelajarans ebab akan menambah beban siswa dan guru. “KPAI pada bulan April lalu sudah merekomendasikan adanya kurikulum dalam situasi darurat sehingga guru bisa memilih materi esensial dan utama saja yang diberikan,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim juga menuntut hal yang sama. Padahal, katanya, FSGI pun menunggu-nunggu undangan Kemendikbud untuk turut membahas penyusunan kurikulum darurat tersebut. ''Sangat dibutuhkan kurikulum adaptif di masa pandemi,'' katanya.
Memang ada SE No 4/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 dan SE No 15/2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Kedua SE tersebut bisa dijadikan patokan dalam pembelajaran. Terutma dalam memilih kompetensi dasar yang esensial sehingga guru tidak berorientasi pada penyelesaian target capaian semua kurikulum baik standar isi atau kompetensi dasar. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah para guru sudah memahami isi SE tersebut. Menurut Satriwan, perlu adanya survei terbaru untuk melihat sejauhmana pemahaman guru akan SE tersebut. (Lihat videonya: Heboh! Pedagang Angkringan Cantik di Sragen Bikin Pembeli Gagal Fokus)
Kurikulum darurat inilah yang juga dituntut oleh Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian. Bagi Hetifah, tahun ajaran baru ini berbeda dari tahun-tahun ajaran sebelumnya. Oleh karena itu, persiapan dan target-targetnya juga berbeda.
Ketika dikonfirmasi mengenai kapan kurikulum darurat ini terbit, Plt Dirjen Pendidikan Paud, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengaku tidak tahu persis. Dia hanya mengatakan drafnya sudah selesai disiapkan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud. “Tinggal final touch dan dilaporkan ke Pak Menteri,” ujarnya. (Neneng Zubaidah/Abdul Hakim)
(ysw)