Cetak Sejarah, Pramadita Wicaksono Jadi Guru Besar Termuda UGM, Berusia 35 Tahun
loading...
A
A
A
“Ya, karena saya orangnya suka eksplore, berpikirnya kalau tidak jadi peneliti ya dosen. Namun setelah dipikir-pikir, kalau jadi peneliti pasti ada masa bosannya meneliti terus, sementara kalau dosen kan bisa tridharma, ya meneliti, melaksanakan pendidikan, dan pengabdian masyarakat, jauh lebih berwarna,” paparnya.
Pria kelahiran Semarang, 6 Juli 1987 ini memiliki jejak karier akademis yang unik. Dia loncat jabatan dari lektor langsung menjadi guru besar tanpa harus menjadi lektor kepala terlebih dulu. Ini karena jumlah angka kredit dosen sebagai profesor telah dipenuhinya.
Dia menuturkan, selain karena loncat jabatan, percepatan raihan jabatan guru besar karena dia produktif melakukan penelitian dan publikasi ilmiah. Setiap tahunnya memiliki rata-rata 5 publikasi ilmiah yang berhasil diterbitkan.
Hingga saat ini tercatat ada 55 publikasi pada jurnal ilmiah nasional dan internasional bereputasi yang telah dibuat Prama. Belum lagi 76 tulisan yang diterbitkan dalam prosiding, book chapter, buletin, serta media massa.
“Saya memang senang riset dan menulis, passionnya di situ jadi ya hepi-hepi aja ngejalaninnya. Lalu, saya berusaha fokus pada bidang ilmu yang saya tekuni, sehingga bisa produktif menghasilkan sesuatu untuk bidang keilmuan tersebut,” katanya.
Ia pun merasa tertolong bisa cepat mencapai jabatan guru besar karena diberikan amanah menduduki sejumlah jabatan di fakultas. Saat ini, dia menjabat sebagai Ketua Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Departemen Sains Informasi Geografi di Fakultas Geografi UGM.
Sejumlah jabatan lain di Fakultas Geografi yang diembannya saat ini adalah Koordinator Coastal Biodiversity Remote Sensing Group, Koordinator Blue Carbon Research Group, Pembina Himpunan Mahasiswa Sains Informasi Geografi (HMSaIG), serta Editorial Board of Indonesian Journal of Geography (IJG).
Sebelumnya ia sempat menjadi Sekretaris Unit Kerja Sama Dalam Negeri (UKDN) Fakultas Geografi dan Sekretaris Departemen Sains Informasi Geografi (SaIG). Pada level internasional, saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua WG V/5 – Education and Awareness in Blue Economy and Coastal Marine Environment, Commission V ISPRS (The International Society for Photogrammetry and Remote Sensing).
Baca juga: 10 Negara Produsen Jurnal Ilmiah Terbanyak di Dunia, Amerika Serikat Memimpin
“Tertolong karena diamanahi mengemban sejumlah jabatan di fakultas sehingga per semesternya mendapat angka kredit terkait pelaksanaan pendidikan. Ini jadi tambahannya, karena kalau cuma dari mengajar dan membimbing mahasiswa belum tentu bisa mencapai jumlah angka kredit dosen terkait pelaksanaan pendidikan yang dipersyaratkan jadi guru besar,” urainya.
Suami dari Rani Hendriana, dan ayah dari Muhammad Syandanadipa Justice Almortaza menyampaikan sejak menempuh pendidikan doktoral, ia banyak meneliti terkait pengembangan metode penginderaan jauh untuk pemetaan padang lamun sebagai penyerap karbon. Prama mengungkapkan Indonesia merupakan hotspot padang lamun dunia, termasuk salah satu negara dengan jumlah spesies lamun terbanyak di dunia.
Sementara, padang lamun memiliki potensi untuk menyerap dan mengubur karbon hingga 35 kali lebih efisien daripada hutan tropis. Hanya saja, saat ini belum ada data pasti terkait luasan padang lamun di Tanah Air karena setiap institusi melakukan pemetaan dengan cara dan metode masing-masing.
Loncat Jabatan
Pria kelahiran Semarang, 6 Juli 1987 ini memiliki jejak karier akademis yang unik. Dia loncat jabatan dari lektor langsung menjadi guru besar tanpa harus menjadi lektor kepala terlebih dulu. Ini karena jumlah angka kredit dosen sebagai profesor telah dipenuhinya.
Dia menuturkan, selain karena loncat jabatan, percepatan raihan jabatan guru besar karena dia produktif melakukan penelitian dan publikasi ilmiah. Setiap tahunnya memiliki rata-rata 5 publikasi ilmiah yang berhasil diterbitkan.
Hingga saat ini tercatat ada 55 publikasi pada jurnal ilmiah nasional dan internasional bereputasi yang telah dibuat Prama. Belum lagi 76 tulisan yang diterbitkan dalam prosiding, book chapter, buletin, serta media massa.
“Saya memang senang riset dan menulis, passionnya di situ jadi ya hepi-hepi aja ngejalaninnya. Lalu, saya berusaha fokus pada bidang ilmu yang saya tekuni, sehingga bisa produktif menghasilkan sesuatu untuk bidang keilmuan tersebut,” katanya.
Ia pun merasa tertolong bisa cepat mencapai jabatan guru besar karena diberikan amanah menduduki sejumlah jabatan di fakultas. Saat ini, dia menjabat sebagai Ketua Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Departemen Sains Informasi Geografi di Fakultas Geografi UGM.
Sejumlah jabatan lain di Fakultas Geografi yang diembannya saat ini adalah Koordinator Coastal Biodiversity Remote Sensing Group, Koordinator Blue Carbon Research Group, Pembina Himpunan Mahasiswa Sains Informasi Geografi (HMSaIG), serta Editorial Board of Indonesian Journal of Geography (IJG).
Sebelumnya ia sempat menjadi Sekretaris Unit Kerja Sama Dalam Negeri (UKDN) Fakultas Geografi dan Sekretaris Departemen Sains Informasi Geografi (SaIG). Pada level internasional, saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua WG V/5 – Education and Awareness in Blue Economy and Coastal Marine Environment, Commission V ISPRS (The International Society for Photogrammetry and Remote Sensing).
Baca juga: 10 Negara Produsen Jurnal Ilmiah Terbanyak di Dunia, Amerika Serikat Memimpin
“Tertolong karena diamanahi mengemban sejumlah jabatan di fakultas sehingga per semesternya mendapat angka kredit terkait pelaksanaan pendidikan. Ini jadi tambahannya, karena kalau cuma dari mengajar dan membimbing mahasiswa belum tentu bisa mencapai jumlah angka kredit dosen terkait pelaksanaan pendidikan yang dipersyaratkan jadi guru besar,” urainya.
Suami dari Rani Hendriana, dan ayah dari Muhammad Syandanadipa Justice Almortaza menyampaikan sejak menempuh pendidikan doktoral, ia banyak meneliti terkait pengembangan metode penginderaan jauh untuk pemetaan padang lamun sebagai penyerap karbon. Prama mengungkapkan Indonesia merupakan hotspot padang lamun dunia, termasuk salah satu negara dengan jumlah spesies lamun terbanyak di dunia.
Sementara, padang lamun memiliki potensi untuk menyerap dan mengubur karbon hingga 35 kali lebih efisien daripada hutan tropis. Hanya saja, saat ini belum ada data pasti terkait luasan padang lamun di Tanah Air karena setiap institusi melakukan pemetaan dengan cara dan metode masing-masing.