Menggagas Pengganti Terbaik UN

Kamis, 19 November 2020 - 08:09 WIB
loading...
Menggagas Pengganti Terbaik UN
Asesmen Nasional (AN) digadang-gadang sebagai pengganti terbaik ujian nasional (UN). Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Asesmen Nasional (AN) digadang-gadang sebagai pengganti terbaik ujian nasional (UN) . Dengan AN akan diketahui sejauh mana capaian penyelenggaraan pendidikan nasional.



Selama ini alat ukur untuk mengetahui hasil pembelajaran siswa menggunakan metode UN. Hanya, dalam berbagai praktiknya UN dipandang tidak memberikan gambaran utuh terkait progres peserta didik. (Baca: Enam Jenis Bisikan Setan yang Merasuki Manusia)

Bahkan UN kerap menjadi momok bagi siswa dan sekolah sehingga banyak memunculkan berbagai problem psikologis. Akibatnya kemampuan literasi, numerasi, dan sains peserta didik di Indonesia malah sering jeblok.

Peringkat Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) terus menunjukkan tren penurunan. Untuk kemampuan baca, skor Indonesia di awal mengikuti tes PISA tahun 2000 di peringkat 371 dan mengalami peningkatan 382 (tahun 2003), 393 (2006), dan 402 (2009). Kemudian terus mengalami penurunan 396 (2012), 397 (2015), dan titik terendah 371 (2018).

Demikian pula dengan capaian kemampuan matematika. Setelah sempat mengalami tren kenaikan pada 2003 dengan skor 360, 2012 di skor 371, 2009 dan 2012 di skor 375, dan 2015 di skor 386, skor PISA matematika Indonesia kembali turun di angka 379 pada 2018.

Kemampuan sains siswa Indonesia naik turun, yakni di angka 393 (tahun 2006), 383 (2009) dan 382 (2012), kemudian naik lagi pada 2015 dengan skor 403. Sayangnya, skor kemampuan sains kita kembali mengalami penurunan di laporan terakhir PISA, tahun 2018 di angka 396.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pun mengambil langkah cepat. Sesaat setelah pelantikannya sebagai salah satu menteri termuda, founder Gojek Indonesia tersebut langsung mencanangkan penghapusan UN .

Kebijakan yang harusnya diterapkan pada 2021 tersebut ternyata lebih cepat berjalan di mana UN mulai tahun ini resmi dihapus seiring adanya pandemi Covid-19. Kemendikbud kemudian meluncurkan Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti UN. (Baca juga: Subsidi Gaji 2,4 Juta Guru Non-PNS Cair)

“Format dan tujuan AN berbeda dengan UN. Asesmen Nasional bukan untuk mengevaluasi siswa dan tidak semua siswa mengikutinya karena akan dipilih secara acak sebagai sampel,” ujar Sekjen Kemendikbud Ainun Naim kepada KORAN SINDO.

Dia mengatakan, AN yang akan dijalankan Kemendikbud tahun depan ini untuk mengevaluasi institusi sekolah dan daerah. Dengan begitu, apa yang tergambar dalam AN akan lebih komprehensif dibandingkan dengan UN.

"Jadi asesmen yang menggantikan UN itu tentu tidak sama dengan UN. Kami akan melakukan evaluasi kepada sekolah dan daerah sehingga apa yang kita lihat itu lebih komprehensif," katanya.

Guru besar dari Universitas Gajah Mada ini menuturkan, siswa yang akan ikut serta dalam AN ini tidak seluruh siswa seperti halnya UN . Melainkan hanya lebih sedikit siswa atau sampel. Ainun menjelaskan, sampel siswa ini mengikuti metode studi internasional PISA.

Ainun menerangkan, Kemendikbud telah menyosialisasikan AN untuk semua pihak. Bahkan Mendikbud pun turut menyosialisasikan AN ini ke beberapa pihak. "Sebetulnya sekarang sudah mulai berproses sosialisasi itu. Mas Menteri juga sudah sering menyampaikan baik ke Komisi X (DPR) maupun dalam berbagai forum," ucapnya. (Baca juga: Bali Destinasi Bulan Madu Terbaik di Dunia)

Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap mutu setiap sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. Mutu satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Informasi-informasi tersebut diperoleh dari tiga instrumen utama, yaitu asesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

Dalam kesempatan sebelumnya Nadiem menyampaikan bahwa sangat penting dipahami terutama oleh guru, kepala sekolah, murid, dan orang tua bahwa AN untuk tahun 2021 tidak memerlukan persiapan-persiapan khusus maupun tambahan yang justru akan menjadi beban psikologis tersendiri. Sebab, AN hanya dilaksanakan dua hari dan tidak memberikan dampak apa pun terhadap proses kelulusan siswa maupun proses penerimaan peserta didik baru (PPDB).

“Jadi tidak usah cemas dengan pelaksanaan AN karena memang tidak memberikan dampak apa pun bagi siswa. Tidak perlu pula demi ikut AN siswa ikut bimbingan belajar (bimbel) karena memang tidak bimbel-able,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi X DPR, Senin (16/11/2020) lalu. (Baca juga: Putusan MK Jadi Penentu masa Depan KPK)

Perlu Sosialisasi Matang

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi, menyebut informasi mengenai AN masih samar di masyarakat. Bahkan sebagian besar masyarakat masih menyamakan Ujian Nasional (UN) dengan AN. Alasannya, sampai saat ini belum ada sosialisasi masif dari Kemendikbud soal asesmen pengganti UN ini. Keterbatasan akses informasi ini juga membuat guru-guru tak paham seperti apa model pelaksanaan AN.

"Ya jelaskan dulu apa bedanya dengan UN, apa bedanya dengan asesmen kompetensi minimum (AKM). Di mana bedanya, kok ada misleading? Jangan sampai kemudian masyarakat menganggap AN sama kaya UN," keluhnya.

Menurut Unifah, tak lantang dan tidak masifnya sosialisasi dari Kemendikbud ini malah berbahaya. Tidak tertutup kemungkinan jika muncul pihak-pihak yang memanfaatkan situasi dengan memperjual-belikan buku kiat lolos dan lulus AN seperti layaknya di era UN. Padahal, berkali-kali Kemendikbud menegaskan bahwa tidak perlu persiapan khusus bagi sekolah, guru, siswa, dan orang tua dalam menghadapi AN ini.

"Di daerah sudah banyak yang mengartikan sebagai pengganti UN. Itu harus dijelaskan. Apalagi sudah ada yang (menjual) tryout (AN). Kan itu berarti balik lagi ke UN," ucapnya. (Baca juga: Jerman Tuduh Rusia dan China Mengulur-ulur Sanksi untuk Korut)

Tidak adanya sosialisasi juga akan mengancam implementasi AN itu sendiri. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan, AN bisa saja justru menjadi berantakan. "Segala sesuatu kebijakan itu harus disosialisasikan, jelas dasarnya, dan dikomunikasikan. Komunikasi publik itu harus diperbaiki," desak Unifah.

Deputi Bidang Pendidikan dan Agama Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Agus Sartono, menilai rencana pelaksanaan AN tersebut belum matang. Karena itu, pihaknya menyarankan agar pelaksanaan AN ditunda hingga 2022 mendatang. “Kalau saya sarankan realisasinya mundur Oktober 2021 atau di 2022 kalau memang belum siap," katanya.

Menurut Agus, pembahasan pelaksanaan AN hingga saat ini belum tuntas. Karena itu penundaan pelaksanaan menjadi solusi yang tepat. "Sekarang ujian kesetaraan bagaimana yang paket A, B, C. Kan dengan UN tidak ada? Kita kan kesulitan juga. Orang yang mau nyalon jadi anggota DPRD perlu ijazah kesetaraan SMA bagaimana caranya?," gugatnya.

Karena itu, pelaksanaan AN harus dipersiapkan secara matang karena banyak pihak yang akan terkait dalam pelaksanaan tersebut. Meski begitu, Agus akan menemui pihak Kemendikbud, membahas kelanjutan pelaksanaan AN ini. "Saya mau ketemu Pak Totok sebentar lagi. Kami sudah rapat sekali, kan perencanaan tentang bagaimana kesiapannya, kalau akan dilakukan tahun depan kan seharusnya sudah matang konsep itu dan harus segera disosialisasikan," ujarnya. (Baca juga: Ekonomi Dunia Berangsur Membaik, Investasi Lari ke Negara Berkembang)

Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, secara substansi, P2G memberikan apresiasi kepada Mendikbud yang sudah berani menghapus UN yang selalu menjadi beban dan momok bagi siswa selama belasan tahun.

"Namun, P2G menilai kebijakan Kemendikbud melaksanakan AN yang dijadwalkan Maret 2021 nanti dirasa sangat tidak bijak, terkesan tergesa-gesa, dan tidak tepat momentumnya di masa pandemi dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang masih banyak kendala," katanya melalui siaran pers.

Satriwan menjelaskan, ada beberapa alasan P2G meminta AN ditunda pelaksanaannya. Pertama, walaupun AN sudah menjadi kebijakan resmi Kemendikbud, faktanya di kalangan guru, siswa, dan orang tua masih banyak yang belum memahami format dan esensi dari AN. Bahkan masih ada guru dan orang tua yang menganggap sama saja antara AN dan UN.

Dia mengatakan, ada persoalan kendala sosialisasi oleh Kemendikbud yang jauh dari kata maksimal dalam konteks ini. Hal yang mesti diingat kembali adalah kondisi siswa masih dalam pembelajaran metode PJJ, yang pelaksanaannya jauh dari kata optimal dalam konteks kualitas pembelajarannya.

Satriwan melanjutkan program AN terlalu dipaksakan karena tidak sesuai kebutuhan siswa yang masih terkendala melaksanakan PJJ. Kebutuhan siswa selama PJJ (daring) dengan luring itu berbeda. Meskipun pemerintah sudah menganggarkan subsidi pulsa selama PJJ sebesar Rp7,2 triliun, ini hanya membantu untuk PJJ daring, bukan PJJ luring. Bahkan masih banyak guru dan siswa yang tidak dapat bantuan kuota internet pada bulan pertama September lalu. (Lihat videonya: Pemerintah Austria Kembali Putuskan untuk Lockdown Kedua)

P2G mendesak kebijakan Kemendikbud pada saat pandemi Covid-19 berlandaskan sense of crisis. Alasannya, selama pandemi ini pembelajaran yang dilakukan guru masih belum maksimal dan mengalami berbagai macam kendala. Baik yang menggunakan PJJ daring maupun PJJ luring. P2G berpandangan, evaluasi PJJ harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum evaluasi dan penilaian berbentuk AN yang dirancang saat pandemi. Menurutnya, program ini justru berpotensi besar

menambah beban baru bagi sekolah, guru, siswa dan orang tua. Jadi sebelum menjalankan program AN, Kemendikbud bersama Pemda hendaknya melakukan pembenahan dan evaluasi terhadap kualitas penyelenggaraan PJJ. ‘’Sebab AN akan sukses terlaksana, apabila PJJ bisa dilaksanakan dengan baik dan berkualitas,” kata Satriwan. (Neneng Zubaidah/Abdul Rochim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1304 seconds (0.1#10.140)