Kisah Enggis, Wisudawan Termuda UNY Raih Gelar Doktor di Usia 25 Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahasiswa UNY Enggista Hendriko Delano atau Enggis berhasil gelar doktor di usia 25 tahun. Penelitian yang ia buat untuk gelar S3-nya diharapkan bisa membantu dunia pendidikan dan kesehatan.
Disertas Enggis berjudul Perbandingan Efek Kombinasi Modalitas Terapi dan Stretching dengan Masase Tepuksorak terhadap Nyeri, Range of Motion, dan Fungsi Gerak Pinggang pada Berbagai Fase Low Back Pain Nonspesifik.
Baca juga: Bagaimana Nasib Gelar Doktor Bahlil Lahadalia? Ini Update dari Rektor Baru UI
Penelitian ini bermula dari pendekatan aplikatif, di mana Enggis memanfaatkan pengalamannya sebagai terapis di Health and Sports Center UNY yang dimulai semenjak Enggis menginjak S2.
Pria kelahiran 5 April 1999 tersebut berkeinginan penelitiannya dapat memberikan manfaat yang luas, tidak hanya untuk masyarakat umum, tetapi juga bagi dunia pendidikan dan kesehatan.
“Harapan saya jelas, penelitian ini bisa diaplikasikan di Health and Sports Center (HSC) UNY dan juga dikaji oleh mahasiswa yang saya ajar," katanya, dikutip dari laman UNY, Sabtu (7/12/2024).
Baca juga: Ratu Camilla Raih Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas London
Dalam penelitiannya, Enggis mengungkapkan bahwa Low Back Pain (LBP) atau lebih dikenal dengan nyeri punggung bawah merupakan salah satu cedera musculoskeletal yang sering dialami oleh pekerja dengan aktivitas fisik berat yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan serius.
Penelitian ini berfokus pada efektivitas dua metode terapi untuk menangani Low Back Pain (LBP) nonspesifik atau nyeri punggung bawah yang penyebab pastinya tidak diketahui secara jelas. Dalam eksperimennya, Enggis melibatkan 60 pasien dengan keluhan LBP fase sub akut dan kronis, yang dibagi ke dalam beberapa kelompok perlakuan.
Ia membandingkan pendekatan kombinasi alat elektroterapi, seperti SWD (Shortwave Diathermy) dan TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation), dengan teknik manual masase tradisional yang dimodifikasi menjadi metode Tepuksorak.
Metode ini mengintegrasikan empat elemen terapi: tekan, pukul, gosok, dan gerak (stretching), sehingga mampu memberikan fleksibilitas penanganan sesuai dengan fase cedera pasien.
Enggis memang menangani beragam kasus cedera musculoskeletal dan data dari pengalamannya tersebut menjadi dasar utama dalam disertasi ini. Temuan dan konsep yang ia kembangkan langsung diterapkan pada pasien, menjadikan penelitian ini relevan sekaligus berdampak nyata dalam praktik klinis sehari-hari.
Hasil penelitian Enggis menunjukkan bahwa metode Tepuksorak lebih efektif dalam meningkatkan fleksibilitas dan fungsi pinggang pada kasus Low Back Pain (LBP) kronis, sementara terapi kombinasi alat elektroterapi, seperti SWD (Shortwave Diathermy) dan TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation), lebih unggul pada fase subakut.
Menggunakan desain eksperimen Randomized Control Group Pretest-Posttest, penelitian ini melibatkan 60 pasien dengan keluhan LBP nonspesifik.
Temuan ini menawarkan alternatif perawatan nonfarmakologis yang tidak hanya efisien dan ekonomis, tetapi juga mudah diterapkan baik di klinik maupun komunitas dengan sumber daya terbatas, khususnya untuk penanganan cedera olahraga.
Enggis juga berhasil mempublikasikan tiga artikel ilmiah yang terindeks Scopus berdasarkan hasil penelitiannya di antaranya: A Comparison Between the Effectiveness of Tepurak Therapy Versus Deep Tissue Massage Stretching on Low Back Function in Nonspecific Low Back Pain (2024), dan Effectiveness of Combined Deep Tissue Massage and Stretching on Pain.
Selain itu Range of Motion, and Waist Function of Non-Specific Low Back Pain (2023), dan Comparison of the Effectiveness of Tepurak Therapy with Deep Tissue Massage and Stretching in Treating Non-Specific Low Back Pain Injuries (2023).
Ia juga berencana menyusun buku panduan terapi pinggang berdasarkan hasil disertasinya, sehingga dapat menjadi referensi praktis bagi kalangan medis dan masyarakat yang membutuhkan serta dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Disertas Enggis berjudul Perbandingan Efek Kombinasi Modalitas Terapi dan Stretching dengan Masase Tepuksorak terhadap Nyeri, Range of Motion, dan Fungsi Gerak Pinggang pada Berbagai Fase Low Back Pain Nonspesifik.
Baca juga: Bagaimana Nasib Gelar Doktor Bahlil Lahadalia? Ini Update dari Rektor Baru UI
Penelitian ini bermula dari pendekatan aplikatif, di mana Enggis memanfaatkan pengalamannya sebagai terapis di Health and Sports Center UNY yang dimulai semenjak Enggis menginjak S2.
Pria kelahiran 5 April 1999 tersebut berkeinginan penelitiannya dapat memberikan manfaat yang luas, tidak hanya untuk masyarakat umum, tetapi juga bagi dunia pendidikan dan kesehatan.
“Harapan saya jelas, penelitian ini bisa diaplikasikan di Health and Sports Center (HSC) UNY dan juga dikaji oleh mahasiswa yang saya ajar," katanya, dikutip dari laman UNY, Sabtu (7/12/2024).
Baca juga: Ratu Camilla Raih Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas London
Dalam penelitiannya, Enggis mengungkapkan bahwa Low Back Pain (LBP) atau lebih dikenal dengan nyeri punggung bawah merupakan salah satu cedera musculoskeletal yang sering dialami oleh pekerja dengan aktivitas fisik berat yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan serius.
Penelitian ini berfokus pada efektivitas dua metode terapi untuk menangani Low Back Pain (LBP) nonspesifik atau nyeri punggung bawah yang penyebab pastinya tidak diketahui secara jelas. Dalam eksperimennya, Enggis melibatkan 60 pasien dengan keluhan LBP fase sub akut dan kronis, yang dibagi ke dalam beberapa kelompok perlakuan.
Ia membandingkan pendekatan kombinasi alat elektroterapi, seperti SWD (Shortwave Diathermy) dan TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation), dengan teknik manual masase tradisional yang dimodifikasi menjadi metode Tepuksorak.
Metode ini mengintegrasikan empat elemen terapi: tekan, pukul, gosok, dan gerak (stretching), sehingga mampu memberikan fleksibilitas penanganan sesuai dengan fase cedera pasien.
Enggis memang menangani beragam kasus cedera musculoskeletal dan data dari pengalamannya tersebut menjadi dasar utama dalam disertasi ini. Temuan dan konsep yang ia kembangkan langsung diterapkan pada pasien, menjadikan penelitian ini relevan sekaligus berdampak nyata dalam praktik klinis sehari-hari.
Hasil penelitian Enggis menunjukkan bahwa metode Tepuksorak lebih efektif dalam meningkatkan fleksibilitas dan fungsi pinggang pada kasus Low Back Pain (LBP) kronis, sementara terapi kombinasi alat elektroterapi, seperti SWD (Shortwave Diathermy) dan TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation), lebih unggul pada fase subakut.
Menggunakan desain eksperimen Randomized Control Group Pretest-Posttest, penelitian ini melibatkan 60 pasien dengan keluhan LBP nonspesifik.
Temuan ini menawarkan alternatif perawatan nonfarmakologis yang tidak hanya efisien dan ekonomis, tetapi juga mudah diterapkan baik di klinik maupun komunitas dengan sumber daya terbatas, khususnya untuk penanganan cedera olahraga.
Enggis juga berhasil mempublikasikan tiga artikel ilmiah yang terindeks Scopus berdasarkan hasil penelitiannya di antaranya: A Comparison Between the Effectiveness of Tepurak Therapy Versus Deep Tissue Massage Stretching on Low Back Function in Nonspecific Low Back Pain (2024), dan Effectiveness of Combined Deep Tissue Massage and Stretching on Pain.
Selain itu Range of Motion, and Waist Function of Non-Specific Low Back Pain (2023), dan Comparison of the Effectiveness of Tepurak Therapy with Deep Tissue Massage and Stretching in Treating Non-Specific Low Back Pain Injuries (2023).
Ia juga berencana menyusun buku panduan terapi pinggang berdasarkan hasil disertasinya, sehingga dapat menjadi referensi praktis bagi kalangan medis dan masyarakat yang membutuhkan serta dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
(nnz)