Sekolah Online Masih Bermasalah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pendemi virus corona (Covid-19) masih belum menemukan formula yang tepat. Sejumlah masalah kerap temukan, terutama terkait ketersediaan alat komunikasi beserta paket data internet untuk mendukung proses belajar mengajar.
Persoalan ini harus segera diselesaikan mengingat jumlah kasus akibat pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Alhasil, metode sekolah secara online diprediksi terus berlangsung dalam waktu lama di daerah yang masih termasuk zona kuning, oranye dan merah.
Di Jakarta misalnya. Kawasan ini dipastikan masih akan menerapkan belajar online karena kini seluruh daerahnya masuk zona merah penyebaran Covid. Bahkan, kawasan Kepulauan Seribu, yang semula masuk zona tidak terdampak, kini menjadi zona risiko sedang.
Kondisi tersebut mau tidak mau membuat sistem PJJ menjadi pilihan paling rasional untuk dilaksanakan. Jika tidak, risiko besar akan mengancam sektor pendidikan yang notabene di dalamnya terdapat anak-anak sekolah.
Namun bagi sebagaian kalangan pelaksanaan sekolah secara online ini justru memberatkan. Bukan hanya karena harus memiliki perangkat yang mumpuni, termasuk paket data internetnya, dalam pelaksanannya perlu pendampingan ekstra dari orang tua. Di sisi lain, tidak sedikit kalangan orang tua yang sudah mulai aktif bekerja di kantor sehingga kesulitan memantau anak-anaknya. (Baca: Prioritas PJJ, PB PGRI Minta Organisasi Penggerak Ditunda)
Yang lebih miris, ada kasus di mana anak-anak terpaksa harus ikut orang tuanya mencari nafkah, demi mendapatkan bimbingan selama belajar. SINDO Media sempat bertemu seorang anak yang terpaksa belajar di samping lapak jualan kali lima milik orang tuanya di Jalan Bukit Duri Tanjakan, Jakarta Selatan, Selasa (28/7/2020). Meski demikian, anak bernama Kesya (8), itu mengaku tetap semangat belajar demi masa depannya.
Selain Kesya, masih banyak anak-anak lain yang juga kurang beruntung saat menjalani pembelajaran online. Di Sumatera Selatan, persisnya di Kabupaten OKU, bahkan ada siswa sekolah yang harus rela berjalan jauh ke perbukitan untuk sekadar mencari sinyal internet.
Melihat berbagai kondisi yang dialami para siswa yang kurang beruntung tersebut, pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengatakan bahwa pemerintah terkesan tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan permasalahan sekolah online. Padahal, kata dia, sejak pandemi Covid di awal Maret hingga masa liburan sekolah Juni lalu, seharusnya merupakan waktu yang cukup untuk menyiapkan metoda yang cocok untuk PJJ.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021. Salah satu yang diatur, pembukaan sekolah hanya boleh dilakukan di zona hijau. Hanya saja, untuk belajar secara online belum terakmodasi.
“Kalau tidak diatur ya pasti kacau. Ini ibarat pesawat yang enggak ada pilotnya. Enggak jelas mau ke mana arahnya,” kata Indra kepada SINDO Media, di Jakarta kemarin. (Baca juga: Divonis 12 Tahun, Najib Razak Tamat)
Dia menambahkan, di saat darurat seperti ini, Kemendikbud sempat mewacanakan membuat kurikulum darurat. Namun, ujar dia, dunia pendidikan ternyata tidak memerlukan itu karena yang penting adalah justru proses pembelajarannya.
Indra juga menyoroti banyaknya masalah saat PJJ yang dialami peserta didik dan orang tua. Dengan sistem seperti ini, para orang tua “dipaksa” menjadi guru bagi para anak-anaknya. “Harusnya pemerintah seharusnya hadir dengan memberikan bimbingan kepada para orang tua tentang cara mendampingi anak belajar di rumah,” kata dia.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah mengatakan, pihaknya selaku Panja PJJ telah melaksanakan tugas dan menghasilkan sejumlah keputusan yang perlu ditindaklanjuti oleh Kemendikbud. Di antaranya meninjau kembali pelaksanaan PJJ. Menurutnya, Kemendikbud telah melakukan survei untuk mengevaluasi PJJ tetapi responden yang dilibatkan hanya mereka yang punya handphone dan telepon rumah.
Sehingga, kata dia, Panja PJJ menilai pelaksanaan PJJ sebagai bagian dari Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam masa darurat Covid-19 dipandang belum berhasil. Bahkan, ucap dia, survei Kemendikbud tidak cukup memotret kondisi masyarakat di lapangan karena hanya mewawancarai keluarga yang memiliki ponsel ataupun telepon rumah. (Baca juga: Ngeri, Ini yang Akan Terjadi Jika Indonesia Resesi)
“Responden tidak representatif memotret kondisi PJJ di Indonesia karena survei yang diadakan tidak menjangkau masyarakat di daerah yang tidak memiliki alat komunikasi,” kata dia.
Selain itu, dia mengungkapkan, fenomena di lapangan juga menemukan seorang buruh cuci harus memenuhi kebutuhan tiga anaknya untuk mengikuti PJJ dengan menyediakan perangkat ponsel pintar untuk mereka karena jam belajarnya bersamaan.
“Mahasiswa juga banyak mengeluh karena harus menyediakan kuota yang tidak sedikit untuk mengikuti PJJ,” ujar Himma.
Karena itu, Himma menekankan agar Kemendikbud segera membenahi pelaksanaan PJJ dengan menyediakan infrastruktur pendukung di antaranya ketersediaan sinyal di daerah yang tidak terjangkau internet.
“Memaksimalkan media belajar luar jaringan (TVRI dan portal Rumah Belajar), dan penyederhanaan kurikulum dengan membuat kurikulum tanggap darurat selama pandemi Covid-19,” tandasnya.
Di bagian lain, Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar mendesak agar kementerian pendidikan segera menyelesaikan dan mencari solusi atas persoalan PJJ terutama di desa-desa akibat pandemi Covid-19. Menurut dia, kebijakan tersebut sangat tidak efektif bagi kalangan menengah ke bawah.
“Tapi menengah atas efektif. Saya khawatir ini nanti akan terjadi lost generation, kualitas pendidikan kita menurun," tutur pria yang akrab dipanggil Gus AMI itu. (Baca juga: Semakin Panas, India Terang-terangan Targetkan Jack Ma dan Alibaba)
Dia menambahkan, saat ini banyak video viral di mana ibu-ibu marah dan mengeluh tidak bisa mengawasi dan mengawal, serta mengajari anak-anaknya belajar melalui sistem online.
"Saya khawatir kualitas pendidikan akan menurun drastis, terutama kalangan menengah bawah. Ini tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri, harus dibantu Muhammadiyah, NU, organisasi-organisasi kemasyarakatan. Ajak NU, ajak Muhammadiyah membikin pendidikan alternatif di desa-desa dengan membuka lagi pendidikan dengan standar protokol yang efektif," katanya.
Langkah lainnya, kata Gus AMI, yakni menggunakan media televisi secara lebih maksimal karena dinilai lebih mudah, murah, dan terjangkau. “Harus ada terobosan cepat dari Mendikbud," katanya.
Pihaknya mendesak Mendikbud untuk melibatkan masjid, gereja, dan tokoh-tokoh agama untuk membuat pendidikan langsung. "Kalau siswa gak bisa akses, tokoh agama yang akses. Orang tua sudah off, di tingkat menengah ke bawah (menyerah)," katanya. (Lihat videonya: Akibat Hubungan Arus Pendek Listrik, Gudang Penyimpanan Beras Terbakar)
Dikatakan Gus Ami, rencana Kemendikbud untuk membuka kembali belajar secara tatap muka mulai Januari 2021 mendatang dinilai terlalu lama. Karena itu, harus ada terobosan cepat dengan memanfaatkan masjid, gereja dan para tokoh agama. "Terutama kalangan menengah bawah sudah menyerah," tuturnya. (Abdul Rochim/Kiswondari/Fahmi W Bahtiar)
Persoalan ini harus segera diselesaikan mengingat jumlah kasus akibat pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Alhasil, metode sekolah secara online diprediksi terus berlangsung dalam waktu lama di daerah yang masih termasuk zona kuning, oranye dan merah.
Di Jakarta misalnya. Kawasan ini dipastikan masih akan menerapkan belajar online karena kini seluruh daerahnya masuk zona merah penyebaran Covid. Bahkan, kawasan Kepulauan Seribu, yang semula masuk zona tidak terdampak, kini menjadi zona risiko sedang.
Kondisi tersebut mau tidak mau membuat sistem PJJ menjadi pilihan paling rasional untuk dilaksanakan. Jika tidak, risiko besar akan mengancam sektor pendidikan yang notabene di dalamnya terdapat anak-anak sekolah.
Namun bagi sebagaian kalangan pelaksanaan sekolah secara online ini justru memberatkan. Bukan hanya karena harus memiliki perangkat yang mumpuni, termasuk paket data internetnya, dalam pelaksanannya perlu pendampingan ekstra dari orang tua. Di sisi lain, tidak sedikit kalangan orang tua yang sudah mulai aktif bekerja di kantor sehingga kesulitan memantau anak-anaknya. (Baca: Prioritas PJJ, PB PGRI Minta Organisasi Penggerak Ditunda)
Yang lebih miris, ada kasus di mana anak-anak terpaksa harus ikut orang tuanya mencari nafkah, demi mendapatkan bimbingan selama belajar. SINDO Media sempat bertemu seorang anak yang terpaksa belajar di samping lapak jualan kali lima milik orang tuanya di Jalan Bukit Duri Tanjakan, Jakarta Selatan, Selasa (28/7/2020). Meski demikian, anak bernama Kesya (8), itu mengaku tetap semangat belajar demi masa depannya.
Selain Kesya, masih banyak anak-anak lain yang juga kurang beruntung saat menjalani pembelajaran online. Di Sumatera Selatan, persisnya di Kabupaten OKU, bahkan ada siswa sekolah yang harus rela berjalan jauh ke perbukitan untuk sekadar mencari sinyal internet.
Melihat berbagai kondisi yang dialami para siswa yang kurang beruntung tersebut, pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengatakan bahwa pemerintah terkesan tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan permasalahan sekolah online. Padahal, kata dia, sejak pandemi Covid di awal Maret hingga masa liburan sekolah Juni lalu, seharusnya merupakan waktu yang cukup untuk menyiapkan metoda yang cocok untuk PJJ.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021. Salah satu yang diatur, pembukaan sekolah hanya boleh dilakukan di zona hijau. Hanya saja, untuk belajar secara online belum terakmodasi.
“Kalau tidak diatur ya pasti kacau. Ini ibarat pesawat yang enggak ada pilotnya. Enggak jelas mau ke mana arahnya,” kata Indra kepada SINDO Media, di Jakarta kemarin. (Baca juga: Divonis 12 Tahun, Najib Razak Tamat)
Dia menambahkan, di saat darurat seperti ini, Kemendikbud sempat mewacanakan membuat kurikulum darurat. Namun, ujar dia, dunia pendidikan ternyata tidak memerlukan itu karena yang penting adalah justru proses pembelajarannya.
Indra juga menyoroti banyaknya masalah saat PJJ yang dialami peserta didik dan orang tua. Dengan sistem seperti ini, para orang tua “dipaksa” menjadi guru bagi para anak-anaknya. “Harusnya pemerintah seharusnya hadir dengan memberikan bimbingan kepada para orang tua tentang cara mendampingi anak belajar di rumah,” kata dia.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah mengatakan, pihaknya selaku Panja PJJ telah melaksanakan tugas dan menghasilkan sejumlah keputusan yang perlu ditindaklanjuti oleh Kemendikbud. Di antaranya meninjau kembali pelaksanaan PJJ. Menurutnya, Kemendikbud telah melakukan survei untuk mengevaluasi PJJ tetapi responden yang dilibatkan hanya mereka yang punya handphone dan telepon rumah.
Sehingga, kata dia, Panja PJJ menilai pelaksanaan PJJ sebagai bagian dari Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam masa darurat Covid-19 dipandang belum berhasil. Bahkan, ucap dia, survei Kemendikbud tidak cukup memotret kondisi masyarakat di lapangan karena hanya mewawancarai keluarga yang memiliki ponsel ataupun telepon rumah. (Baca juga: Ngeri, Ini yang Akan Terjadi Jika Indonesia Resesi)
“Responden tidak representatif memotret kondisi PJJ di Indonesia karena survei yang diadakan tidak menjangkau masyarakat di daerah yang tidak memiliki alat komunikasi,” kata dia.
Selain itu, dia mengungkapkan, fenomena di lapangan juga menemukan seorang buruh cuci harus memenuhi kebutuhan tiga anaknya untuk mengikuti PJJ dengan menyediakan perangkat ponsel pintar untuk mereka karena jam belajarnya bersamaan.
“Mahasiswa juga banyak mengeluh karena harus menyediakan kuota yang tidak sedikit untuk mengikuti PJJ,” ujar Himma.
Karena itu, Himma menekankan agar Kemendikbud segera membenahi pelaksanaan PJJ dengan menyediakan infrastruktur pendukung di antaranya ketersediaan sinyal di daerah yang tidak terjangkau internet.
“Memaksimalkan media belajar luar jaringan (TVRI dan portal Rumah Belajar), dan penyederhanaan kurikulum dengan membuat kurikulum tanggap darurat selama pandemi Covid-19,” tandasnya.
Di bagian lain, Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar mendesak agar kementerian pendidikan segera menyelesaikan dan mencari solusi atas persoalan PJJ terutama di desa-desa akibat pandemi Covid-19. Menurut dia, kebijakan tersebut sangat tidak efektif bagi kalangan menengah ke bawah.
“Tapi menengah atas efektif. Saya khawatir ini nanti akan terjadi lost generation, kualitas pendidikan kita menurun," tutur pria yang akrab dipanggil Gus AMI itu. (Baca juga: Semakin Panas, India Terang-terangan Targetkan Jack Ma dan Alibaba)
Dia menambahkan, saat ini banyak video viral di mana ibu-ibu marah dan mengeluh tidak bisa mengawasi dan mengawal, serta mengajari anak-anaknya belajar melalui sistem online.
"Saya khawatir kualitas pendidikan akan menurun drastis, terutama kalangan menengah bawah. Ini tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri, harus dibantu Muhammadiyah, NU, organisasi-organisasi kemasyarakatan. Ajak NU, ajak Muhammadiyah membikin pendidikan alternatif di desa-desa dengan membuka lagi pendidikan dengan standar protokol yang efektif," katanya.
Langkah lainnya, kata Gus AMI, yakni menggunakan media televisi secara lebih maksimal karena dinilai lebih mudah, murah, dan terjangkau. “Harus ada terobosan cepat dari Mendikbud," katanya.
Pihaknya mendesak Mendikbud untuk melibatkan masjid, gereja, dan tokoh-tokoh agama untuk membuat pendidikan langsung. "Kalau siswa gak bisa akses, tokoh agama yang akses. Orang tua sudah off, di tingkat menengah ke bawah (menyerah)," katanya. (Lihat videonya: Akibat Hubungan Arus Pendek Listrik, Gudang Penyimpanan Beras Terbakar)
Dikatakan Gus Ami, rencana Kemendikbud untuk membuka kembali belajar secara tatap muka mulai Januari 2021 mendatang dinilai terlalu lama. Karena itu, harus ada terobosan cepat dengan memanfaatkan masjid, gereja dan para tokoh agama. "Terutama kalangan menengah bawah sudah menyerah," tuturnya. (Abdul Rochim/Kiswondari/Fahmi W Bahtiar)
(ysw)