Akhirnya, 3 Siswi Luar Biasa Ini Bisa Kembali ke Sekolah
loading...
A
A
A
MUARA ENIM - Tiara Aprilia, Cristina, dan Julia Sari, merupakan tiga siswi yang kurang beruntung namun memiliki kisah yang luar biasa. Ketiganya harus berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarga di tengah pandemi dan rela mengorbankan sekolahnya.
Seperti Tiara Aprilia, usianya baru 11 tahun, namun bocah ini telah memiliki pengalaman hidup yang luar biasa. Di saat teman-teman sebayanya menghabiskan waktu untuk bermain dan belajar, Tiara justru berkelahi dengan waktu dan banting tulang untuk membantu kedua orang tuanya.
Tiara tinggal bersama orang tua dan tiga saudaranya di sebuah rumah tumpangan di Lawang Kidul, Muara Enim. Ayahnya seorang buruh kasar yang bekerja serabutan, sementara ibunya pengepul barang bekas. (Baca juga: Hindari Kekerasan Siswa saat PJJ, Program Parenting Harus Diperkuat )
Sejak pandemi melanda, kehidupan keluarga Tiara semakin berat. Sudah dua bulan terakhir ia dan keluarganya diketahui bertahan hidup tanpa listrik dan air bersih.
Tapi, bocah ini tak pernah mengeluh. Bahkan, bersama dengan saudara-saudaranya ia lebih memilih berpelu untuk membantu sang ibu mencari dan mengumpulkan barang-barang bekas. Menghabiskan waktu belasan jam, demi sesuap nasi di penghujung hari.
Meski bernasib kurang beruntung dibanding kawan-kawannya, Tiara tak pernah berhenti bermimpi. Ia dan adiknya, Julia Sari yang baru berusia 7 tahun, tak mau mengubur semangat mereka untuk bisa meneruskan sekolah. Meski harapan untuk menimba ilmu kian hari seakan kian jauh. (Baca juga: Masih Banyak Siswa Belum Miliki Gawai dan Kesulitan Sinyal )
Kisah yang sama datang dari Cristina, 11 tahun. Putri dari seorang buruh tani yang hanya menggarap ladang ubi milik warga yang tak terpakai.
Semestinya Cristina sudah duduk di kelas 5 SD, namun kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan membuatnya tak pernah mengecap bangku pendidikan formal.
Ia hidup bersama kedua orang tua, dan lima saudara lainnya di Desa Tegal Rejo, Lawang Kidul. Kondisi ekonomi yang jauh dari layak, membuat ia dan keluarga hidup sehari-hari tanpa fasilitas penerangan dan listrik yang memadai.
Kondisi Cristina yang memiliki kebutuhan khusus, membuatnya sulit berbaur dengan dunia luar. Bocah ini kesulitan untuk bersosialisasi dan bermain dengan teman sebaya. Di usia yang semestinya sudah duduk di 5 SD, Cristina sampai saat ini masih mempelajari materi anak kelas 2 SD. (Baca juga: Terkendala Internet, Pelajar di Palopo Belajar Daring di Tengah Sawah )
Seperti Tiara Aprilia, usianya baru 11 tahun, namun bocah ini telah memiliki pengalaman hidup yang luar biasa. Di saat teman-teman sebayanya menghabiskan waktu untuk bermain dan belajar, Tiara justru berkelahi dengan waktu dan banting tulang untuk membantu kedua orang tuanya.
Tiara tinggal bersama orang tua dan tiga saudaranya di sebuah rumah tumpangan di Lawang Kidul, Muara Enim. Ayahnya seorang buruh kasar yang bekerja serabutan, sementara ibunya pengepul barang bekas. (Baca juga: Hindari Kekerasan Siswa saat PJJ, Program Parenting Harus Diperkuat )
Sejak pandemi melanda, kehidupan keluarga Tiara semakin berat. Sudah dua bulan terakhir ia dan keluarganya diketahui bertahan hidup tanpa listrik dan air bersih.
Tapi, bocah ini tak pernah mengeluh. Bahkan, bersama dengan saudara-saudaranya ia lebih memilih berpelu untuk membantu sang ibu mencari dan mengumpulkan barang-barang bekas. Menghabiskan waktu belasan jam, demi sesuap nasi di penghujung hari.
Meski bernasib kurang beruntung dibanding kawan-kawannya, Tiara tak pernah berhenti bermimpi. Ia dan adiknya, Julia Sari yang baru berusia 7 tahun, tak mau mengubur semangat mereka untuk bisa meneruskan sekolah. Meski harapan untuk menimba ilmu kian hari seakan kian jauh. (Baca juga: Masih Banyak Siswa Belum Miliki Gawai dan Kesulitan Sinyal )
Kisah yang sama datang dari Cristina, 11 tahun. Putri dari seorang buruh tani yang hanya menggarap ladang ubi milik warga yang tak terpakai.
Semestinya Cristina sudah duduk di kelas 5 SD, namun kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan membuatnya tak pernah mengecap bangku pendidikan formal.
Ia hidup bersama kedua orang tua, dan lima saudara lainnya di Desa Tegal Rejo, Lawang Kidul. Kondisi ekonomi yang jauh dari layak, membuat ia dan keluarga hidup sehari-hari tanpa fasilitas penerangan dan listrik yang memadai.
Kondisi Cristina yang memiliki kebutuhan khusus, membuatnya sulit berbaur dengan dunia luar. Bocah ini kesulitan untuk bersosialisasi dan bermain dengan teman sebaya. Di usia yang semestinya sudah duduk di 5 SD, Cristina sampai saat ini masih mempelajari materi anak kelas 2 SD. (Baca juga: Terkendala Internet, Pelajar di Palopo Belajar Daring di Tengah Sawah )