Rencana Mendikbud Lanjutkan BDR via Televisi Dinilai Langkah Mundur

Minggu, 27 September 2020 - 11:33 WIB
loading...
Rencana Mendikbud Lanjutkan...
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim melanjutkan belajar dari rumah (BDR) melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI) meskipun pagebluk COVID-19 sudah berakhir, menuai kritik.

Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menyebut hal tersebut sebagai langkah mundur 50 tahun ke belakang. Anggaran kegiatan tersebut sebesar Rp209 miliar pada 2021. Indra mengaku kaget dengan cara berpikir dan rencana Nadiem Makarim. (Baca juga: Pengamat: Perlu Ada Dewan Etis yang Mengawasi Kinerja Kemendikbud )

“Sebagai sesama alumni perguruan tinggi di Amerika Serikat, secara insting tentunya kami akan melihat dan mempelajari apa yang dilakukan dalam kebijakan pendidikan di Negeri Paman Sam. Tentunya bukan dalam upaya untuk copy paste kebijakan yang ada di sana, tetapi paling tidak, dapat dijadikan referensi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Minggu (27/9/2020).

Indra memaparkan hasil riset Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Hasilnya, penggunaan televisi untuk pendidikan membuat anak-anak mengkonsumsi konten secara pasif dan berdampak buruk pada kesehatan terkait berat badan, kebiasaan tidur, dan perkembangan bahasa.

Penelitian menunjukkan tayangan kartun atau animasi dengan fase cepat berdampak negatif secara langsung pada kemampuan eksekusi anak. Kemampuan eksekusi itu mengacu pada keterampilan kognitif dan regulasi dalam pemecahan masalah dengan tujuan jelas, memori kerja, penghambatan respon, dan fleksibilitas dalam mengalihkan perhatian. (Baca juga: Persiapan Belajar Tatap Muka di Surabaya Tinggal Finalisasi )

Indra mengatakan, seharusnya Nadiem Makarim bisa membedakan antara belajar aktif dan pasif. Televisi membentuk pola belajar pasif karena tidak ada interaksi antara guru dengan murid maupun antar murid.

“Tidak ada umpan balik dari apa yang dilakukan oleh siswa. Semaunya adalah komunikasi satu arah. Dengan pola belajar pasif tentunya tidak bermuara pada pembentukan peserta didik yang sesuai dengan profil pelajar Pancasila,” tuturnya.

Padadal model pelajar Pancasila menjadi target Nadiem sendiri. Pelajar diharapkan memiliki sikap kritis, kreatif, bergotong royong, dan lain sebagainya. Televisi sebagai media alternatif pembelajaran pada masa pagebluk COVID-19 masih bisa diterima.

Namun, jika dijadikan kebijakan permanen dan menguras uang rakyat, menurut Indra, Nadiem harus bisa menjelaskan mengenai kajian-kajian akademisnya. Kajian itu harus yang membuktikan bahwa televisi dapat mengembangkan literasi, numerasi, kebudayaan, pendidikan karakter, dan bahasa Inggris secara efektif di abad 21 ini.

Indra menerangkan pemerintah seharusnya berkonsentrasi untuk mengurangi kesenjangan digital di dunia pendidikan. Abad 21 ini merupakan era inovasi dimana alat kerjanya harus yang multifungsi.

Bukan hanya hanya sebagai konsumen, seperti televisi atau radio, tetapi menjadi produsen, seperti komputer. “Menggunakan TVRI sebagai salah satu program unggulan Kemendikbud adalah sebuah langkah mundur Indonesia antara 40 sampai 50 tahun,” sindirnya.

Direktur Eksekutif Center for Education Regulations & Development Analysis (CERDAS) itu menyatakan Kemendikbud sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa sebaiknya melakukan pendekatan akademis bukan politis dalam mengambil situasi kebijakan.

“Masa depan bangsa Indonesia yang sedang dipertaruhkan. Apabila terjadi malpraktek dalam mengelola sistem pendidikan nasional, bukan bonus demografi yang akan kita dapatkan, melainkan bencana demografi,” pungkasnya.
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8104 seconds (0.1#10.140)