Paradigma Pendidikan Perlu Diubah untuk Ciptakan SDM Kompetitif di Masa Depan

Kamis, 13 Januari 2022 - 13:44 WIB
loading...
Paradigma Pendidikan...
Guru mengajar siswanya. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Nur Rizal menyampaikan pentingnya perubahan paradigma pendidikan pada guru agar lebih mengedepankan pengembangan diri siswa secara utuh. Hal ini diperlukan agar generasi muda tidak menjadi generasi yang irrelevan di tengah perubahan dunia kerja yang akibat disrupsi teknologi.

Pada Rapat Kerja Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMK DIY, Nur Rizal mengatakan, generasi yang irrelevan dimaknai sebagai generasi yang tidak memiliki kompetensi dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja di masa mendatang.



Hal ini disebabkan oleh perkembangan pesat kemampuan kecerdasan buatan untuk menggantikan pekerjaan high labor skill.

“Kecerdasan buatan diprediksi mampu meretas otak manusia dalam bekerja dengan kemampuan algoritma komputasinya yang semakin tinggi. Hal ini berpotensi menggantikan segala jenis keterampilan yang dimiliki oleh manusia,” ujarnya melalui siaran pers, Rabu (12/1/2022).

Fenomena ini sejalan dengan data McKenzie Global Institute yang mengemukakan biaya menggunakan kecerdasan buatan turun hingga 65%. Sedangkan biaya penggunaan tenaga manusia justru naik dari 2% hingga 15%. Potret ini menggambarkan penggunaan kecerdasan buatan yang jauh lebih efisien daripada penggunaan tenaga manusia.



Nur Rizal menekankan, apabila tidak ada pergeseran paradigma pendidikan untuk menyediakan SDM yang relevan, hal ini berpotensi pada meningkatnya angka pengangguran di berbagai sector. Bahkan yang membutuhkan high labor skill sebab biayanya dengan kecerdasan buatan yang jauh lebih murah.

Data yang lain juga menunjukkan disrupsi teknologi mengakibatkan 45% hingga 47% tenaga kerja membutuhkan upskilling dan reskilling agar relevan dengan dunia kerja yang baru.

“Padahal, komputasi kecerdasan buatan akan jauh lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan upskilling dan reskilling ini daripada mengubah kemampuan manusia itu sendiri,” ucapnya.

Perubahan yang cepat ini dianalogikan oleh Nur Rizal seperti hilangnya pekerjaan seperti di pabrik. Kemudian customer service dan di teller bank di masa mendatang karena sudah digantikan oleh kecerdasan buatan.

Dalam 10–20 tahun lagi, manusia didorong untuk menguasai programming atau desain visual yang merupakan keterampilan baru dan membutuhkan usaha keras untuk menguasainya.

Namun, meskipun setelah menguasainya, bisa jadi dalam 10 tahun ke depan lagi keterampilan itu sudah tidak dibutuhkan. Sebab kecerdasan buatan yang lebih canggih akan menggantikan peran tersebut.

Hal Inilah, katanya, yang dimaksud sebagai sekolah saat ini mengajarkan sesuatu yang sebetulnya irrelevan dengan kebutuhan dunia kerja yang berganti dengan sangat cepat.

“Fenomena-fenomena ini harus menjadi peringatan bagi seluruh stakeholder pendidikan untuk merevolusi cara mengajar dan cara belajar siswanya untuk menghasilkan SDM yang kompetitif di masa depan agar tidak tergantikan oleh kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan bioteknologi,” ungkapnya.



Nur Rizal menyampaikan, Yuval Noah Harari di bukunya “21 Lesson for the 21st Century”, perlu penekanan baru bagi dunia pendidikan untuk menghadapi permasalahan ini.

Menurutnya, dunia pendidikan sudah seharusnya untuk lebih berorientasi pada pengembangan kesadaran diri. Agar setiap siswa mampu mengelola kondisi emosi sekaligus meningkatkan keterampilan sosialnya.

Hal ini diperlukan agar siswa memiliki keseimbangan mental untuk menghadapi perubahan dunia yang sangat cepat, atau tekanan kebutuhan kerja yang berubah dengan sangat cepat.

Oleh karena itu, di setiap workshop GSM, topik-topik pedagogi seperti Self-Regulated Learning dan Social Emotional Learning menjadi pelatihan yang utama.

Pedagogi inilah yang mampu membangun kemampuan siswa untuk belajar secara mandiri, mengeksplorasi berbagai macam pengetahuan dan perspektif, sekaligus mengolah informasi menjadi nilai tambah, tidak hanya menjadi pengepul informasi.

Selain itu, penekanan untuk membangun penalaran dan metakognisi siswa sehingga mereka bisa bereksplorasi sekaligus mengolah informasi dengan ilmiah menjadi penekanan setiap workshop GSM. Kemampuan ini dipercaya jauh lebih dibutuhkan daripada sekedar menguasai konten pengetahuan.

Untuk itu, guru-guru didorong lebih mengajarkan tentang kemampuan berpikir generalis, yaitu menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain. Sebab, persoalan tidak bisa hanya dikerjakan oleh satu disiplin ilmu. Maka, spesialisasi perlu untuk dipertimbangkan kembali oleh sekolah sebagai fokus utama.

“Relevansi kompetensi dengan kebutuhan dunia kerja sangat diperlukan agar siswa bisa memanfaatkan pengetahuan atau keterampilan untuk menjadi problem solver atas berbagai persoalan yang muncul dengan tiba-tiba dan mungkin belum pernah ada sebelumnya. Kesadaran atas penalaran ini akan membangun kesadaran batin sehingga siswa akan merasa bermakna dalam mengarungi hidup.” ungkap Nur Rizal.

Menanggapi permasalahan ini, sekolah harus bertransformasi lebih adaptif dan fleksibel terhadap hal-hal baru. Nur Rizal mengajak para peserta Raker MKKS ini untuk menjadikan ekosistem sekolahnya seperti tenda yang mudah dilipat dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain ketika terjadi bencana atau tsunami.

Nur Rizal berharap, komunitas GSM ini akan tumbuh dan berkembang secara organik mewadahi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan secara operasional oleh kepala sekolah di dalam bertransformasi.

Sehingga, perubahan paradigma ini bukan karena adanya kebijakan baru dari atas, tetapi karena kesadaran diri yang berasal dari diri kepala sekolah atau guru-guru di Indonesia. Itulah yang disebut dengan makna merdeka belajar yang sesungguhnya.
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4103 seconds (0.1#10.140)