Karpet Merah Terbentang untuk Kampus Asing

Kamis, 17 September 2020 - 07:01 WIB
loading...
Karpet Merah Terbentang...
RUU Ciptaker tak hanya ditujukan pada upaya menciptakan kondusivitas iklim usaha, tapi juga menyasar pada penyederhanaan regulasi pendidikan yang mengarah pada komersialisasi. Foto/dok
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) tak hanya ditujukan pada upaya menciptakan kondusivitas iklim usaha, tapi juga menyasar pada penyederhanaan regulasi pendidikan. Ironisnya, penyederhanaan regulasi pendidikan ini justru terkesan memberikan bentangan karpet merah bagi masuknya kampus asing dan memicu potensi komersialisasi pendidikan.

Sejumlah perubahan regulasi pendidikan dalam RUU Ciptaker meliputi penghapusan persyaratan pendirian perguruan tinggi asing di Indonesia, penghapusan prinsip nirlaba dalam otonomi pengelolaan perguruan tinggi, dan penghapusan kewajiban bagi perguruan tinggi asing untuk bekerja sama dengan perguruan tinggi nasional. (Baca: Sifat Malu Adalah Kunci dari Semua Kebaikan)

Selain itu, RUU Ciptaker kluster pendidikan juga menghapus sanksi pidana dan denda bagi satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran administratif, tidak adanya kewajiban bagi program studi untuk melakukan akreditasi, hingga dosen lulusan luar negeri tidak perlu lagi melakukan sertifikasi.

Perubahan-perubahan tersebut tercantum dalam RUU Ciptaker Pasal 33 (6-7) tentang program studi tidak wajib melakukan akreditasi, Pasal 45 (2) tentang sertifikasi dosen tidak wajib bagi dosen lulusan PT LN yang terakreditasi, Pasal 53 tentang badan hukum pendidikan nasional dapat berprinsip nirlaba, Pasal 63 tentang penghapusan prinsip nirlaba dalam otonomi pengelolaan perguruan tinggi, Pasal 65 tentang perguruan asing tidak wajib bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri, Pasal 67, 68, 69 tentang penghapusan sanksi pidana dan bagi perguruan tinggi yang melakukan pelanggaran administratif, Pasal 78 tentang penyelenggara/satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran hanya disanksi secara administratif, dan Pasal 90 tentang penghapusan persyaratan pendirian perguruan tinggi asing di Indonesia.

Pasal-pasal tersebut mengubah regulasi lama yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tentang Badan Hukum Pendidikan dan Penyelenggaraan Perguruan Tinggi, yang berprinsip nirlaba dan harus mendapatkan izin menteri. Lalu Pasal 65 ayat (3) UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas dan Pasal 90 ayat (4) serta ayat (5) UU Nomor 12/2012 tentang Dikti, yang semula wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan nasional, mengutamakan dosen, pengelola dan tenaga kependidikan WNI, serta wajib mendukung kepentingan nasional. (Baca juga: Kasus Corona Terus Meningkat, PSBB Adalah Pilihan Bijak)

Selain itu, ketentuan umum poin (2) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Dikti yang berbunyi: Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.

“Ada beberapa pasal terkait pendidikan di RUU Ciptaker yang kontraproduktif dengan filosofi dan tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Jika benar-benar diterapkan, maka RUU Ciptaker kluster pendidikan akan membawa Indonesia sebagai pasar bebas pendidikan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Jumat (11/9/20).

Huda menjelaskan, semangat yang dibawa oleh RUU Ciptaker mengarah pada liberalisasi pendidikan. Peran negara dibuat seminimal mungkin dan menyerahkan penyelenggaraan pendidikan pada kekuatan pasar. “Kondisi ini akan berdampak pada tersingkirnya lembaga-lembaga pendidikan berbasis tradisi, seperti pesantren dan kian mahalnya biaya pendidikan,” ujarnya.

Huda menilai, dari berbagai aturan baru ini tampak nyata jika RUU Ciptaker memberikan karpet merah terhadap masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia serta kebebasan perguruan tinggi untuk memainkan besaran biaya kuliah. Selain itu, kian longgarnya aturan sertifikasi, akreditasi, hingga penghapusan ancaman sanksi denda dan pidana akan berdampak pada pengabaian asas kesetaraan mutu dari perguruan tinggi. (Baca juga: Rusia Jual 100 Juta Vaksin Covid-19 ke India)

“Khusus penghapusan sanksi pidana dan denda akan berdampak pada lemahnya penegakan hukum pada perguruan tinggi, yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi. Bisa dibayangkan jika kondisi itu terjadi saat banyak perguruan tinggi asing berdiri di sini. Mereka bisa leluasa melakukan pelanggaran administratif tanpa dibayangi sanksi pidana atau denda,” katanya.

Politikus PKB ini berharap para anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang saat ini menggodok RUU Ciptaker benar-benar mencermati pasal-pasal yang mengatur tentang pendidikan. Mereka diminta tidak ragu mengusulkan norma-norma baru atau memutuskan tetap pada regulasi awal jika dirasa pasal-pasal dalam RUU Ciptaker kluster pendidikan justru membahayakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

“Pendidikan di Indonesia dari dulu diarahkan pada pembentukan manusia seutuhnya yang seimbang antara skill dan akhlak. Jangan sampai hanya karena ingin anak-anak Indonesia bisa bersaing di dunia kerja, aspek pembentukan mental dan karakter diabaikan,” katanya.

Jika perlu, kata Huda, Baleg DPR bisa mengeluarkan kluster pendidikan dari pembahasan RUU Ciptaker. Menurutnya saat ini Komisi X telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Peta Jalan Pendidikan (PJP) Indonesia. Panja PJP ini akan menginventarisasi berbagai persoalan pendidikan terbaru dan upaya untuk menyesuaikan arah pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan zaman. (Baca juga: Tim Repsol Honda Suram Tanpa Marquez)

“Hasil Panja PJP ini akan menjadi salah satu konten untuk melakukan revisi dari UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jadi kami rasa akan lebih komprehensif jika perbaikan regulasi pendidikan kita dimuat dalam perbaikan UU Sistem Pendidikan Nasional tidak sekadar menjadi bagian kecil dari RUU Ciptaker,” katanya.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, dia tidak melihat ruh pendidikan di RUU Cipta Kerja ini ke arah pemenuhan hak warga dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. "Justru saya melihat orientasinya ke arah komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan," ujarnya.

Ubaid menilai, komersialisasi ini salah satunya, yakni kemudahan kampus asing bisa dibuka dengan bebas di Indonesia tanpa ada kualifikasi akreditasi. Kemudian dia mengatakan, lembaga pendidikan juga akan dijadikan entitas bisnis yang berorientasi pada untung-rugi dengan tarif yang melangit karena disesuaikan dengan selera pasar.

Lalu dia mempertanyakan, di mana peran negara yang berkewajiban untuk memenuhi hak warganya dalam mendapatkan pendidikan berkualitas. "Maka, hapus saja pasal pendidikan di RUU Ciptaker, karena melenceng jauh dari tujuan pendidikan,” katanya.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, PGRI meminta agar kluster pendidikan tidak dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja, melainkan dibuat dalam omnibus law tersendiri di bidang pendidikan.

"Semangat pembuatan RUU ini adalahh untuk memudahkan iklim investasi dan memangkas birokrasi perizinan yang berbelit dan tumpang tindih. Karena itu, apakah cocok jika masalah pendidikan dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja," katanya. (Baca juga: Cara Sederhana untuk Cegah Kanker Payudara)

Selain itu, katanya, PGRI memandang bahwa RUU Cipta Kerja menyebabkan komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga menyebabkan diskriminasi. Seperti guru atau dosen lulusan luar negeri tidak wajib memiliki sertifikat pendidik, sedangkan bagi lulusan dalam negeri malah berlaku sebaliknya. "Kemudahan perguruan tinggi asing di Indonesia dan dampak lainnya," katanya.

Menurutnya, tujuan pendidikan adalah memajukan kesejahteraan umum dan juga mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana tercantum dalam alinea ke 4 UUD 1945, pemersatu NKRI dan juga mengembangkan watak dan martabat bangsa. "Oleh karena itu, kluster pendidikan seyogianya dikeluarkan dari UU Cipta Kerja," ujarnya.

Sementara itu, pengamat pendidikan Asep Saefuddin berpendapat, pendidikan ini adalah masalah yang penting untuk kemajuan negara secara hakiki dan mendasar. Menurutnya, pendidikanlah yang akan menjadi fondasi kemajuan bangsa dan negara sehingga punya jati diri serta karakter bangsa bermartabat.

"Kekuatan pendidikan itulah yang akan membangun Indonesia secara kokoh dengan modal manusia (human capital) yang memahami kemajuan bukan sekedar di dunia ekonomi saja," katanya.

Untuk itu, kata dia, persoalan pendidikan harus ditangani secara sungguh-sungguh bukan untuk saat ini saja, tetapi jauh ke depan. Hal itu termasuk dalam UU yang berkaitan dengan pendidikan. Artinya, pembahasan UU Pendidikan jangan terlalu dikaitkan dengan RUU Cipta Kerja. (Lihat videonya: Marion Jola Bikin Heboh karena Bra, Gisella Menyesal Bercerai)

"Pendidikan itulah yang mendasari semuanya, bukan sekadar kluster dalam UU Cipta Kerja. Jadi sebaiknya terpisah saja untuk dibahas secara tenang, tidak terburu-buru,” katanya.

Guru besar IPB ini menuturkan, saat ini ada baiknya meminta masukkan dari para ahli pendidikan lalu diadakan kajian-kajian mendalam. Sebab, karena hal ini menyangkut manusia yang tidak sekadar dilihat sebagai komponen dalam ekonomi. Dia berpendapat, lebih baik dalami dulu dengan sungguh-sungguh dan tidak harus ada sebagai kluster dalam UU Cipta Kerja. (Neneng Zubaidah)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1335 seconds (0.1#10.140)