Kurikulum Pendidikan Harus Fleksibel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia harus segera memiliki cetak biru pendidikan yang bisa bertahan 25-30 tahun. Jangan terus-menerus ganti pejabat lalu berubah lagi kebijakan.
Anggota Komisi X DPR RI Adrianus Asia Sidot mengungkapkan kerap mendapatkan keluhan tentang kurikulum yang berubah-ubah. Kurikulum itu seharusnya fleksibel, menyesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat dan kemajuan teknologi.
"Mendorong kementerian untuk memberikan keleluasaan kepada sekolah menyusun kurikulum sendiri. Sekolah-sekolah di pedalaman dan pedesaaan itu kondisinya tidak sama dengan sekolah di kota dan Jawa," tuturnya dalam diskusi daring bertema Revisi UU Sisdiknas, Jumat (8/5/2020).
Selama ini, kurikulum merupakan hak prerogatif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Hal tersebut yang menyulitkan guru di sekolah-sekolah di pedalaman. "Bagaimana menyamakan mutu pendidikan di pendalaman," ucapnya.
Politikus Partai Golkar itu menyebut, pandemi Covid-19 sebagai malapetaka sekaligus blessing in disguise. Dalam waktu sekejap, semua orang dipaksa memberlakukan pembelajaran secara daring. Itu mau tidak mau dan ada atau tidak jaringan internet harus berjalan. ( n).
"(harus) melengkapi kekurangan yang ada. Setelah Covid, pendidikan bisa bangkit dengan wajah yang lebih baik. Kami sudah mendorong agar pendidikan Indonesia memiliki cetak biru. Jangan ganti menteri, ganti kurikulum. Jadi kitab kuning pendidikan Indonesia, long term untuk 25-30 tahun ke depan," terangnya.
Memang tidak mudah menyusun cetak biru yang bisa bertahan lama. Apalagi, semua cepat berubah. Inovasi dalam dunia pendidikan harus dikedepankan untuk memajukan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Untuk itu, harus ada perhatian yang lebih serius pada guru honorer yang nasibnya terkatung-katung. Adrianus mengungkapkan, ada guru honorer hanya menerima gaji Rp150-300 ribu per bulan. Di masa pandemi Covid-19, ada guru bahkan mendatangi satu per satu rumah muridnya karena tidak memiliki gawai dan kuota internet.
Adrianus menyebut merekalah pahlawan tanpa tanda jasa sesungguhnya. "Mereka datang untuk tetap mengajar. Kalau negara menutup kondisi ini, itu keterlaluan. Kondisi di lapangan sangat memprihatinkan," pungkasnya.
Anggota Komisi X DPR RI Adrianus Asia Sidot mengungkapkan kerap mendapatkan keluhan tentang kurikulum yang berubah-ubah. Kurikulum itu seharusnya fleksibel, menyesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat dan kemajuan teknologi.
"Mendorong kementerian untuk memberikan keleluasaan kepada sekolah menyusun kurikulum sendiri. Sekolah-sekolah di pedalaman dan pedesaaan itu kondisinya tidak sama dengan sekolah di kota dan Jawa," tuturnya dalam diskusi daring bertema Revisi UU Sisdiknas, Jumat (8/5/2020).
Selama ini, kurikulum merupakan hak prerogatif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Hal tersebut yang menyulitkan guru di sekolah-sekolah di pedalaman. "Bagaimana menyamakan mutu pendidikan di pendalaman," ucapnya.
Politikus Partai Golkar itu menyebut, pandemi Covid-19 sebagai malapetaka sekaligus blessing in disguise. Dalam waktu sekejap, semua orang dipaksa memberlakukan pembelajaran secara daring. Itu mau tidak mau dan ada atau tidak jaringan internet harus berjalan. ( n).
"(harus) melengkapi kekurangan yang ada. Setelah Covid, pendidikan bisa bangkit dengan wajah yang lebih baik. Kami sudah mendorong agar pendidikan Indonesia memiliki cetak biru. Jangan ganti menteri, ganti kurikulum. Jadi kitab kuning pendidikan Indonesia, long term untuk 25-30 tahun ke depan," terangnya.
Memang tidak mudah menyusun cetak biru yang bisa bertahan lama. Apalagi, semua cepat berubah. Inovasi dalam dunia pendidikan harus dikedepankan untuk memajukan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Untuk itu, harus ada perhatian yang lebih serius pada guru honorer yang nasibnya terkatung-katung. Adrianus mengungkapkan, ada guru honorer hanya menerima gaji Rp150-300 ribu per bulan. Di masa pandemi Covid-19, ada guru bahkan mendatangi satu per satu rumah muridnya karena tidak memiliki gawai dan kuota internet.
Adrianus menyebut merekalah pahlawan tanpa tanda jasa sesungguhnya. "Mereka datang untuk tetap mengajar. Kalau negara menutup kondisi ini, itu keterlaluan. Kondisi di lapangan sangat memprihatinkan," pungkasnya.
(zik)