Pembelajaran Jarak Jauh Beri Dampak Emosi Negatif pada Siswa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gerakan Sekolah Menyenangkan mengadakan survey kepada siswa mengenai dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ). Survei ini menunjukkan bahwa siswa merasakan emosi negatif selama PJJ yang berlangsung selama pandemi Covid-19 ini.
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhammad Nur Rizal mengatakan, jumlah responden pada survei ini sebanyak 1.263 siswa. Terdiri dari 534 siswa laki-laki dan 729 siswa perempuan. Siswa SD yang disurvey sebanyak 553 siswa, SMP 445 siswa dan SMA/SMK sebanyak 265 siswa.
Rizal menjelaskan dari survey ini, yang paling besar dirasakan siswa selama PJJ itu ialah emosi yang sifatnya negatif. "Emosi negatif itu ada banyak. Ada bosan, sedih, kurang memahami materi, stres, bingung, kurang bisa mengatur waktu, merasa terbebani, merasa kesulitan belajar dan kurang semangat," katanya pada konferensi pers daring, Kamis (12/8/2021).
Rizal menjelaskan, semakin tinggi jenjang pendidikan maka gap atau selisih emosi negatif dan emosi positif yang dirasakan siswa semakin lebar. Menurutnya, hal ini menunjukkan ada proses belajar atau strategi belajar ataupun kurikulum yang tidak tepat diterapkan ke siswa dan juga tidak sesuai dengan perkembangan mental siswa itu sendiri.
Rizal menyampaikan, persoalan pembelajaran di masa pandemi ini jawabannya bukan hanya menyediakan fasilitas internet. Sebab hal yang terjadi di lapangan ialah siswa merasakan tugas yang disampaikan guru tidak bisa meningkatkan kompetensi belajar tetapi justru menjadi beban.
Hal ini mengakibatkan anak merasa tidak senang belajar ataupun merasa tidak ada keinginan belajar dan tidak produktif dalam belajar. Padahal semakin dewasa, kebutuhan kemandirian dan otonomi belajar semakin tinggi.
Dia menilai, jika kesulitan belajar dan beban ini masih menimpa siswa maka dikhawatirkan adanya learning loss terhadap pengalaman belajar yang positif, bermakna dan pengalaman belajar yang bisa meningkatkan kompetensi di masa depan akan tidak didapat oleh siswa saat ini.
Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah pun tidak hanya fokus pada penyediaan internet bagi sekolah saja. Namun masalah kesulitan belajar dan demotivasi ini juga harus menjadi prioritas utama yang diselesaikan pemerintah dalam pelaksanaan PJJ ini.
Selain itu, juga diperlukan dukungan orang tua atau keluarga yang diberikan kepada siswa selama PJJ sehingga siswa pun akan merasakan emosi positif dan termotivasi untuk belajar.
"Prioritas pendidikan memang tidak hanya mengejar materi pengetahuan tapi juga harus mengejar pendidikan karakter. Sehingga kebutuhan atau interaksi baik dengan keluarga atau teman sebaya bisa terfasilitasi," ujarnya.
Selanjutnya adalah diperlukan kurikulum darurat yang mendorong interaksi anak dengan lingkungan sosial. Sekaligus mengatasi persoalan nyata di kehidupan sehari-hari termasuk dirumah.
Menurutnya, hal ini akan mendorong siswa merasakan bahwa kebermaknaanya dalam menyelesaikan persoalan nyata tersebut sehingga siswa akan meningkatkan motivasi dan kemandirian belajar siswa.
Gerakan Sekolah Menyenangkan juga menilai jika kurikulum darurat tidak cukup hanya dengan mengurangi materi kurikulum kompetensi esensial saja. Sebab hal tersebut tidak mengubah orientasi dan suasana kebatinan belajar siswa.
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhammad Nur Rizal mengatakan, jumlah responden pada survei ini sebanyak 1.263 siswa. Terdiri dari 534 siswa laki-laki dan 729 siswa perempuan. Siswa SD yang disurvey sebanyak 553 siswa, SMP 445 siswa dan SMA/SMK sebanyak 265 siswa.
Rizal menjelaskan dari survey ini, yang paling besar dirasakan siswa selama PJJ itu ialah emosi yang sifatnya negatif. "Emosi negatif itu ada banyak. Ada bosan, sedih, kurang memahami materi, stres, bingung, kurang bisa mengatur waktu, merasa terbebani, merasa kesulitan belajar dan kurang semangat," katanya pada konferensi pers daring, Kamis (12/8/2021).
Rizal menjelaskan, semakin tinggi jenjang pendidikan maka gap atau selisih emosi negatif dan emosi positif yang dirasakan siswa semakin lebar. Menurutnya, hal ini menunjukkan ada proses belajar atau strategi belajar ataupun kurikulum yang tidak tepat diterapkan ke siswa dan juga tidak sesuai dengan perkembangan mental siswa itu sendiri.
Rizal menyampaikan, persoalan pembelajaran di masa pandemi ini jawabannya bukan hanya menyediakan fasilitas internet. Sebab hal yang terjadi di lapangan ialah siswa merasakan tugas yang disampaikan guru tidak bisa meningkatkan kompetensi belajar tetapi justru menjadi beban.
Hal ini mengakibatkan anak merasa tidak senang belajar ataupun merasa tidak ada keinginan belajar dan tidak produktif dalam belajar. Padahal semakin dewasa, kebutuhan kemandirian dan otonomi belajar semakin tinggi.
Dia menilai, jika kesulitan belajar dan beban ini masih menimpa siswa maka dikhawatirkan adanya learning loss terhadap pengalaman belajar yang positif, bermakna dan pengalaman belajar yang bisa meningkatkan kompetensi di masa depan akan tidak didapat oleh siswa saat ini.
Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah pun tidak hanya fokus pada penyediaan internet bagi sekolah saja. Namun masalah kesulitan belajar dan demotivasi ini juga harus menjadi prioritas utama yang diselesaikan pemerintah dalam pelaksanaan PJJ ini.
Selain itu, juga diperlukan dukungan orang tua atau keluarga yang diberikan kepada siswa selama PJJ sehingga siswa pun akan merasakan emosi positif dan termotivasi untuk belajar.
"Prioritas pendidikan memang tidak hanya mengejar materi pengetahuan tapi juga harus mengejar pendidikan karakter. Sehingga kebutuhan atau interaksi baik dengan keluarga atau teman sebaya bisa terfasilitasi," ujarnya.
Selanjutnya adalah diperlukan kurikulum darurat yang mendorong interaksi anak dengan lingkungan sosial. Sekaligus mengatasi persoalan nyata di kehidupan sehari-hari termasuk dirumah.
Menurutnya, hal ini akan mendorong siswa merasakan bahwa kebermaknaanya dalam menyelesaikan persoalan nyata tersebut sehingga siswa akan meningkatkan motivasi dan kemandirian belajar siswa.
Gerakan Sekolah Menyenangkan juga menilai jika kurikulum darurat tidak cukup hanya dengan mengurangi materi kurikulum kompetensi esensial saja. Sebab hal tersebut tidak mengubah orientasi dan suasana kebatinan belajar siswa.
(mpw)