Mahasiswa ITB Ciptakan Pendeteksi Stres Melalui Urine, Akurasi hingga 90 Persen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahasiswa ITB yang tergabung dalam kelompok Pekan Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta membuat alat deteksi dini sederhana gejala stres berdasarkan pemeriksaan urine. Hebatnya, alat ini memiliki tingkat akurasi hingga 90 persen.
Temuan alat itu mereka beri nama “Depression Test”. Kelompok ini diketuai oleh Maha Yudha Samawi (Biologi, 2019) dan beranggotakan Alifia Zahratul Ilmi (Teknik Biomedis, 2019) dan Gardin Muhammad Andika Saputra (Teknik Material, 2019).
Dalam siaran persnya, Gardin menjelaskan bahwa sederhananya orang yang mengalami stres pastinya akan mengalami perubahan konsentrasi pada beberapa zat dalam urine mereka. “Jadi kami memanfaatkan fase ini. Karena senyawa-senyawanya mengalami perubahan karakter spesifik kalau sudah dikasih sinyal. Dari sana, kami bisa mendeteksi orang yang mengikuti percobaan ini sudah sampai tahap depresi atau belum,” jelas Gardin.
Inovasi ini bermula dari pengembangan tugas yang dikerjakan Yudha saat menjalani Tahap Persiapan Bersama di SITH ITB. Proses pembuatan alat ini dimulai saat masa pandemi. Karena terdapat berbagai kendala yang menghadang pada masa pandemi, progres dari pembuatan alat ini tergolong lambat dan belum 100 persen selesai.
Gardin juga bercerita bahwa alat yang mereka ciptakan berkaitan dengan lomba, jadi banyak hal-hal tidak terduga yang terjadi. “Tapi dari proses ini kita bisa belajar lebih jauh tentang ke depannya sampai rasanya habis presentasi itu kaya kami habis selesai sidang,” cerita Gardin.
Berbagai kendala juga dihadapi oleh kelompok ini dalam proses perancangan alat yang mereka lakukan. Kendala utama yang mereka hadapi adalah transisi waktu yang mereka alami. Proposal untuk inovasi ini dibuat saat mereka masih TPB, namun alatnya baru bisa dibuat saat tahun kedua perkuliahan yang di mana waktu tersebut banyak diisi oleh kegiatan orientasi atau ospek jurusan.
Selain itu, mereka juga merasa saat itu wawasan yang mereka miliki masih dasar. Ditambah lagi, masa pandemi membuat kegiatan ini tak bisa dilakukan di laboratorium yang akhirnya menghambat proses pengambilan data dan analisis.
Namun, bersyukurnya mereka berhasil berjuang dan berkoordinasi untuk mengatasi permasalahan ini di tengah kesibukan kuliah. Hal penting yang harus dilakukan untuk melanjutkan penelitian ini adalah menyempatkan waktu untuk melakukan diskusi, menguatkan komitmen, mengatur skala prioritas, dan mengetahui sistem kerja di jurusan kuliah masing-masing untuk dapat mengatur waktu.
Selain itu, pembagian tugas yang efisien juga menjadi kunci sukses dari pengembangan alat ini. Pembagian tugas yang diterapkan di kelompok ini berdasarkan dari jurusan kuliah setiap anggotanya. Yudha bertugas untuk membuat planning dan mengatur urusan sumber daya. Gardin bertugas untuk urusan administrasi dan pembuatan laporan. Sementara Alifia dari Teknik Biomedis bertugas untuk membuat desain arduino, desain grafis, dan presentasi.
Hasilnya, alat yang mereka rancang ini memiliki akurasi di angka 90 persen. Hasil alat ini dikalibrasi dengan tes BDI (Beck Depression Inventory) yang saat ini umum digunakan di kedokteran jiwa. Sehingga terdapat 3 level penderita depresi, yakni rendah, sedang, dan berat.
Tentunya, inovasi yang mereka ciptakan ini sangat diharapkan untuk bermanfaat bagi banyak orang di masa depan. “Kami berharap alat ini akan ada di setiap fasilitas kesehatan indonesia. Jadi orang yang memiliki masalah mental jadi lebih mudah untuk mengatasi dan menanggulanginya sehingga orang tersebut tidak perlu melalui berbagai hal rumit yang menghambat kesembuhannya,” tegas Gardin.
Temuan alat itu mereka beri nama “Depression Test”. Kelompok ini diketuai oleh Maha Yudha Samawi (Biologi, 2019) dan beranggotakan Alifia Zahratul Ilmi (Teknik Biomedis, 2019) dan Gardin Muhammad Andika Saputra (Teknik Material, 2019).
Dalam siaran persnya, Gardin menjelaskan bahwa sederhananya orang yang mengalami stres pastinya akan mengalami perubahan konsentrasi pada beberapa zat dalam urine mereka. “Jadi kami memanfaatkan fase ini. Karena senyawa-senyawanya mengalami perubahan karakter spesifik kalau sudah dikasih sinyal. Dari sana, kami bisa mendeteksi orang yang mengikuti percobaan ini sudah sampai tahap depresi atau belum,” jelas Gardin.
Inovasi ini bermula dari pengembangan tugas yang dikerjakan Yudha saat menjalani Tahap Persiapan Bersama di SITH ITB. Proses pembuatan alat ini dimulai saat masa pandemi. Karena terdapat berbagai kendala yang menghadang pada masa pandemi, progres dari pembuatan alat ini tergolong lambat dan belum 100 persen selesai.
Gardin juga bercerita bahwa alat yang mereka ciptakan berkaitan dengan lomba, jadi banyak hal-hal tidak terduga yang terjadi. “Tapi dari proses ini kita bisa belajar lebih jauh tentang ke depannya sampai rasanya habis presentasi itu kaya kami habis selesai sidang,” cerita Gardin.
Berbagai kendala juga dihadapi oleh kelompok ini dalam proses perancangan alat yang mereka lakukan. Kendala utama yang mereka hadapi adalah transisi waktu yang mereka alami. Proposal untuk inovasi ini dibuat saat mereka masih TPB, namun alatnya baru bisa dibuat saat tahun kedua perkuliahan yang di mana waktu tersebut banyak diisi oleh kegiatan orientasi atau ospek jurusan.
Selain itu, mereka juga merasa saat itu wawasan yang mereka miliki masih dasar. Ditambah lagi, masa pandemi membuat kegiatan ini tak bisa dilakukan di laboratorium yang akhirnya menghambat proses pengambilan data dan analisis.
Namun, bersyukurnya mereka berhasil berjuang dan berkoordinasi untuk mengatasi permasalahan ini di tengah kesibukan kuliah. Hal penting yang harus dilakukan untuk melanjutkan penelitian ini adalah menyempatkan waktu untuk melakukan diskusi, menguatkan komitmen, mengatur skala prioritas, dan mengetahui sistem kerja di jurusan kuliah masing-masing untuk dapat mengatur waktu.
Selain itu, pembagian tugas yang efisien juga menjadi kunci sukses dari pengembangan alat ini. Pembagian tugas yang diterapkan di kelompok ini berdasarkan dari jurusan kuliah setiap anggotanya. Yudha bertugas untuk membuat planning dan mengatur urusan sumber daya. Gardin bertugas untuk urusan administrasi dan pembuatan laporan. Sementara Alifia dari Teknik Biomedis bertugas untuk membuat desain arduino, desain grafis, dan presentasi.
Hasilnya, alat yang mereka rancang ini memiliki akurasi di angka 90 persen. Hasil alat ini dikalibrasi dengan tes BDI (Beck Depression Inventory) yang saat ini umum digunakan di kedokteran jiwa. Sehingga terdapat 3 level penderita depresi, yakni rendah, sedang, dan berat.
Tentunya, inovasi yang mereka ciptakan ini sangat diharapkan untuk bermanfaat bagi banyak orang di masa depan. “Kami berharap alat ini akan ada di setiap fasilitas kesehatan indonesia. Jadi orang yang memiliki masalah mental jadi lebih mudah untuk mengatasi dan menanggulanginya sehingga orang tersebut tidak perlu melalui berbagai hal rumit yang menghambat kesembuhannya,” tegas Gardin.
(mpw)