Dosen UMM Jelaskan Strategi Internasionalisasi Bahasa Indonesia di Kancah ASEAN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Awal April lalu, Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri mengusulkan Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi kedua di Association of South East Asian ( ASEAN ). Menanggapi isu tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim juga turut mendukung Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di ASEAN. Bahkan juga mengkampanyekannya di media sosial Kemendikbudristek dengan melakukan aksi bela bahasa.
Hal itu membuat Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang ( UMM ) Faizin, M.Pd. tertarik. Melihat dari perspektif linguistik, ia menuturkan bahwa setiap negara berhak untuk mengajukan dan mengusulkan fungsi bahasa negaranya menjadi bahasa internasional Tidak terkecuali Indonesia maupun Malaysia. Faizin juga mewanti-wanti masyarakat untuk tidak perlu kebakaran jenggot. Namun harus lebih intropeksi diri, usaha apa saja yang sudah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah dalam melakukan Bahasa Indonesia.
“Bahasa Indonesia sebagai peningkatan bahasa internasional sebenarnya telah diatur di Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Untuk mewujudkannya, memang butuh kerja keras, strategi, kerja sama, dan kolaborasi antar kementerian,” tambahnya.
Pria kelahiran Sumenep ini juga menilai bahwa Malaysia pasti memiliki keseriusan dan strategi jitu saat menginginkan sesuatu. Terkiat isu bahasa ini, mereka telah mengadakan lomba antar bahasa yang memperebutkan piala perdana menteri. Ada pun pesertanya bukan hanya dari Malaysia saja, tapi juga seluruh penutur bahasa melayu di seluruh dunia.
Hebatnya lagi, gelaran tersebut disiarkan oleh televise nasional bahkan internasional. Banyak dari alumni yang belajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) yang malah ikut serta dan meramaikan ajang tersebut.
Meski begitu, Faizin merasa bahwa Indonesia juga memiliki potensi untuk bisa menjadi bahasa resmi kedua ASEAN. Ada beberapa strategi yang ia tawarkan dalam mempercepat proses internasionalisasi Bahasa Indonesia. Salah satunya ialah membuat kajian baru yang membahas terkait sosiologi, politik dan linguistik atau disebut juga dengan sociopolitica linguistic. Kajian itu bertujuan untuk membahas secara komprehensif mengenai strategi penyebaran aspek bahasa.
“Jarang sekali ada orang bahasa membicarakan politik. Padahal yang ingin mereka capai ialah bahasa internasional. Banyak pihak yang tentunya memiliki peran strategis seperti hubungan internasional, kementerian pendidikan, balai bahasa dan lainnya,” lanjutnya.
Selain itu, perlu adanya langkah serius dari pemerintah dalam menanggapi isu tersebut. Menurutnya, dari awal Indonesia sudah unggul segalanya. Satu di antaranya ialah sejarah ejaan Indonesia yang cukup kuat. Mulai dari Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi, Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, Ejaan Baru Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK), Ejaan yang Disempurnakan (EYD), hingga Ejaan Bahasa Indonesia.
Faizin menilai bahwa pemerintah Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait isu tersebut. Politic will dan aspek kebahasaan adalah dua di antaranya. Begitupun dengan tata bahasa yang harus senantiasa dievaluasi. Problematika bahasa serta pengayaan kosakata juga perlu dimutakhirkan.
“Dengan begitu, klaim kita untuk melakukan internasionalisasi Bahasa Indonesia bisa lebih mudah ketika semua pekerjaan rumah tersebut sudah dijalankan dengan baik. Maka peran setiap pemangku kepentingan harus jelas. Begitupun dengan peningkatan kecintaan akan bahasa kita,” tegasnya.
Hal itu membuat Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang ( UMM ) Faizin, M.Pd. tertarik. Melihat dari perspektif linguistik, ia menuturkan bahwa setiap negara berhak untuk mengajukan dan mengusulkan fungsi bahasa negaranya menjadi bahasa internasional Tidak terkecuali Indonesia maupun Malaysia. Faizin juga mewanti-wanti masyarakat untuk tidak perlu kebakaran jenggot. Namun harus lebih intropeksi diri, usaha apa saja yang sudah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah dalam melakukan Bahasa Indonesia.
“Bahasa Indonesia sebagai peningkatan bahasa internasional sebenarnya telah diatur di Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Untuk mewujudkannya, memang butuh kerja keras, strategi, kerja sama, dan kolaborasi antar kementerian,” tambahnya.
Pria kelahiran Sumenep ini juga menilai bahwa Malaysia pasti memiliki keseriusan dan strategi jitu saat menginginkan sesuatu. Terkiat isu bahasa ini, mereka telah mengadakan lomba antar bahasa yang memperebutkan piala perdana menteri. Ada pun pesertanya bukan hanya dari Malaysia saja, tapi juga seluruh penutur bahasa melayu di seluruh dunia.
Hebatnya lagi, gelaran tersebut disiarkan oleh televise nasional bahkan internasional. Banyak dari alumni yang belajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) yang malah ikut serta dan meramaikan ajang tersebut.
Meski begitu, Faizin merasa bahwa Indonesia juga memiliki potensi untuk bisa menjadi bahasa resmi kedua ASEAN. Ada beberapa strategi yang ia tawarkan dalam mempercepat proses internasionalisasi Bahasa Indonesia. Salah satunya ialah membuat kajian baru yang membahas terkait sosiologi, politik dan linguistik atau disebut juga dengan sociopolitica linguistic. Kajian itu bertujuan untuk membahas secara komprehensif mengenai strategi penyebaran aspek bahasa.
“Jarang sekali ada orang bahasa membicarakan politik. Padahal yang ingin mereka capai ialah bahasa internasional. Banyak pihak yang tentunya memiliki peran strategis seperti hubungan internasional, kementerian pendidikan, balai bahasa dan lainnya,” lanjutnya.
Selain itu, perlu adanya langkah serius dari pemerintah dalam menanggapi isu tersebut. Menurutnya, dari awal Indonesia sudah unggul segalanya. Satu di antaranya ialah sejarah ejaan Indonesia yang cukup kuat. Mulai dari Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi, Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, Ejaan Baru Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK), Ejaan yang Disempurnakan (EYD), hingga Ejaan Bahasa Indonesia.
Faizin menilai bahwa pemerintah Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait isu tersebut. Politic will dan aspek kebahasaan adalah dua di antaranya. Begitupun dengan tata bahasa yang harus senantiasa dievaluasi. Problematika bahasa serta pengayaan kosakata juga perlu dimutakhirkan.
“Dengan begitu, klaim kita untuk melakukan internasionalisasi Bahasa Indonesia bisa lebih mudah ketika semua pekerjaan rumah tersebut sudah dijalankan dengan baik. Maka peran setiap pemangku kepentingan harus jelas. Begitupun dengan peningkatan kecintaan akan bahasa kita,” tegasnya.
(mpw)