Priode Kedua, Prof. Fathul Wahid Resmi Jadi Rektor UII 2022-2026
loading...
A
A
A
Indikasinya korporatisasi perguruan tinggi dengan segala turunannya. Sebagai contoh, perguruan tinggi hanya dianggap sebagai penghasil lulusan.
“Lulusan ini dianggap sebagai bagian dari mesin produksi dan bukan manusia yang dimuliakan semua potensi kemanusiaannya. Akibatnya, materi menjadi ukuran dominan,” katanya.
Fathul melanjutkan, di dalam perguruan tinggi yang sarat neoliberalisme, relasinya menjadi terlalu hirarkis dan birokratis. Pemimpin perguruan tinggi seakan menjadi bos besar. Akibatnya, ruang diskusi yang demokratis tidak mendapatkan tempat
Dosen dianggap sebagai buruh korporat dengan segepok daftar indikator yang harus dipenuhi dan bukan sebagai kolega intelektual yang setiap capaiannya merupakan manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai akademisi.
“Yang pertama bisa menjebakkan kepada mental pengguguran kewajiban, sedang yang kedua bisa menghasilkan entakan kuat untuk perubahan,” jelasnya.
Mahasiswa pun tak lebih dari sekumpulkan konsumen yang harus dipuaskan. Hubungan yang terjadi pun menjadi sangat transaksional. Mereka tidak dilihat sebagai pembelajar yang haus ilmu pengetahuan atau aspiran yang perlu pendampingan dalam pengembaraan intelektual.
“Karenanya tidak jarang, beragam tindakan yang berpotensi melanggar etika pun seakan menjadi halal dilakukan selama kinerja dapat dicapai, termasuk dalam terkait pemeringkatan,” paparnya.
“Lulusan ini dianggap sebagai bagian dari mesin produksi dan bukan manusia yang dimuliakan semua potensi kemanusiaannya. Akibatnya, materi menjadi ukuran dominan,” katanya.
Fathul melanjutkan, di dalam perguruan tinggi yang sarat neoliberalisme, relasinya menjadi terlalu hirarkis dan birokratis. Pemimpin perguruan tinggi seakan menjadi bos besar. Akibatnya, ruang diskusi yang demokratis tidak mendapatkan tempat
Dosen dianggap sebagai buruh korporat dengan segepok daftar indikator yang harus dipenuhi dan bukan sebagai kolega intelektual yang setiap capaiannya merupakan manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai akademisi.
“Yang pertama bisa menjebakkan kepada mental pengguguran kewajiban, sedang yang kedua bisa menghasilkan entakan kuat untuk perubahan,” jelasnya.
Mahasiswa pun tak lebih dari sekumpulkan konsumen yang harus dipuaskan. Hubungan yang terjadi pun menjadi sangat transaksional. Mereka tidak dilihat sebagai pembelajar yang haus ilmu pengetahuan atau aspiran yang perlu pendampingan dalam pengembaraan intelektual.
“Karenanya tidak jarang, beragam tindakan yang berpotensi melanggar etika pun seakan menjadi halal dilakukan selama kinerja dapat dicapai, termasuk dalam terkait pemeringkatan,” paparnya.
(mpw)