Kemenag Bekali Guru RA Keterampilan Psikososial di Masa Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Agama melalui Direktorat Guru Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah memberi Pembekalan Psikososial Guru Raudhatul Athfal (RA). Materi yang disampaikan oleh Psikolog Spesialis Pendidikan dari Wahana Visi Indonesia Saskia Rosita Indasari ini merupakan salah satu sesi Pelatihan Pengembangan Kapasitas Guru RA yang digelar secara daring.
“Depresi atau stress dapat terjadi pada siapa saja. Guru, orang tua maupun siswa terutama di era pandemic saat ini dimana terjadi perubahan sistem pembelajaran,” kata Saskia membuka sesi pelatihan, seperti dikutip dari laman resmi Kemenag, Sabtu (24/10). (Baca juga: Kemenag Siapkan Bantuan Rp1,178 Triliun untuk PJJ Pendidikan Agama )
Secara psikologis dan juga medis, saat merasa stres dan guru atau siswa dikuasai oleh emosi yang intens, maka hormon stres bernama kortisol akan mendominasi di otak dan menghambat kemampuan berpikir seseorang.
“Seseorang menjadi sulit untuk berpikir secara jernih dan rasional, sulit memusatkan perhatian (atentif), dan sulit untuk memecahkan masalah yang ada,” terang Saskia.
Menurut Saskia, jika kondisi depressi dan stress yang terjadi pada diri seseorang tidak segera diperbaiki dan berkelanjutan maka kemungkinan besar akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Ia menuturkan, kapasitas pemulihan seseorang dalam mengatasi stress tentu berbeda satu sama lain. (Baca juga: Kemenag-LPDP Buka Beasiswa Dosen, Diktis: Faham Keagamaan Harus Moderat )
“Pemulihan seseorang dalam mengatasi stress dipengaruhi oleh faktor kualitas diri dan lingkungan social dan faktor pendukung. segala bentuk pilihan tingkah laku yang ada pada diri seseorang dan lingkungan social untuk mempertahankan atau meningkatkan kesehatan psikologis social sangat berpengaruh,” tutur Saskia.
“Pada prinsipnya, cepat lambatnya pemulihan anak ataupun orang dewasa tergantung dari faktor pelindung dan faktor penghambatnya,” sambungnya.
Dikatakan Saskia, semakin dewasa seseorang maka makin berat faktor penghambatnya dan cenderung akan semakin lama proses pemulihannya. Tetapi, lanjutnya, orang dewasa yang sadar jika dirinya butuh pertolongan, akan mencari bantuan serta ada dorongan dalam diri untuk bangkit, maka hal tersebut akan mempercepat untuk pulih.
“Begitupula dengan anak. Anak yang terlatih mengekspresikan dan mengkomunikasikan emosinya serta kooperatif, ia akan lebih mudah ditangani,” ujarnya
Saskia menjelaskan cara memberikan pertolongan pertama psikologis pada anak yang mengalami stress yaitu dengan lakukan 3M. Pertama, mengamati situasi dan perubahan perilaku anak. Kedua, mendengarkan keluhan dan aspirasi anak serta mendengarkan juga keluhan orang-orang di sekitar tentang perilaku si anak.
Ketiga, lanjut Saskia, menghubungkan permasalahan yang dialami anak dengan pihak yang lebih tepat. “Cobalah luangkan waktu sejenak untuk benar-benar hadir untuk anak, mendengarkan mereka, melakukan aktivitas menyenangkan bersama mereka,” pungkas Saskia.
Kasubdit Bina GTK RA, Siti Sakdiyah, mengatakan, dalam masa Pembelajaran Jarak Jauh, untuk mengurangi tingkat depresi yang kemungkinan bisa dialami oleh guru atau siswa efek kejenuhan yang cukup lama, guru perlu membangun komunitas yang bisa dilakukan baik sesama guru, keluarga, orang tua, ataupun dengan anak didik untuk sekedar berdiskusi atau membangun komunikasi positif.
“Dengan menyapa dalam komunitas tersebut dapat mengurai dan melupakan sejenak kejenuhan yang terjadi. Rileks, relaksasi dan rekreasional sejenak bisa dilakukan untuk membangun dan meningkatkan imunitas guru sejahtera siswa bahagia di tengah PJJ yang melanda,” pungkas Sakdiyah.
“Depresi atau stress dapat terjadi pada siapa saja. Guru, orang tua maupun siswa terutama di era pandemic saat ini dimana terjadi perubahan sistem pembelajaran,” kata Saskia membuka sesi pelatihan, seperti dikutip dari laman resmi Kemenag, Sabtu (24/10). (Baca juga: Kemenag Siapkan Bantuan Rp1,178 Triliun untuk PJJ Pendidikan Agama )
Secara psikologis dan juga medis, saat merasa stres dan guru atau siswa dikuasai oleh emosi yang intens, maka hormon stres bernama kortisol akan mendominasi di otak dan menghambat kemampuan berpikir seseorang.
“Seseorang menjadi sulit untuk berpikir secara jernih dan rasional, sulit memusatkan perhatian (atentif), dan sulit untuk memecahkan masalah yang ada,” terang Saskia.
Menurut Saskia, jika kondisi depressi dan stress yang terjadi pada diri seseorang tidak segera diperbaiki dan berkelanjutan maka kemungkinan besar akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Ia menuturkan, kapasitas pemulihan seseorang dalam mengatasi stress tentu berbeda satu sama lain. (Baca juga: Kemenag-LPDP Buka Beasiswa Dosen, Diktis: Faham Keagamaan Harus Moderat )
“Pemulihan seseorang dalam mengatasi stress dipengaruhi oleh faktor kualitas diri dan lingkungan social dan faktor pendukung. segala bentuk pilihan tingkah laku yang ada pada diri seseorang dan lingkungan social untuk mempertahankan atau meningkatkan kesehatan psikologis social sangat berpengaruh,” tutur Saskia.
“Pada prinsipnya, cepat lambatnya pemulihan anak ataupun orang dewasa tergantung dari faktor pelindung dan faktor penghambatnya,” sambungnya.
Dikatakan Saskia, semakin dewasa seseorang maka makin berat faktor penghambatnya dan cenderung akan semakin lama proses pemulihannya. Tetapi, lanjutnya, orang dewasa yang sadar jika dirinya butuh pertolongan, akan mencari bantuan serta ada dorongan dalam diri untuk bangkit, maka hal tersebut akan mempercepat untuk pulih.
“Begitupula dengan anak. Anak yang terlatih mengekspresikan dan mengkomunikasikan emosinya serta kooperatif, ia akan lebih mudah ditangani,” ujarnya
Saskia menjelaskan cara memberikan pertolongan pertama psikologis pada anak yang mengalami stress yaitu dengan lakukan 3M. Pertama, mengamati situasi dan perubahan perilaku anak. Kedua, mendengarkan keluhan dan aspirasi anak serta mendengarkan juga keluhan orang-orang di sekitar tentang perilaku si anak.
Ketiga, lanjut Saskia, menghubungkan permasalahan yang dialami anak dengan pihak yang lebih tepat. “Cobalah luangkan waktu sejenak untuk benar-benar hadir untuk anak, mendengarkan mereka, melakukan aktivitas menyenangkan bersama mereka,” pungkas Saskia.
Kasubdit Bina GTK RA, Siti Sakdiyah, mengatakan, dalam masa Pembelajaran Jarak Jauh, untuk mengurangi tingkat depresi yang kemungkinan bisa dialami oleh guru atau siswa efek kejenuhan yang cukup lama, guru perlu membangun komunitas yang bisa dilakukan baik sesama guru, keluarga, orang tua, ataupun dengan anak didik untuk sekedar berdiskusi atau membangun komunikasi positif.
“Dengan menyapa dalam komunitas tersebut dapat mengurai dan melupakan sejenak kejenuhan yang terjadi. Rileks, relaksasi dan rekreasional sejenak bisa dilakukan untuk membangun dan meningkatkan imunitas guru sejahtera siswa bahagia di tengah PJJ yang melanda,” pungkas Sakdiyah.
(mpw)