Perhimpunan Guru Desak Mendikbud Hentikan Bisnis Lulus Asesmen Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menetapkan pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) pada Maret 2021 untuk menggantikan Ujian Nasional (UN). Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menjelaskan bahwa tak butuh persiapan khusus bagi sekolah, guru, siswa, dan orang tua dalam menghadapi AN karena bukan menjadi penentu kelulusan siswa. Format dan kedudukan AN pun jauh berbeda dari UN masa sebelumnya.
Namun, langkah itu mendapat kritikan dari Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G). Mereka justru menemukan praktik-praktik jualan lulus AN yang dilakukan oleh lembaga tertentu, seperti lembaga bimbingan belajar (Bimbel) bahkan sekolah swasta tertentu. (Baca juga: Transformasi Pendidikan, Ini Inovasi yang Harus Dimiliki Guru Penggerak )
Para pegiat pendidikan menduga kuat Kemdikbud punya relasi resmi kelembagaan dengan lembaga seperti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dan grupnya.
“Mas Nadiem diduga kuat membiarkan praktis bisnis pendidikan model ini terjadi. Padahal secara regulasi, AN itu bukan penentu kelulusan siswa. Praktik penyelenggaraan AN bukan bertujuan untuk menilai-nilai siswa seperti UN dulu,” kata Koordinator P2G Satriwan Salim dalam pernyataannya kepada SINDOnews, Selasa (3/11/2020).
Lebih lanjut, Satriwan menilai peluang bisnis dari sekolah swasta yang memang jualan AN ini laku di masyarakat, khususnya yang belum paham secara utuh dan komprehensif tentang AN. Bisnis model tersebut tentu memanfaatkan persepsi publik seperti guru, siswa, orang tua yang belum paham seutuhnya tentang AN yang berbeda dengan UN. (Baca juga: Selama PJJ Siswa Alami Tekanan Psikososial, FSGI Minta Kemenkes Turun Tangan )
P2G merasa khawatir pelaksanaan AN nanti Maret 2021. Sebab, pelaksanaan UN di masa sebelumnya menjadi beban siswa, guru, dan ortu karena model-model bisnis pendidikan seperti jualan lulus AN/UN.
“Bahaya jika (kebijakan) pendidikan dibisniskan seperti ini. Praktik-praktik seperti ini menjadi faktor yang membuat pendidikan kita makin buruk, makin terjatuh. Siswa hanya dijadikan sebagai objek ujian. Orientasi pendidikan hanya kepada pengetahuan,” keluhnya.
Mantan Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) itu pun mempertanyakan cara agar siswa lulus ujian AN dengan menjual praktik atau cara-cara pintas menjawab soal. Menurutnya, karakter makin dipinggirkan. Penguatan nilai-nilai karakter bukan lagi prioritas sekolah.
“Prioritas sekolah lebih dominan kepada: bagaimana caranya agar sekolah mendapatkan nilai AN yang tinggi. Sebab akan menjadi prestise sekolah sampai kepala daerah. Lagi-lagi siswa terbebani secara psikologis, bahkan dari segi ekonomis. Sebab, ikut program bimbel lulus AN pastinya berbayar, yang harganya tidaklah murah,” tukasnya.
Namun, langkah itu mendapat kritikan dari Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G). Mereka justru menemukan praktik-praktik jualan lulus AN yang dilakukan oleh lembaga tertentu, seperti lembaga bimbingan belajar (Bimbel) bahkan sekolah swasta tertentu. (Baca juga: Transformasi Pendidikan, Ini Inovasi yang Harus Dimiliki Guru Penggerak )
Para pegiat pendidikan menduga kuat Kemdikbud punya relasi resmi kelembagaan dengan lembaga seperti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dan grupnya.
“Mas Nadiem diduga kuat membiarkan praktis bisnis pendidikan model ini terjadi. Padahal secara regulasi, AN itu bukan penentu kelulusan siswa. Praktik penyelenggaraan AN bukan bertujuan untuk menilai-nilai siswa seperti UN dulu,” kata Koordinator P2G Satriwan Salim dalam pernyataannya kepada SINDOnews, Selasa (3/11/2020).
Lebih lanjut, Satriwan menilai peluang bisnis dari sekolah swasta yang memang jualan AN ini laku di masyarakat, khususnya yang belum paham secara utuh dan komprehensif tentang AN. Bisnis model tersebut tentu memanfaatkan persepsi publik seperti guru, siswa, orang tua yang belum paham seutuhnya tentang AN yang berbeda dengan UN. (Baca juga: Selama PJJ Siswa Alami Tekanan Psikososial, FSGI Minta Kemenkes Turun Tangan )
P2G merasa khawatir pelaksanaan AN nanti Maret 2021. Sebab, pelaksanaan UN di masa sebelumnya menjadi beban siswa, guru, dan ortu karena model-model bisnis pendidikan seperti jualan lulus AN/UN.
“Bahaya jika (kebijakan) pendidikan dibisniskan seperti ini. Praktik-praktik seperti ini menjadi faktor yang membuat pendidikan kita makin buruk, makin terjatuh. Siswa hanya dijadikan sebagai objek ujian. Orientasi pendidikan hanya kepada pengetahuan,” keluhnya.
Mantan Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) itu pun mempertanyakan cara agar siswa lulus ujian AN dengan menjual praktik atau cara-cara pintas menjawab soal. Menurutnya, karakter makin dipinggirkan. Penguatan nilai-nilai karakter bukan lagi prioritas sekolah.
“Prioritas sekolah lebih dominan kepada: bagaimana caranya agar sekolah mendapatkan nilai AN yang tinggi. Sebab akan menjadi prestise sekolah sampai kepala daerah. Lagi-lagi siswa terbebani secara psikologis, bahkan dari segi ekonomis. Sebab, ikut program bimbel lulus AN pastinya berbayar, yang harganya tidaklah murah,” tukasnya.
(mpw)