Mengenal RA Kartini, Pahlawan Nasional Pejuang Emansipasi Wanita
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hari ini 21 April 2023, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini . RA Kartini merupakan salah satu pahlawan nasional yang berjuang untuk emansipasi perempuan.
Pada 21 April 1879, lahirlah seorang wanita pribumi yang berhasil mengubah pemikiran tertutup orang-orang mengenai peranan perempuan di tengah masyarakat.
Kartini dilahirkan di Jepara sebagai keturunan bangsawan. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat merupakan Bupati Jepara, sedangkan ibunya yang bernama M.A Ngasirah hanyalah rakyat biasa.
Dikutip dari laman Direktorat SMP Kemendikbudristek, Kartini dibesarkan di lingkungan yang melakukan diskriminasi terhadap wanita.
Menurutnya, adat di lingkungannya tidak memberikan kesempatan kepada para wanita (khususnya wanita pribumi) untuk menikmati hak pendidikan yang layak.
Baca juga: 3 Siswa Madrasah Asal Yogyakarta Melaju ke Final Kompetisi Sains Indonesia 2023
Meski Kartini cukup beruntung karena merupakan wanita keturunan bangsawan pribumi. Sehingga dia pun mendapat hak istimewa sosial yang membuatnya sempat belajar di ELS (Europese Lagere School).
Di sekolah itu dirinya belajar bahasa Belanda walau hanya sampai usia 12 tahun karena kebijakan diskriminatif terhadap kaum hawa.
Teman-teman sebayanya tak semujur dirinya yang bisa menempuh pendidikan. Ketika di usia anak-anak hingga remaja seharusnya asyik bermain dan belajar, kondisi wanita saat itu sudah “dipingit” untuk persiapan dinikahkan.
Setelah masa pendidikannya sudah usai, Kartini tinggal di rumah untuk belajar sendiri dan mulai menulis surat untuk korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. Dari teman-temannya, ia mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa tentang kemajuan berpikir wanita Eropa.
Tulisan-tulisan tersebut yang menyulut api baru dalam dirinya. Timbul keinginan di hatinya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang sangat rendah.
Setelah itu, ia mulai rajin mengirimkan tulisan kepada De Hollandsche Lelie, salah satu majalah Belanda yang sering dibacanya.
Buku-buku bertulisan belanda tersebut semakin membuka pikirannya dan semakin maju. Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat ia memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Baca juga: Dukung SDM Indonesia Unggul, Unpad Tawarkan Beasiswa Fast Track dan Doktor
Perhatiannya tak hanya semata-mata tentang emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Ia melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Menginjak usia 24 tahun, ia akhirnya menikah dengan seorang bangsawan juga pada 12 November 1903. K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan Bupati Rembang saat itu sangat beruntung bisa meminang wanita cerdas yang memiliki semangat juang tinggi untuk perempuan.
Menikah bukan menjadi halangan bagi dirinya untuk terus memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sang suami justru sangat mendukung pemikirannya tersebut. Hal itu terbukti dengan mengizinkan dirinya mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Setelah menikah, ia dan suami dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904.
Namun, tak lama kemudian kebahagiaan itu pun sirna. Berselang empat hari setelah persalinan, wanita itu mengembuskan napas terakhirnya pada 19 September 1904.
Kendati demikian, kepergiannya tidak serta-merta meruntuhkan segala perjuangannya selama ini. Mr. J. H. Abendanon, salah satu temannya di Belanda yang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda mengumpulkan surat-surat yang pernah ia kirimkan kepada teman-temannya di Eropa.
Surat-surat tersebut berisikan pemikiran dirinya mengenai kebebasan wanita dan persamaan dalam memperoleh hak.
Abendanon kemudian membukukan seluruh surat dari wanita itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang sastrawan bernama Armijn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tidak hanya itu, berkat kegigihannya, seorang tokoh politik etis bernama Van Deventer mendirikan yayasan dan sekolah wanita. Sekolah ini dibangun di Semarang pada 1912, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Pada 21 April 1879, lahirlah seorang wanita pribumi yang berhasil mengubah pemikiran tertutup orang-orang mengenai peranan perempuan di tengah masyarakat.
Kartini dilahirkan di Jepara sebagai keturunan bangsawan. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat merupakan Bupati Jepara, sedangkan ibunya yang bernama M.A Ngasirah hanyalah rakyat biasa.
Dikutip dari laman Direktorat SMP Kemendikbudristek, Kartini dibesarkan di lingkungan yang melakukan diskriminasi terhadap wanita.
Menurutnya, adat di lingkungannya tidak memberikan kesempatan kepada para wanita (khususnya wanita pribumi) untuk menikmati hak pendidikan yang layak.
Baca juga: 3 Siswa Madrasah Asal Yogyakarta Melaju ke Final Kompetisi Sains Indonesia 2023
Meski Kartini cukup beruntung karena merupakan wanita keturunan bangsawan pribumi. Sehingga dia pun mendapat hak istimewa sosial yang membuatnya sempat belajar di ELS (Europese Lagere School).
Di sekolah itu dirinya belajar bahasa Belanda walau hanya sampai usia 12 tahun karena kebijakan diskriminatif terhadap kaum hawa.
Teman-teman sebayanya tak semujur dirinya yang bisa menempuh pendidikan. Ketika di usia anak-anak hingga remaja seharusnya asyik bermain dan belajar, kondisi wanita saat itu sudah “dipingit” untuk persiapan dinikahkan.
Setelah masa pendidikannya sudah usai, Kartini tinggal di rumah untuk belajar sendiri dan mulai menulis surat untuk korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. Dari teman-temannya, ia mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa tentang kemajuan berpikir wanita Eropa.
Tulisan-tulisan tersebut yang menyulut api baru dalam dirinya. Timbul keinginan di hatinya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang sangat rendah.
Setelah itu, ia mulai rajin mengirimkan tulisan kepada De Hollandsche Lelie, salah satu majalah Belanda yang sering dibacanya.
Buku-buku bertulisan belanda tersebut semakin membuka pikirannya dan semakin maju. Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat ia memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Baca juga: Dukung SDM Indonesia Unggul, Unpad Tawarkan Beasiswa Fast Track dan Doktor
Perhatiannya tak hanya semata-mata tentang emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Ia melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Menginjak usia 24 tahun, ia akhirnya menikah dengan seorang bangsawan juga pada 12 November 1903. K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan Bupati Rembang saat itu sangat beruntung bisa meminang wanita cerdas yang memiliki semangat juang tinggi untuk perempuan.
Menikah bukan menjadi halangan bagi dirinya untuk terus memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sang suami justru sangat mendukung pemikirannya tersebut. Hal itu terbukti dengan mengizinkan dirinya mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Setelah menikah, ia dan suami dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904.
Namun, tak lama kemudian kebahagiaan itu pun sirna. Berselang empat hari setelah persalinan, wanita itu mengembuskan napas terakhirnya pada 19 September 1904.
Kendati demikian, kepergiannya tidak serta-merta meruntuhkan segala perjuangannya selama ini. Mr. J. H. Abendanon, salah satu temannya di Belanda yang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda mengumpulkan surat-surat yang pernah ia kirimkan kepada teman-temannya di Eropa.
Surat-surat tersebut berisikan pemikiran dirinya mengenai kebebasan wanita dan persamaan dalam memperoleh hak.
Abendanon kemudian membukukan seluruh surat dari wanita itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang sastrawan bernama Armijn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tidak hanya itu, berkat kegigihannya, seorang tokoh politik etis bernama Van Deventer mendirikan yayasan dan sekolah wanita. Sekolah ini dibangun di Semarang pada 1912, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(nnz)