Profesor Unair Masuk 100 Peneliti Hukum Terbaik Dunia, Ini Kisahnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar FH Unair Prof. Peter Mahmud Marzuki tercatat sebagai salah satu World Top 100 Law & Legal Studies Scientists. Apabila menilik data pada AD Scientific Index, publikasinya telah disitasi dalam publikasi lain sebanyak 2.557 kali dengan skor H-index sebesar 25.
Karier akademiknya dimulai dengan menjadi asisten pengajar di FH Unair pada 1974, ketika ia masih menjadi mahasiswa S1. Pada kala itu, keasistenannya di bawah supervisi Pakar Hukum Tata Negara Prof. Koentjoro Poerbopranoto. Prof. Peter menambahkan, posisi ini krusial dalam perjalanan hidupnya. Di waktu yang sama ia berniat menjadi asisten pengajar, ia juga mendapat tawaran menjadi bagian dari suatu perusahaan swasta berbasis energi.
“Disinilah saya mengembangkan kepakaran saya di bidang hukum tata negara, karena bimbingan Prof. Koentjoro. Setelah saya lulus sarjana pada 1977, saya masih terus berbicara mengenai hukum tata negara ketika saya menjadi mahasiswa magister di FH Unair. Tesis saya kala itu membahas terkait pentingnya kabupaten/kota diberikan otonomi daerah, karena kala itu di 1982 masih belum ada. Akhirnya pada 1999, teori saya terealisasikan melalui upaya desentralisasi pasca Orde Baru,” ujarnya melansir laman Unair di unair.ac.id, dikutip Rabu (16/2/2022).
Baca: Singkirkan Keraguan, Kiat Mahasiswa ITB Taklukkan Kampus Impian di Amerika lewat IISMA
Setelah itu, perjalanan akademiknya membawanya ke negeri Paman Sam. Prof. Peter kembali menempuh studi magister di Washington College of Law, Washington DC dan lulus pada tahun 1986. Kali ini, ia berganti fokus untuk mempelajari international trade law (hukum perdagangan internasional). Dari sinilah, Prof. Peter mulai mengembangkan bidang hukum bisnis dalam pendidikan hukum di Indonesia, yang kala itu masih asing dan masih dikenal dengan istilah ‘hukum ekonomi’ atau ‘hukum dagang.’
Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum,” Prof. Peter juga mengatakan, disinilah pula ia mengembangkan teori sui generis dalam penelitian hukum. Teori ini pada dasarnya berdalih bahwa penelitian hukum bukan merupakan bagian dari penelitian sosial, melainkan merupakan suatu penelitian tersendiri.
“Saya kurang setuju dengan istilah hukum ekonomi, karena menurut pemikiran orang Amerika itu erat dengan konotasi intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Sementara hukum bisnis, konotasi istilahnya dititikberatkan pada kontrak antara para pihak,” ujar pria yang lahir pada 1949 itu.
Gelar doktor yang digondol Prof. Peter pada 1993 semakin memantapkan pandangannya terhadap bagaimana negara harus berperan dalam perekonomian. Dalam disertasinya, ia mengkritisi konsep negara kesejahteraan dan mendukung perekonomian negara yang berbasis pasar.
“Saya percaya privatisasi dalam perekonomian harus digencarkan selama tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945. Apabila suatu sektor usaha dikuasai oleh BUMN secara murni, maka pola pikirnya dalam menjalankan usaha akan birokratis. Namun apabila sektor swasta yang memegang, maka pola pikirnya akan entrepreneurial dan berbasis profit. Dari sini, maka perusahaan akan mengeluarkan produk-produk yang lebih variatif dengan kualitas yang lebih bagus, karena apabila tidak maka akan kalah saing dengan perusahaan lain di bidang usaha yang sama,” paparnya.
Baca juga: Tim Arsitektur Unpar Runner Up Kompetisi Desain Archinesia 2022
Pemikiran-pemikiran itu kemudian ia kembangkan dalam legislasi di Indonesia terkait hukum bisnis. Menurut Prof. Peter, beberapa undang-undang yang berhasil gol dengan buah pikirnya seperti UU No 8/1995 tentang Pasar Modal dan beberapa aspek dari UU No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Merefleksikan perjalanan kepakarannya dan penghargaan top scientist yang ia peroleh, Prof. Peter menyematkan rasa optimis terhadap masa depan FH Unair. Ia bangga FH Unair telah menjadi fakultas hukum terbaik di Indonesia secara peringkat. Ia juga berharap bahwa teori-teori yang ia kembangkan dapat diajarkan ke generasi yuris berikutnya sesuai dengan kebutuhan dan kemauan mahasiswa.
“Saya diwejangi oleh Prof. Koentjoro kalau mengajar itu seperti menerima tamu dengan bahan sajian singkong. Kalau misal tamunya suka kolak, ya singkongnya harus dikolak. Kalau tamunya suka singkong goreng, ya singkongnya digoreng. Dosen harus tahu kemauan dan kebutuhan mahasiswa dalam belajar hukum, dan harus diarahkan ke situ. Misal sekarang trennya adalah terkait digitalisasi dalam dunia usaha, ya pengajarannya harus diarahkan ke situ,” tutupnya.
Karier akademiknya dimulai dengan menjadi asisten pengajar di FH Unair pada 1974, ketika ia masih menjadi mahasiswa S1. Pada kala itu, keasistenannya di bawah supervisi Pakar Hukum Tata Negara Prof. Koentjoro Poerbopranoto. Prof. Peter menambahkan, posisi ini krusial dalam perjalanan hidupnya. Di waktu yang sama ia berniat menjadi asisten pengajar, ia juga mendapat tawaran menjadi bagian dari suatu perusahaan swasta berbasis energi.
“Disinilah saya mengembangkan kepakaran saya di bidang hukum tata negara, karena bimbingan Prof. Koentjoro. Setelah saya lulus sarjana pada 1977, saya masih terus berbicara mengenai hukum tata negara ketika saya menjadi mahasiswa magister di FH Unair. Tesis saya kala itu membahas terkait pentingnya kabupaten/kota diberikan otonomi daerah, karena kala itu di 1982 masih belum ada. Akhirnya pada 1999, teori saya terealisasikan melalui upaya desentralisasi pasca Orde Baru,” ujarnya melansir laman Unair di unair.ac.id, dikutip Rabu (16/2/2022).
Baca: Singkirkan Keraguan, Kiat Mahasiswa ITB Taklukkan Kampus Impian di Amerika lewat IISMA
Setelah itu, perjalanan akademiknya membawanya ke negeri Paman Sam. Prof. Peter kembali menempuh studi magister di Washington College of Law, Washington DC dan lulus pada tahun 1986. Kali ini, ia berganti fokus untuk mempelajari international trade law (hukum perdagangan internasional). Dari sinilah, Prof. Peter mulai mengembangkan bidang hukum bisnis dalam pendidikan hukum di Indonesia, yang kala itu masih asing dan masih dikenal dengan istilah ‘hukum ekonomi’ atau ‘hukum dagang.’
Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum,” Prof. Peter juga mengatakan, disinilah pula ia mengembangkan teori sui generis dalam penelitian hukum. Teori ini pada dasarnya berdalih bahwa penelitian hukum bukan merupakan bagian dari penelitian sosial, melainkan merupakan suatu penelitian tersendiri.
“Saya kurang setuju dengan istilah hukum ekonomi, karena menurut pemikiran orang Amerika itu erat dengan konotasi intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Sementara hukum bisnis, konotasi istilahnya dititikberatkan pada kontrak antara para pihak,” ujar pria yang lahir pada 1949 itu.
Gelar doktor yang digondol Prof. Peter pada 1993 semakin memantapkan pandangannya terhadap bagaimana negara harus berperan dalam perekonomian. Dalam disertasinya, ia mengkritisi konsep negara kesejahteraan dan mendukung perekonomian negara yang berbasis pasar.
“Saya percaya privatisasi dalam perekonomian harus digencarkan selama tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945. Apabila suatu sektor usaha dikuasai oleh BUMN secara murni, maka pola pikirnya dalam menjalankan usaha akan birokratis. Namun apabila sektor swasta yang memegang, maka pola pikirnya akan entrepreneurial dan berbasis profit. Dari sini, maka perusahaan akan mengeluarkan produk-produk yang lebih variatif dengan kualitas yang lebih bagus, karena apabila tidak maka akan kalah saing dengan perusahaan lain di bidang usaha yang sama,” paparnya.
Baca juga: Tim Arsitektur Unpar Runner Up Kompetisi Desain Archinesia 2022
Pemikiran-pemikiran itu kemudian ia kembangkan dalam legislasi di Indonesia terkait hukum bisnis. Menurut Prof. Peter, beberapa undang-undang yang berhasil gol dengan buah pikirnya seperti UU No 8/1995 tentang Pasar Modal dan beberapa aspek dari UU No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Merefleksikan perjalanan kepakarannya dan penghargaan top scientist yang ia peroleh, Prof. Peter menyematkan rasa optimis terhadap masa depan FH Unair. Ia bangga FH Unair telah menjadi fakultas hukum terbaik di Indonesia secara peringkat. Ia juga berharap bahwa teori-teori yang ia kembangkan dapat diajarkan ke generasi yuris berikutnya sesuai dengan kebutuhan dan kemauan mahasiswa.
“Saya diwejangi oleh Prof. Koentjoro kalau mengajar itu seperti menerima tamu dengan bahan sajian singkong. Kalau misal tamunya suka kolak, ya singkongnya harus dikolak. Kalau tamunya suka singkong goreng, ya singkongnya digoreng. Dosen harus tahu kemauan dan kebutuhan mahasiswa dalam belajar hukum, dan harus diarahkan ke situ. Misal sekarang trennya adalah terkait digitalisasi dalam dunia usaha, ya pengajarannya harus diarahkan ke situ,” tutupnya.
(nz)