Tikus Sering Jadi Hewan Percobaan dalam Penelitian, Ini Penjelasan Dosen ITB
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mungkin bagi sebagian orang pasti geli atau takut melihat hewan tikus. Namun bagi peneliti, hewan pengerat tersebut malah menjadi hewan kesayangan karena kerap dimanfaatkan menjadi hewan percobaan dalam penelitian .
Dosen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) dari Kelompok Keahlian Biokimia Fifi Fitriyah Masduki, mencoba menjelaskan tentang model dalam penelitian biokimia yang seringkali melibatkan tikus.
“Tikus memiliki banyak fungsi anatomi yang mirip dengan yang dimiliki manusia. Selain mirip secara anatomi, genom tikus dan manusia juga seringkali mirip,” katanya, melansir laman resmi ITB, Sabtu (2/4/2022).
Baca: Mengenal Jurusan Program Double Degree di Universitas Gadjah Mada
Fifi juga menjelaskan, sepanjang sejarah, tikus sudah sangat sering terlibat sebagai animal model untuk penelitian di berbagai universitas di dunia. Bahkan, banyak dari peneliti yang mendapat Nobel Prize melibatkan tikus pada penelitiannya sebagai animal model.
Ia mengungkapkan, kini telah banyak perusahaan yang menyediakan budidaya tikus transgenik. Berbagai informasi terkait tikus transgenik yang dapat dipakai untuk mempelajari riset-riset terkait penyakit yang menyebar di manusia juga telah beredar luas di internet. Salah satu bentuk penelitian terkait penyakit manusia yang memanfaatkan animal model berupa tikus adalah penelitian terkait penyakit malaria.
Baca juga: IPEKA Center Point of Indonesia Hadirkan Pendidikan Berbasis Teknologi dan Literasi
“Spesies parasit yang paling banyak menginfeksi manusia melalui penyakit malaria adalah vivax dan falciparum. Bahaya dari spesies falciparum ini merupakan kecepatannya untuk berkembang biak dan menyebar ke berbagai organ tubuh manusia seperti otak melalui peredaran darah. Dampak terparah dari penyebarannya adalah menyebabkan koma terhadap manusia,” jelasnya.
Sementara itu, spesies vivax menginfeksi sel darah merah yang masih berkembang atau yang bisa disebut retikulosit. Berbagai hipotesis terkait identifikasi parasit yang terlibat dalam penyakit malaria dapat dikonfirmasi melalui penelitian menggunakan mouse model.
Hasil dari penelitian ini, tercipta target obat baru untuk malaria yaitu SUB1 dan DPAP3 yang esensial untuk kehidupan falciparum. Untuk menguji SUB1 dan DPAP3, digunakan mouse model NMRI untuk diteliti. Penelitian ini juga dibantu oleh Genome Database Plasmodium.
Dosen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) dari Kelompok Keahlian Biokimia Fifi Fitriyah Masduki, mencoba menjelaskan tentang model dalam penelitian biokimia yang seringkali melibatkan tikus.
“Tikus memiliki banyak fungsi anatomi yang mirip dengan yang dimiliki manusia. Selain mirip secara anatomi, genom tikus dan manusia juga seringkali mirip,” katanya, melansir laman resmi ITB, Sabtu (2/4/2022).
Baca: Mengenal Jurusan Program Double Degree di Universitas Gadjah Mada
Fifi juga menjelaskan, sepanjang sejarah, tikus sudah sangat sering terlibat sebagai animal model untuk penelitian di berbagai universitas di dunia. Bahkan, banyak dari peneliti yang mendapat Nobel Prize melibatkan tikus pada penelitiannya sebagai animal model.
Ia mengungkapkan, kini telah banyak perusahaan yang menyediakan budidaya tikus transgenik. Berbagai informasi terkait tikus transgenik yang dapat dipakai untuk mempelajari riset-riset terkait penyakit yang menyebar di manusia juga telah beredar luas di internet. Salah satu bentuk penelitian terkait penyakit manusia yang memanfaatkan animal model berupa tikus adalah penelitian terkait penyakit malaria.
Baca juga: IPEKA Center Point of Indonesia Hadirkan Pendidikan Berbasis Teknologi dan Literasi
“Spesies parasit yang paling banyak menginfeksi manusia melalui penyakit malaria adalah vivax dan falciparum. Bahaya dari spesies falciparum ini merupakan kecepatannya untuk berkembang biak dan menyebar ke berbagai organ tubuh manusia seperti otak melalui peredaran darah. Dampak terparah dari penyebarannya adalah menyebabkan koma terhadap manusia,” jelasnya.
Sementara itu, spesies vivax menginfeksi sel darah merah yang masih berkembang atau yang bisa disebut retikulosit. Berbagai hipotesis terkait identifikasi parasit yang terlibat dalam penyakit malaria dapat dikonfirmasi melalui penelitian menggunakan mouse model.
Hasil dari penelitian ini, tercipta target obat baru untuk malaria yaitu SUB1 dan DPAP3 yang esensial untuk kehidupan falciparum. Untuk menguji SUB1 dan DPAP3, digunakan mouse model NMRI untuk diteliti. Penelitian ini juga dibantu oleh Genome Database Plasmodium.
(nz)