Tim Mahasiswa UI Lolos Tahap Oral Pleading pada Kompetisi di University of Oxford
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tim mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia ( FHUI ) menjadi satu-satunya delegasi dari Indonesia yang masuk ke tahap oral pleading pada ajang The 19th Oxford Intellectual Property Moot Court Competition di University of Oxford.
Tim mahasiswa FHUI yang terdiri dari Almer Theda Alana, Divka Talulla, dan Gracella Maureen berhasil masuk ke dalam kelompok 12 besar. Pada kompetisi ini, masalah yang diperdebatkan berkaitan dengan berbagai rezim kekayaan intelektual.
Oxford Intellectual Property Moot Court Competition merupakan salah satu kompetisi peradilan semu Hak Kekayaan Intelektual paling bergengsi di ajang lomba internasional yang diselenggarakan University of Oxford pada 17-19 Maret 2022.
“Persiapan kami lakukan sejak November 2021. Dari November sampai Desember kami menyiapkan memorial tertulis untuk dikirimkan ke panitia. Pada 31 Januari, alhamdulillah diumumkan bahwa kami lolos babak kualifikasi tertulisnya dan kami secara resmi untuk dapat langsung berdiskusi dan membela argumen kami dalam kompetisi tersebut,” ujar Divka dalam keterangan pers, Rabu (11/5/2022).
Selama kompetisi, Tim FHUI melewati sebanyak empat ronde dengan lawan dari berbagai universitas di dunia, seperti Singapore Management University (Singapore), Indiana University Maurer School of Law (United States), University of Greenwich (United Kingdom), dan University of New South Wales (Australia).
Dari keempat ronde tersebut, tim FHUI memenangkan 3 ronde, sehingga, tim berhasil di posisi 12 di antara puluhan universitas ternama seluruh dunia.
Setiap tim wajib membawa tiga isu, yaitu hak cipta, passing off, dan indikasi geografis. Dalam kompetisi ini akan dinilai cara berargumen, dasar hukum yang digunakan, dan tingkat persuasif masing-masing tim.
“Yang menjadi tantangan adalah ada perbedaan dalam sistem hukum. Seperti yang kita tahu, Inggris adalah negeri dengan hukum Anglo Saxon, jadi mereka lebih mempertimbangkan kasus-kasus lalu yang sudah disetujui oleh hakim, sehingga ada banyak kasus bacaan yang harus kita baca dan remind, sedangkan di Indonesia lebih ke sistem Eropa Kontinental yang hanya melihat pada Undang-Undang. Jadi, tantangan terbesar kami adalah dalam mengadaptasi sistem hukum yang berbeda seperti ini,” kata Gracella.
Tim mahasiswa FHUI yang terdiri dari Almer Theda Alana, Divka Talulla, dan Gracella Maureen berhasil masuk ke dalam kelompok 12 besar. Pada kompetisi ini, masalah yang diperdebatkan berkaitan dengan berbagai rezim kekayaan intelektual.
Oxford Intellectual Property Moot Court Competition merupakan salah satu kompetisi peradilan semu Hak Kekayaan Intelektual paling bergengsi di ajang lomba internasional yang diselenggarakan University of Oxford pada 17-19 Maret 2022.
“Persiapan kami lakukan sejak November 2021. Dari November sampai Desember kami menyiapkan memorial tertulis untuk dikirimkan ke panitia. Pada 31 Januari, alhamdulillah diumumkan bahwa kami lolos babak kualifikasi tertulisnya dan kami secara resmi untuk dapat langsung berdiskusi dan membela argumen kami dalam kompetisi tersebut,” ujar Divka dalam keterangan pers, Rabu (11/5/2022).
Selama kompetisi, Tim FHUI melewati sebanyak empat ronde dengan lawan dari berbagai universitas di dunia, seperti Singapore Management University (Singapore), Indiana University Maurer School of Law (United States), University of Greenwich (United Kingdom), dan University of New South Wales (Australia).
Dari keempat ronde tersebut, tim FHUI memenangkan 3 ronde, sehingga, tim berhasil di posisi 12 di antara puluhan universitas ternama seluruh dunia.
Setiap tim wajib membawa tiga isu, yaitu hak cipta, passing off, dan indikasi geografis. Dalam kompetisi ini akan dinilai cara berargumen, dasar hukum yang digunakan, dan tingkat persuasif masing-masing tim.
“Yang menjadi tantangan adalah ada perbedaan dalam sistem hukum. Seperti yang kita tahu, Inggris adalah negeri dengan hukum Anglo Saxon, jadi mereka lebih mempertimbangkan kasus-kasus lalu yang sudah disetujui oleh hakim, sehingga ada banyak kasus bacaan yang harus kita baca dan remind, sedangkan di Indonesia lebih ke sistem Eropa Kontinental yang hanya melihat pada Undang-Undang. Jadi, tantangan terbesar kami adalah dalam mengadaptasi sistem hukum yang berbeda seperti ini,” kata Gracella.