Cetak Sejarah, Pramadita Wicaksono Jadi Guru Besar Termuda UGM, Berusia 35 Tahun
loading...
A
A
A
Sebelumnya ia sempat menjadi Sekretaris Unit Kerja Sama Dalam Negeri (UKDN) Fakultas Geografi dan Sekretaris Departemen Sains Informasi Geografi (SaIG). Pada level internasional, saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua WG V/5 – Education and Awareness in Blue Economy and Coastal Marine Environment, Commission V ISPRS (The International Society for Photogrammetry and Remote Sensing).
Baca juga: 10 Negara Produsen Jurnal Ilmiah Terbanyak di Dunia, Amerika Serikat Memimpin
“Tertolong karena diamanahi mengemban sejumlah jabatan di fakultas sehingga per semesternya mendapat angka kredit terkait pelaksanaan pendidikan. Ini jadi tambahannya, karena kalau cuma dari mengajar dan membimbing mahasiswa belum tentu bisa mencapai jumlah angka kredit dosen terkait pelaksanaan pendidikan yang dipersyaratkan jadi guru besar,” urainya.
Suami dari Rani Hendriana, dan ayah dari Muhammad Syandanadipa Justice Almortaza menyampaikan sejak menempuh pendidikan doktoral, ia banyak meneliti terkait pengembangan metode penginderaan jauh untuk pemetaan padang lamun sebagai penyerap karbon. Prama mengungkapkan Indonesia merupakan hotspot padang lamun dunia, termasuk salah satu negara dengan jumlah spesies lamun terbanyak di dunia.
Sementara, padang lamun memiliki potensi untuk menyerap dan mengubur karbon hingga 35 kali lebih efisien daripada hutan tropis. Hanya saja, saat ini belum ada data pasti terkait luasan padang lamun di Tanah Air karena setiap institusi melakukan pemetaan dengan cara dan metode masing-masing.
Melihat potensi dan kondisi tersebut, ia saat ini menjadi koordinator pemetaan padang lamun nasional berkolaborasi dengan BRIN, KKP, BIG, Universitas Hasanuddin, serta The University of Queensland. Saat ini, ia juga sedang mengembangkan metode otomatisasi pemetaan stok karbon atas permukaan padang lamun dengan menggunakan citra satelit Sentinel-2.
Bagi Prama menjadi guru besar di usia muda adalah sebuah anugerah. Ia memang memiliki target khusus bisa mencapai jabatan guru besar di usia muda, namun ia tidak menyangka bisa meraihnya di usianya saat ini.
“Targetnya bisa di usia sebelum 40 tahun bisa jadi guru besar, tetapi tidak pernah menyangka menjadi guru besar termuda di UGM di usia 35 tahun,” tuturnya.
Bagi Prama, meraih jabatan guru besar bukanlah menjadi akhir perjalanan karier akademisnya. Justru, dengan menyandang gelar guru besar menjadi awal untuknya mengembangkan keilmuan lebih maju lagi.
“Guru besar ini kan jadi lokomotif mengembangkan ilmu di institusi. Sehingga, peluang untuk pengembangan ilmu pun menjadi lebih besar, sehingga bisa lebih kencang lagi dalam meliterasi masyarakat,”paparnya.
Baca juga: 10 Negara Produsen Jurnal Ilmiah Terbanyak di Dunia, Amerika Serikat Memimpin
“Tertolong karena diamanahi mengemban sejumlah jabatan di fakultas sehingga per semesternya mendapat angka kredit terkait pelaksanaan pendidikan. Ini jadi tambahannya, karena kalau cuma dari mengajar dan membimbing mahasiswa belum tentu bisa mencapai jumlah angka kredit dosen terkait pelaksanaan pendidikan yang dipersyaratkan jadi guru besar,” urainya.
Suami dari Rani Hendriana, dan ayah dari Muhammad Syandanadipa Justice Almortaza menyampaikan sejak menempuh pendidikan doktoral, ia banyak meneliti terkait pengembangan metode penginderaan jauh untuk pemetaan padang lamun sebagai penyerap karbon. Prama mengungkapkan Indonesia merupakan hotspot padang lamun dunia, termasuk salah satu negara dengan jumlah spesies lamun terbanyak di dunia.
Sementara, padang lamun memiliki potensi untuk menyerap dan mengubur karbon hingga 35 kali lebih efisien daripada hutan tropis. Hanya saja, saat ini belum ada data pasti terkait luasan padang lamun di Tanah Air karena setiap institusi melakukan pemetaan dengan cara dan metode masing-masing.
Melihat potensi dan kondisi tersebut, ia saat ini menjadi koordinator pemetaan padang lamun nasional berkolaborasi dengan BRIN, KKP, BIG, Universitas Hasanuddin, serta The University of Queensland. Saat ini, ia juga sedang mengembangkan metode otomatisasi pemetaan stok karbon atas permukaan padang lamun dengan menggunakan citra satelit Sentinel-2.
Target menjadi Guru Besar di Usia 40 Tahun, Realitasnya Berhasil di Usia 35 Tahun
Bagi Prama menjadi guru besar di usia muda adalah sebuah anugerah. Ia memang memiliki target khusus bisa mencapai jabatan guru besar di usia muda, namun ia tidak menyangka bisa meraihnya di usianya saat ini.
“Targetnya bisa di usia sebelum 40 tahun bisa jadi guru besar, tetapi tidak pernah menyangka menjadi guru besar termuda di UGM di usia 35 tahun,” tuturnya.
Bagi Prama, meraih jabatan guru besar bukanlah menjadi akhir perjalanan karier akademisnya. Justru, dengan menyandang gelar guru besar menjadi awal untuknya mengembangkan keilmuan lebih maju lagi.
“Guru besar ini kan jadi lokomotif mengembangkan ilmu di institusi. Sehingga, peluang untuk pengembangan ilmu pun menjadi lebih besar, sehingga bisa lebih kencang lagi dalam meliterasi masyarakat,”paparnya.
(nnz)
Lihat Juga :