Tim Mahasiswa ITB Raih Runner Up L'Oréal Brandstorm 2023 Tingkat Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Salah satu tim mahasiswa Institut Teknologi Bandung ( ITB ) berhasil meraih Runner Up pada ajang L'Oréal Brandstorm 2023 tingkat nasional di Jakarta. Empat dari 8 tim yang berhasil masuk ke tahap nasional final Indonesia merupakan tim dari Institut Teknologi Bandung, yakni tim Babaturan, e-Xperience, Maya, dan Truco.
L'Oréal Brandstorm adalah sebuah kompetisi tahunan yang diselenggarakan oleh perusahaan kosmetik global L'Oréal. Tahun ini, kompetisi ini mengusung tema Crack the New Codes of Beauty, berkaitan dengan teknologi dan kecantikan mulai dari AR (Augmented reality), VR (Virtual reality), AI (Artificial Intelligence) Metaverse hingga Non-Fungible Token (NFT).
Tim Babaturan (Babaturan=pertemanan) yang beranggotakan Zabina Chaerunissa (Manajemen Rekayasa Industri 2020), Muhammad Fahrian Ihsan (Teknik Industri 2019), dan Vania Alya Qonita (Sistem dan Teknologi Informasi 2019) berhasil meraih Runner Up lewat inovasi menghubungkan penata rias dengan pelanggannya mengintegrasikan AI, AR, dan NFT.
Inovasi tersebut dilatarbelakangi oleh pekerjaan makeup artist yang cukup terdampak selama pandemi sehingga unemployed rate-nya cukup tinggi dan pengguna jasa makeup artist yang terkendala baik dalam hal harga maupun waktu. Oleh karena itu, tim Babaturan menciptakan inovasi yang dapat menghubungkan makeup artist dengan customer dalam bentuk yang scalable.
Bentuk inovasi mereka adalah makeup artist membuat look make up yang dapat dideteksi oleh AI. Hasilnya akan terdeteksi seperti filter Instagram yang dapat dicoba oleh pengguna. Apabila pengguna sudah merasa cocok, look make up yang dipilih dapat dicetak menggunakan printer khusus dan menghasilkan makeup dalam bentuk sheet mask.
Tentunya hal ini dapat menghemat waktu dalam berdandan. Selain itu, look make up yang sudah dibuat juga dapat diubah menjadi NFT sebagai bentuk intellectual property dan tambahan pemasukan bagi makeup artist yang membuatnya.
Dalam perjalanan mereka mengikuti kompetisi ini, tentunya banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu kendala terbesar adalah mengatur waktu diskusi dengan kesibukan masing-masing yang cukup beragam.
Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan baik karena setiap diskusi berjalan dengan efisien sehingga dapat menghasilkan output yang diharapkan. Selain itu, setiap anggota juga paham terkait kapabilitasnya masing-masing sehingga pembagian tugasnya menjadi lebih mudah.
Bukan hanya di saat persiapan, mereka juga merasakan tantangan yang cukup challenging di saat final. “Kita punya 6 slide dan kita punya inovasi sekompleks ini tapi kita harus nge-pitching dalam waktu 3 menit doang. Nah itu merupakan challenge terbesar sih,” cerita Zabina.
Melalui kompetisi ini, banyak ilmu dan pelajaran yang mereka dapatkan, salah satunya adalah untuk pantang menyerah. “Ketika kita ngelakuin sesuatu proses, mau bikin sesuatu, mau apapun itu, it’s ok to start ga langsung bagus. Tapi proses iteratif itulah yang penting,” ungkap Ihsan.
L'Oréal Brandstorm adalah sebuah kompetisi tahunan yang diselenggarakan oleh perusahaan kosmetik global L'Oréal. Tahun ini, kompetisi ini mengusung tema Crack the New Codes of Beauty, berkaitan dengan teknologi dan kecantikan mulai dari AR (Augmented reality), VR (Virtual reality), AI (Artificial Intelligence) Metaverse hingga Non-Fungible Token (NFT).
Tim Babaturan (Babaturan=pertemanan) yang beranggotakan Zabina Chaerunissa (Manajemen Rekayasa Industri 2020), Muhammad Fahrian Ihsan (Teknik Industri 2019), dan Vania Alya Qonita (Sistem dan Teknologi Informasi 2019) berhasil meraih Runner Up lewat inovasi menghubungkan penata rias dengan pelanggannya mengintegrasikan AI, AR, dan NFT.
Inovasi tersebut dilatarbelakangi oleh pekerjaan makeup artist yang cukup terdampak selama pandemi sehingga unemployed rate-nya cukup tinggi dan pengguna jasa makeup artist yang terkendala baik dalam hal harga maupun waktu. Oleh karena itu, tim Babaturan menciptakan inovasi yang dapat menghubungkan makeup artist dengan customer dalam bentuk yang scalable.
Bentuk inovasi mereka adalah makeup artist membuat look make up yang dapat dideteksi oleh AI. Hasilnya akan terdeteksi seperti filter Instagram yang dapat dicoba oleh pengguna. Apabila pengguna sudah merasa cocok, look make up yang dipilih dapat dicetak menggunakan printer khusus dan menghasilkan makeup dalam bentuk sheet mask.
Tentunya hal ini dapat menghemat waktu dalam berdandan. Selain itu, look make up yang sudah dibuat juga dapat diubah menjadi NFT sebagai bentuk intellectual property dan tambahan pemasukan bagi makeup artist yang membuatnya.
Dalam perjalanan mereka mengikuti kompetisi ini, tentunya banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu kendala terbesar adalah mengatur waktu diskusi dengan kesibukan masing-masing yang cukup beragam.
Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan baik karena setiap diskusi berjalan dengan efisien sehingga dapat menghasilkan output yang diharapkan. Selain itu, setiap anggota juga paham terkait kapabilitasnya masing-masing sehingga pembagian tugasnya menjadi lebih mudah.
Bukan hanya di saat persiapan, mereka juga merasakan tantangan yang cukup challenging di saat final. “Kita punya 6 slide dan kita punya inovasi sekompleks ini tapi kita harus nge-pitching dalam waktu 3 menit doang. Nah itu merupakan challenge terbesar sih,” cerita Zabina.
Melalui kompetisi ini, banyak ilmu dan pelajaran yang mereka dapatkan, salah satunya adalah untuk pantang menyerah. “Ketika kita ngelakuin sesuatu proses, mau bikin sesuatu, mau apapun itu, it’s ok to start ga langsung bagus. Tapi proses iteratif itulah yang penting,” ungkap Ihsan.
(mpw)