Netizen Ramai Protes Fenomena Wisuda TK-SMA, Dosen UM Surabaya Angkat Bicara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fenomena wisuda yang digelar di jenjang TK hingga SMA menimbulkan kebehoban di media sosial. Netizen ramai-ramai protes prosesi kelulusan karena dinilai belum saatnya dilakukan dan memberatkan orang tua.
Wisuda di jenjang TK hingga SMA dipersoalkan karena orang tua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari uang sewa gedung, sewa pakaian, make up di salon, dan lain sebagainya.
Wisuda di jenjang pendidikan anak usia dini hingga putih abu-abu pun oleh netizen dinilai kurang bermakna. Wisuda cukup hanya untuk jenjang kuliah saja sementara di jenjang bawahnya cukup dengan seragam sekolah dan bukan berkebaya dan toga.
Menanggapi problema wisuda ini, dosen Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Holy Ichda Wahyuni pun angkat bicara. Holy mengaku tidak sepakat dengan prosesi wisuda siswa usia dini tersebut.
Baca juga: Netizen Protes Wisuda TK-SMA ke Nadiem, Begini Tanggapan Kemendikbudristek
Holy Icha Wahyuni menyebut, sebaiknya purnasiswa di usia dini atau di jenjang Sekolah Dasar (SD) itu dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan anak.
“Anak usia dini nuansa pelepasan akhir tahun seharusnya diarahkan pada seremoni yang mendukung penyaluran kreasi siswa. Seperti seni tari, membaca puisi, menyanyi, hal-hal tersebut lebih banyak manfaatnya dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak sejak dini,” katanya, dikutip dari laman UM Surabaya, Minggu (18/6/2023).
Selain itu, lanjut Holy, diharapkan acara pelepasan siswa ke jenjang lebih tinggi itu harus lebih banyak dikemas menjadi sarana yang lebih intim bagi forum komunikasi guru dan orang tua siswa.
Menurutnya, memandang makna toga sebagai bentuk kelulusan mahasiswa di jenjang sarjana, apabila tetap ditempatkan pada makna yang sebenarnya justru dapat menjadi value yang memacu motivasi siswa di jenjang PAUD, SD, SMP, maupun SMA.
“Membangun kesadaran dan harapan bahwa perjalanan pendidikan mereka masih panjang. Memacu semangat dan daya juang anak untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi,” pungkasnya.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Tanoto Foundation Bermitra dengan 2 Pemkab di Jambi
Sebelumnya, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek Anang Ristanto memberikan tanggapan mengenai protes netizen terkait wisuda yang dinilai cukup memberatkan itu.
Dia mengatakan, fenomena dan budaya kegiatan wisuda yang dilakukan jenjang PAUD/TK, SD, SMP hingga SMA merupakan kegiatan yang opsional.
Kemendikbudristek melalui Permendikbud No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menegaskan, kegiatan bersama antara satuan pendidikan yang melibatkan orang tua dapat didiskusikan dan dimusyawarahkan bersama dengan Komite Sekolah.
Selain itu, Anang menambahkan, Kemendikbudristek mengimbau agar pihak sekolah dapat membuka pintu komunikasi dan bekerja sama dengan Komite Sekolah dan Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG).
Wisuda di jenjang TK hingga SMA dipersoalkan karena orang tua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari uang sewa gedung, sewa pakaian, make up di salon, dan lain sebagainya.
Wisuda di jenjang pendidikan anak usia dini hingga putih abu-abu pun oleh netizen dinilai kurang bermakna. Wisuda cukup hanya untuk jenjang kuliah saja sementara di jenjang bawahnya cukup dengan seragam sekolah dan bukan berkebaya dan toga.
Menanggapi problema wisuda ini, dosen Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Holy Ichda Wahyuni pun angkat bicara. Holy mengaku tidak sepakat dengan prosesi wisuda siswa usia dini tersebut.
Baca juga: Netizen Protes Wisuda TK-SMA ke Nadiem, Begini Tanggapan Kemendikbudristek
Holy Icha Wahyuni menyebut, sebaiknya purnasiswa di usia dini atau di jenjang Sekolah Dasar (SD) itu dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan anak.
“Anak usia dini nuansa pelepasan akhir tahun seharusnya diarahkan pada seremoni yang mendukung penyaluran kreasi siswa. Seperti seni tari, membaca puisi, menyanyi, hal-hal tersebut lebih banyak manfaatnya dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak sejak dini,” katanya, dikutip dari laman UM Surabaya, Minggu (18/6/2023).
Selain itu, lanjut Holy, diharapkan acara pelepasan siswa ke jenjang lebih tinggi itu harus lebih banyak dikemas menjadi sarana yang lebih intim bagi forum komunikasi guru dan orang tua siswa.
Menurutnya, memandang makna toga sebagai bentuk kelulusan mahasiswa di jenjang sarjana, apabila tetap ditempatkan pada makna yang sebenarnya justru dapat menjadi value yang memacu motivasi siswa di jenjang PAUD, SD, SMP, maupun SMA.
“Membangun kesadaran dan harapan bahwa perjalanan pendidikan mereka masih panjang. Memacu semangat dan daya juang anak untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi,” pungkasnya.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Tanoto Foundation Bermitra dengan 2 Pemkab di Jambi
Sebelumnya, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek Anang Ristanto memberikan tanggapan mengenai protes netizen terkait wisuda yang dinilai cukup memberatkan itu.
Dia mengatakan, fenomena dan budaya kegiatan wisuda yang dilakukan jenjang PAUD/TK, SD, SMP hingga SMA merupakan kegiatan yang opsional.
Kemendikbudristek melalui Permendikbud No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menegaskan, kegiatan bersama antara satuan pendidikan yang melibatkan orang tua dapat didiskusikan dan dimusyawarahkan bersama dengan Komite Sekolah.
Selain itu, Anang menambahkan, Kemendikbudristek mengimbau agar pihak sekolah dapat membuka pintu komunikasi dan bekerja sama dengan Komite Sekolah dan Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG).
(nnz)