Pulihkan Kredibilitas MK, Akademisi dan Aktivis Ramai-ramai Usulkan Dua Hal Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Eksistensi Mahkamah Konstitusi (MK) belakangan banyak mendapat sorotan dari publik. Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 mengenai persyaratan capres/cawapres serta Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) mengakibatkan kredibilitas MK dipertanyakan. Pola rekrutmen dan pengawasan Hakim MK perlu dilakukan perubahan untuk mengembalikan marwah MK.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga (HMPS HK) UIN Jakarta bekerjasama dengan HMPS Hukum Tata Negara UIN Jakarta, Indonesia Youth Forum dan Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) dalam “Virtual Talk”, Selasa (28/11/2023) malam.
“Keberadaan MKMK yang bersifat ad hoc serta pengisian jabatan hakim MK yang politis menjadi masalah serius bagi MK,” ujar Direktur Riset Puskapkum Indra L. Nainggolan dalam keterangan resminya, Rabu (29/11/2023).
Indra mencatat, model pengawasan MK yang berlaku saat ini melalui MKMK yang adhoc dan keterlibatan eksternal cukup rentan menjadi ajang politisasi.
Menurut dia, mempermanenkan keberadaan MKMK menjadi langkah maju untuk menjaga dan menegakkan etika hakim MK. “Pilihannya, permanenkan MKMK. Kita tunggu komitmen Ketua MK Suhartoyo yang berkomitmen untuk permanenkan MKMK,” tambah Indra.
Dia juga menyoroti soal pengisian jabatan hakim MK yang dinilai masih terjebak pada kalkulasi politis ketimbang sisi profesionalitas dan integritas calon hakim MK.
“Mestinya kita belajar dari sengkarut MK untuk melakukan perubahan pengisian jabatan hakim MK,” tegas pengajar HTN di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini.
Co-Founder Indonesia Youth Forum (IYF) Ahmad Reihan Thoriq juga mempertanyakan komitmen Ketua MK untuk memermanenkan MKMK. Menurut dia, komitmen tersebut harus ditunaikan untuk memulihkan kredibilitas MK.
“Ini penting untuk menjawab pertanyaan apakah MK menginginkan kebebasan dengan tanpa pengawasan oleh siapapun atau tidak?” tanya Reihan yang sebelumnya menguraikan peran Komisi Yudisial (KY) yang semula mengawasi hakim MK namun pasca putusan nomor 005/PUU-IV/2006 tak lagi memiliki kewenangan pengawasan.
Aktivis HMPS HTN UIN Jakarta Muhammad Rizal Rahman menyebutkan keterlibatan publik dalam persoalan yang dihadapi oleh MK saat ini mengindikasikan aktifnya ruang partisipatif di ruang publik.
Dia menyebutkan pikiran yang muncul di ruang-ruang akademik dan diskusi penting untuk perbaikan MK ke depan. “Ini merupakan ikhtiar untuk perbaikan MK di masa mendatang,” tegas Rizal.
Lihat Juga: ITS Buka Lowongan Dosen Tetap Fakultas Kedokteran 2024, Simak Kualifikasi dan Cara Daftarnya
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga (HMPS HK) UIN Jakarta bekerjasama dengan HMPS Hukum Tata Negara UIN Jakarta, Indonesia Youth Forum dan Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) dalam “Virtual Talk”, Selasa (28/11/2023) malam.
“Keberadaan MKMK yang bersifat ad hoc serta pengisian jabatan hakim MK yang politis menjadi masalah serius bagi MK,” ujar Direktur Riset Puskapkum Indra L. Nainggolan dalam keterangan resminya, Rabu (29/11/2023).
Baca Juga
Indra mencatat, model pengawasan MK yang berlaku saat ini melalui MKMK yang adhoc dan keterlibatan eksternal cukup rentan menjadi ajang politisasi.
Menurut dia, mempermanenkan keberadaan MKMK menjadi langkah maju untuk menjaga dan menegakkan etika hakim MK. “Pilihannya, permanenkan MKMK. Kita tunggu komitmen Ketua MK Suhartoyo yang berkomitmen untuk permanenkan MKMK,” tambah Indra.
Dia juga menyoroti soal pengisian jabatan hakim MK yang dinilai masih terjebak pada kalkulasi politis ketimbang sisi profesionalitas dan integritas calon hakim MK.
“Mestinya kita belajar dari sengkarut MK untuk melakukan perubahan pengisian jabatan hakim MK,” tegas pengajar HTN di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini.
Co-Founder Indonesia Youth Forum (IYF) Ahmad Reihan Thoriq juga mempertanyakan komitmen Ketua MK untuk memermanenkan MKMK. Menurut dia, komitmen tersebut harus ditunaikan untuk memulihkan kredibilitas MK.
“Ini penting untuk menjawab pertanyaan apakah MK menginginkan kebebasan dengan tanpa pengawasan oleh siapapun atau tidak?” tanya Reihan yang sebelumnya menguraikan peran Komisi Yudisial (KY) yang semula mengawasi hakim MK namun pasca putusan nomor 005/PUU-IV/2006 tak lagi memiliki kewenangan pengawasan.
Aktivis HMPS HTN UIN Jakarta Muhammad Rizal Rahman menyebutkan keterlibatan publik dalam persoalan yang dihadapi oleh MK saat ini mengindikasikan aktifnya ruang partisipatif di ruang publik.
Dia menyebutkan pikiran yang muncul di ruang-ruang akademik dan diskusi penting untuk perbaikan MK ke depan. “Ini merupakan ikhtiar untuk perbaikan MK di masa mendatang,” tegas Rizal.
Lihat Juga: ITS Buka Lowongan Dosen Tetap Fakultas Kedokteran 2024, Simak Kualifikasi dan Cara Daftarnya
(wyn)