Prof Ali Masykur Musa: Politik Pendidikan Islam Jangan Kaji Ulang Pancasila
loading...
A
A
A
MALANG - Guru Besar Kehormatan Universitas Islam Malang (Unisma) Prof (HC, Unisma) DR H Ali Masykur Musa SH MHum MSi menegaskan, politik pendidikan Islam jangan sampai mengkaji ulang Pancasila
"Pendidikan tidak boleh terpisah dari politik dan politik juga tidak boleh terpisah dari pendidikan, karena itu pendidikan harus legal, nggak boleh ekstrem terhadap Pancasila, jangan sampai mengkaji ulang Pancasila," katanya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Politik Pendidikan Islam di kampus Unisma Malang, Sabtu (18/11/2023)
Acara pengukuhan dihadiri Menhan Prabowo Subianto, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, dan Rektor Unisma Prof Masykuri dan civitas akademika Unisma. Ali Masykur menjelaskan, kebijakan pendidikan (politik pendidikan) harus menghasilkan "cultural diversity competence".
"Cultural Diversity Competence itu yang disebut Mikel Hogan (2003) sebagai kompetensi dalam pendidikan itu tidak boleh eksklusif, pendidikan harus membumi, sesuai konteks, multikultural," kata pria yang akrab disapa Cak Ali itu dalam keterangan resminya, Sabtu (18/11/2023).
Apalagi, kata Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) itu, politik pendidikan Islam di Indonesia harus mengangkat multikultural, karena kultur itu bukan pilihan. "Kita nggak bisa menolak menjadi Jawa, Sunda, Manado, Gorontalo, karena menjadi Indonesia itu memang menjadi ada dalam keberagaman," katanya.
Menurut Cak Ali, sejumlah tokoh bangsa seperti Gus Dur (mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid) menyatakan semakin tinggi ilmu seseorang, seharusnya membuatnya semakin toleransi, bukan sombong.
"Jadi, politik pendidikan harus berdimensi kultural, berdamai dengan beragam agama yang ada, berdamai dengan masyarakat yang majemuk, berdamai dengan lingkungan, berdamai dengan perbedaan. Nabi juga membangun Madinah dengan damai, dengan Piagam Madinah sebanyak 47 pasal, bahkan sekretaris pertama Nabi adalah Yahudi untuk memudahkan komunikasi," katanya.
Oleh karena itu, Islam dan nasionalisme itu harus dalam satu tarikan nafas. Alquran menyatakan Alloh menciptakan manusia dengan penuh perbedaan untuk saling mengenal (QS Al Hujurat : 13). Al Qur'an juga menyebut perbedaan adalah rahmat, kalau perbedaan diperbesar akan terjadi perpecahan (QS Ali Imron : 103).
"Saya jatuh cinta pada politik pendidikan Islam, karena kemajuan bangsa itu bersumber pada SDM dan kunci kualitas SDM adalah pendidikan dan kunci pendidikan yang tepat di negara Indonesia adalah multikultural. Pancasila itu given," katanya.
Rektor Unisma Prof Dr H Masykuri MSi menilai pandangan Prof Ali Masykur Musa dalam pengukuhannya sebagai guru besar Unisma sangat penting karena agama diletakkan sebagai pilar utama dalam politik pendidikan, sekaligus pilar dalam menghargai kebhinnekaan.
"Masalahnya, agama sebagai faktor penting dalam kebahagiaan di era digital ini menghadapi tantangan berat. Faktanya, 23,4% pelajar/mahasiswa setuju dengan khilafah, 18-19% pekerja swasta dan ASN juga setuju khilafah, karena politik pendidikan Islam yang berbasis kedamaian dan moderasi," katanya.
Lihat Juga: Profil Mohammad Gudono, Ayah Erina Gudono Guru Besar UGM yang Mengabdi Lebih dari 25 Tahun
"Pendidikan tidak boleh terpisah dari politik dan politik juga tidak boleh terpisah dari pendidikan, karena itu pendidikan harus legal, nggak boleh ekstrem terhadap Pancasila, jangan sampai mengkaji ulang Pancasila," katanya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Politik Pendidikan Islam di kampus Unisma Malang, Sabtu (18/11/2023)
Acara pengukuhan dihadiri Menhan Prabowo Subianto, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, dan Rektor Unisma Prof Masykuri dan civitas akademika Unisma. Ali Masykur menjelaskan, kebijakan pendidikan (politik pendidikan) harus menghasilkan "cultural diversity competence".
"Cultural Diversity Competence itu yang disebut Mikel Hogan (2003) sebagai kompetensi dalam pendidikan itu tidak boleh eksklusif, pendidikan harus membumi, sesuai konteks, multikultural," kata pria yang akrab disapa Cak Ali itu dalam keterangan resminya, Sabtu (18/11/2023).
Apalagi, kata Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) itu, politik pendidikan Islam di Indonesia harus mengangkat multikultural, karena kultur itu bukan pilihan. "Kita nggak bisa menolak menjadi Jawa, Sunda, Manado, Gorontalo, karena menjadi Indonesia itu memang menjadi ada dalam keberagaman," katanya.
Menurut Cak Ali, sejumlah tokoh bangsa seperti Gus Dur (mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid) menyatakan semakin tinggi ilmu seseorang, seharusnya membuatnya semakin toleransi, bukan sombong.
"Jadi, politik pendidikan harus berdimensi kultural, berdamai dengan beragam agama yang ada, berdamai dengan masyarakat yang majemuk, berdamai dengan lingkungan, berdamai dengan perbedaan. Nabi juga membangun Madinah dengan damai, dengan Piagam Madinah sebanyak 47 pasal, bahkan sekretaris pertama Nabi adalah Yahudi untuk memudahkan komunikasi," katanya.
Oleh karena itu, Islam dan nasionalisme itu harus dalam satu tarikan nafas. Alquran menyatakan Alloh menciptakan manusia dengan penuh perbedaan untuk saling mengenal (QS Al Hujurat : 13). Al Qur'an juga menyebut perbedaan adalah rahmat, kalau perbedaan diperbesar akan terjadi perpecahan (QS Ali Imron : 103).
"Saya jatuh cinta pada politik pendidikan Islam, karena kemajuan bangsa itu bersumber pada SDM dan kunci kualitas SDM adalah pendidikan dan kunci pendidikan yang tepat di negara Indonesia adalah multikultural. Pancasila itu given," katanya.
Rektor Unisma Prof Dr H Masykuri MSi menilai pandangan Prof Ali Masykur Musa dalam pengukuhannya sebagai guru besar Unisma sangat penting karena agama diletakkan sebagai pilar utama dalam politik pendidikan, sekaligus pilar dalam menghargai kebhinnekaan.
"Masalahnya, agama sebagai faktor penting dalam kebahagiaan di era digital ini menghadapi tantangan berat. Faktanya, 23,4% pelajar/mahasiswa setuju dengan khilafah, 18-19% pekerja swasta dan ASN juga setuju khilafah, karena politik pendidikan Islam yang berbasis kedamaian dan moderasi," katanya.
Lihat Juga: Profil Mohammad Gudono, Ayah Erina Gudono Guru Besar UGM yang Mengabdi Lebih dari 25 Tahun
(wyn)