Peran Guru Memutus Rantai Kekerasan Seksual di Sekolah Dinilai Penting

Selasa, 27 Februari 2024 - 12:30 WIB
loading...
Peran Guru Memutus Rantai Kekerasan Seksual di Sekolah Dinilai Penting
Peran guru sangat penting memutus rantai kekerasan seksual di sekolah. Demikian poin webinar Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah kerjasama KGSB, STH Indonesia Jentera dan Fakultas Psikologi UB, 24 Februari 2024.Foto/
A A A
JAKARTA - Kasus kekerasan seksual di sekolah yang melibatkan anak semakin meningkat belakangan ini. Per Agustus 2023, Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 723 kasus kekerasan yang berhubungan dengan satuan pendidikan. Dari data tersebut, 487 kasus merupakan kekerasan seksual yang melibatkan anak di sekolah.

Dari data tersebut diketahui lebih dari setengah kasus kekerasan di sekolah adalah kekerasan seksual yang melibatkan anak. Bagaimana seharusnya peran guru dalam menangani masalah sensitif tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bekerja sama dengan Rumah Guru BK, Sekolah Tinggi Hukumm (STH) Indonesia Jentera dan Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya mengelar webinar berjudul "Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah" pada 24 Februari 2024.

Ardyles Faesilio, Ketua KGSB mengapresiasi antusiasme guru dalam mengikuti webinar. Acara yang berlangsung selama lebih dari dua jam tersebut diikuti 279 peserta yang terdiri dari 238 anggota KGSB dan 41 partisan non anggota KGSB dari seluruh wilayah Indonesia, ditambah guru yang berdomisili di Timor Leste.

Webinar sekaligus sebagai wadah pembelajaran penanganan kekerasan seksual di sekolah, dengan guru sebagai garda terdepannya. “Peningkatan peran guru menjadi salah satu upaya kami untuk memberikan edukasi terkait Langkah-langkah yang tepat dalam menangani isu kekerasan seksual di sekolah” ujar Lio.


Memahami Kekerasan Seksual di Sekolah


Setiap jenjang pendidikan harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan tindak kekerasan seksual di sekolah sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Penanganan tindak kekerasan seksual harus sesuai dengan prinsip dukungan psikologis atau psychological first aid (PFA) yang meliputi, safeguard, sustain, comfort, advise, dan activate.

Terkait dengan aturan penanganan kekerasan seksual di sekolah, Ketua Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKSP) STH Indonesia Jentera, Reny Rawasita Pasaribu, mengungkapkan, Permendikbudristek PPKSP sebenarnya telah menghilangkan area ‘abu-abu’ dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.

Definisi kekerasan seksual sebagaimana termuat dalam pasal 10 ayat 1 Permendikbudristek PPKSP adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.

Beberapa bentuk kekerasan seksual yang dimaksud pada ayat di atas antara lain penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban; perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja; penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban dan perbuatan menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat korban merasa tidak nyaman.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0921 seconds (0.1#10.140)