Peneliti Fakultas Biologi UGM Kembangkan Citra Labu Gama
loading...
A
A
A
SLEMAN - Peneliti Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Budi S Daryono dan Prof Purnomo berhasil mengembangkan varietas labu susu baru yang di berinama Citra Labu Gama (Citra LaGa).
Citra LaGa yang dikembangkan sejak 2017 serta telah dibudidayakan oleh kelompok tani binaan yang berada di Prambanan, Sleman, Yogyakarta ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan varietas lain. Di antarnya pertumbuhan cepat antara 75-85 hari dan baik untuk kesehatan mata dan tubuh sebab mengandung beta karotin yang tinggi. Selain itu juga potensial dibudidayakan di lahan marginal maupun lahan kritis karst. (Baca juga: UNS Tunda Hybrid Learning di Semester Genap 2021 )
Peneliti labu susu Citra LaGa Prof. Budi S Daryono menjelaskan Citra LaGa ini hasil persilangan antara labu susu dari Belanda dan labu susu dari Jepang atau yang dikenal dengan nama Kabocha. Setelah dilakukan seleksi menghasilkan galur kultivar Citra Labu Gama.
Labu varietas ini memiliki masa panen yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan labu biasa. Masa panen berkisar antara 75-85 hari setelah tanam. Dalam satu pohon labu dapat menghasilkan 2 hingga 6 buah labu dengan berat rata-rata 1-3 Kg/buah. Buah berwarna kuning, kuning kecoklatan, oranye ini dapat bertahan hingga 6-12 bulan.
“Citra LaGa juga memiliki keunikan karena dikembangkan dalam tiga macam bentuk yaitu bentuk gitar, bentuk barbel atau paprika dan bentuk leher angsa atau ular,” kata Budi dalam keterangan tertulisya, Rabu (6/1/2021). (Baca juga: Lahirkan Inovasi, 287 Industri-Perguruan Tinggi Bersinergi )
Menurut Budi untuk labu dengan bentuk gitar umumnya lebih disukai konsumen kelas atas-menengah Bentuk barbel atau paprika lebih digemari kalangan menengah-atas dan untuk bentuk angsa atau ular banyak disukai oleh masyarakat umum (menengah-bawah).
“Kami kembangkan 3 bentuk agar konsumen punya pilihan sebab selama ini bentuk banyak ditentukan oleh para tengkulak,” terang Dekan Fakultas Biologi UGM itu.
Budi menambahkan, Citra LaGa ini tahan terhadap serangan Begomovirus yang banyak menyerang tanaman labu dibandingkan varietas impor. Hasil tersebut diperoleh setelah dilakukan penelitian terhadap empat varietas labu susu yakni varietas dari China, varietas dari Jepang, varietas dari Belanda, dan Citra Laga. Varietas dari China lebih mudah terinfeksi Begomovirus dan diikuti varietas dari Jepang, varietas dari Belanda, dan terakhir varietas Citra LaGa.
“Dengan begitu labu susu Citra LaGa menjadi varietas yang lebih tahan terhadap Begomovirus daripada tiga varietas lainnya,” jelasnya
Budi mengatakan budidaya Citra LaGa sangat potensial dilakukan. Sebab memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk dijadikan sebagai makanan alternatif. Umumnya, labu susu digunakan sebagai bahan baku tepung untuk bubur bayi atau makanan pendamping ASI, kue, roti, dan bubur yang dikonsumsi saat proses penyembuhan dan pemeliharaan kesehatan lansia.
“Citra LaGa dapat ditanam di dataran rendah hingga sedang. Tak hanya itu, varietas ini juga bisa dibudidayakan pada lahan-lahan marginal seperti tegalan dan lahan berkapur,” terangnya.
Namun untuk apakah juga bisa dibudidayakan di lahan bekas pertambangan belum bisa memastikan. Sebab belum pernah mencobanya. Karan itu ke depan juga akan mencoba di lahan bekas pertambangan.
Citra LaGa yang dikembangkan sejak 2017 serta telah dibudidayakan oleh kelompok tani binaan yang berada di Prambanan, Sleman, Yogyakarta ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan varietas lain. Di antarnya pertumbuhan cepat antara 75-85 hari dan baik untuk kesehatan mata dan tubuh sebab mengandung beta karotin yang tinggi. Selain itu juga potensial dibudidayakan di lahan marginal maupun lahan kritis karst. (Baca juga: UNS Tunda Hybrid Learning di Semester Genap 2021 )
Peneliti labu susu Citra LaGa Prof. Budi S Daryono menjelaskan Citra LaGa ini hasil persilangan antara labu susu dari Belanda dan labu susu dari Jepang atau yang dikenal dengan nama Kabocha. Setelah dilakukan seleksi menghasilkan galur kultivar Citra Labu Gama.
Labu varietas ini memiliki masa panen yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan labu biasa. Masa panen berkisar antara 75-85 hari setelah tanam. Dalam satu pohon labu dapat menghasilkan 2 hingga 6 buah labu dengan berat rata-rata 1-3 Kg/buah. Buah berwarna kuning, kuning kecoklatan, oranye ini dapat bertahan hingga 6-12 bulan.
“Citra LaGa juga memiliki keunikan karena dikembangkan dalam tiga macam bentuk yaitu bentuk gitar, bentuk barbel atau paprika dan bentuk leher angsa atau ular,” kata Budi dalam keterangan tertulisya, Rabu (6/1/2021). (Baca juga: Lahirkan Inovasi, 287 Industri-Perguruan Tinggi Bersinergi )
Menurut Budi untuk labu dengan bentuk gitar umumnya lebih disukai konsumen kelas atas-menengah Bentuk barbel atau paprika lebih digemari kalangan menengah-atas dan untuk bentuk angsa atau ular banyak disukai oleh masyarakat umum (menengah-bawah).
“Kami kembangkan 3 bentuk agar konsumen punya pilihan sebab selama ini bentuk banyak ditentukan oleh para tengkulak,” terang Dekan Fakultas Biologi UGM itu.
Budi menambahkan, Citra LaGa ini tahan terhadap serangan Begomovirus yang banyak menyerang tanaman labu dibandingkan varietas impor. Hasil tersebut diperoleh setelah dilakukan penelitian terhadap empat varietas labu susu yakni varietas dari China, varietas dari Jepang, varietas dari Belanda, dan Citra Laga. Varietas dari China lebih mudah terinfeksi Begomovirus dan diikuti varietas dari Jepang, varietas dari Belanda, dan terakhir varietas Citra LaGa.
“Dengan begitu labu susu Citra LaGa menjadi varietas yang lebih tahan terhadap Begomovirus daripada tiga varietas lainnya,” jelasnya
Budi mengatakan budidaya Citra LaGa sangat potensial dilakukan. Sebab memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk dijadikan sebagai makanan alternatif. Umumnya, labu susu digunakan sebagai bahan baku tepung untuk bubur bayi atau makanan pendamping ASI, kue, roti, dan bubur yang dikonsumsi saat proses penyembuhan dan pemeliharaan kesehatan lansia.
“Citra LaGa dapat ditanam di dataran rendah hingga sedang. Tak hanya itu, varietas ini juga bisa dibudidayakan pada lahan-lahan marginal seperti tegalan dan lahan berkapur,” terangnya.
Namun untuk apakah juga bisa dibudidayakan di lahan bekas pertambangan belum bisa memastikan. Sebab belum pernah mencobanya. Karan itu ke depan juga akan mencoba di lahan bekas pertambangan.
(mpw)