Rektor Unnes Singgung Peran LPTK Tak Dicantumkan di RUU Sisdiknas

Jum'at, 09 September 2022 - 09:33 WIB
loading...
Rektor Unnes Singgung Peran LPTK Tak Dicantumkan di RUU Sisdiknas
Rektor Unnes Prof Dr Fathur Rokhman menyebut peran dan fungsi LPTK tak tercantum di RUU Sisdiknas. Foto/Tangkap layar laman Unnes.
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menjadi sorotan khusus Universitas Negeri Semarang (Unnes). Hal ini karena tidak mencantumkan peran Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai perguruan tinggi penghasil calon guru profesional dan berkualitas.

“Dalam RUU Sisdiknas yang saat ini, secara eksplisit tidak mencantumkan pasal yang membahas tentang peran dan fungsi LPTK. Ini menjadi perhatian Unnes dan bagian yang harus diperjuangkan bersama sebagai LPTK,” kata Rektor Unnes Prof Dr Fathur Rokhman, dikutip dari laman Unnes, Jumat (9/9/2022).

Baca juga: Menko PMK Ajak Perguruan Tinggi Islam Turut Perkuat Revolusi Mental

Menurutnya, tidak tercantumnya pasal yang membahas tentang peran dan fungsi LPTK akan merugikan pihak pemerintah. Dia menjelaskan, pemerintah akan kehilangan investasi perguruan tinggi dengan program studi pendidikan yang memiliki peran dalam menyiapkan guru masa depan untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia Unggul.

“Kalau ini hilang maka investasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam mendirikan perguruan tinggi dengan Prodi pendidikan atau LPTK ini akan sia-sia untuk mendukung SDM unggul,” jelasnya yang juga menyebut LPTK memiliki peran penting dalam menyiapkan guru unggul dan profesional.

Prof Fathur menjelaskan guru sebagai profesi yang mempunyai peran dan fungsi strategis dalam sistem pendidikan nasional harus memiliki standar kualifikasi dan kompetensi yang terukur. Untuk menghasilkan guru yang profesional atau kompeten dibutuhkan adanya lembaga yang berwenang, yaitu LPTK. Maka dari itu LPTK harus ada di dalam RUU Sisdiknas.

“Hal ini tidak bisa dipungkiri karena LPTK merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan dalam melaksanakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan,” tuturnya.

Prof Fathur mengatakan, pihaknya menyambut positif adanya perubahan regulasi. Karena menurutnya, perubahan pendidikan di Indonesia tidak bisa dielakkan. “Latar belakang adanya perubahan atau regulasi undang-undang ini adalah latar belakang yang positif ya pertama memang bahwa pendidikan memang berubah karena itu juga harus disiapkan regulasi yang kemudian juga ada upaya integrasi dari berbagai undang-undang yang terkait,” kata Prof Fathur.

Di samping itu, Prof Fathur juga mengusulkan kepada pemerintah terkait RUU Sisdiknas untuk dikaji lebih mendalam dan komprehensif. “Saya kira semakin banyak yang memberikan masukan akan menunjukkan bahwa undang-undang ini memang undang-undang yang punya posisi strategis dalam pendidikan,” ujarnya.

Untuk itu Unnes mengusulkan usulan terkait dengan RUU Sisdiknas. Ini bukan sekedar usulan, karena ini sudah didiskusikan dan dikaji berdasarkan data oleh pakar pendidikan, pakar hukum dan pakar terkait lainnya yang ada di Unnes,” tegasnya.

FGD tanggapan atas Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ini menghadirkan narasumber Ketua LP2M Prof Dr R Benny Riyanto, Ketua LP3 Dr Ngabiyanto, Dekan FIP Dr Edy Purwanto dan Guru Besar FIP Prof Dr Mungin Eddy Wibowo.

Pada diskusi ini, para narasumber dan peserta sepakat menyoroti 3 hal dalam RUU Sisdiknas. Pertama, RUU Sisdiknas mereduksi peran Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Pada UU Guru dan Dosen, LPTK mempunyai peran yang jelas yaitu perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru.

Akan tetapi dalam RUU Sisdiknas, LPTK tidak tercantum, bahkan membuka peluang bagi semua perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan profesi guru. Disamping hal tersebut, pereduksian LPTK terlihat dari syarat menjadi guru hanya lulus pendidikan profesi guru, tidak mesti harus sarjana pendidikan.

Baca juga: Mahasiswi FMIPA IPB University Raih Emas di Ajang OSN Hari Kemerdekaan 2022

Profesi guru yang terbuka dari semua lulusan bukan hanya dari sarjana pendidikan, tentu akan berdampak pada kualitas peserta didik, karena seorang guru harus mempunyai kemampuan pedagogi dan kemampuan afektif yang telah dibekalkan pada lulusan dari program studi kependidikan.

Kedua, tidak ada jaminan keberlangsungan tunjangan profesi guru dan dosen baru. Rumusan RUU Sisdiknas yang membatasi jaminan adanya tunjangan profesi guru dan dosen bagi guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi merupakan bentuk lepas tangan pemerintah terhadap kesejahteraan guru.

Ini dapat berakibat pada kualitas guru dan dosen yang berdampak pada kualitas pendidikan yang diterima para pelajar. Hal ini merupakan kemunduran dalam Sistem Pendidikan Nasional yang menjadikan kesejahteraan guru menjadi prioritas. UU Guru dan Dosen saat ini telah menjamin bahwa tunjangan profesi merupakan hak guru dan dosen bahkan tercantum jelas bahwa tunjangan profesi bersumber dari APBN atau APBD.

Ketiga, hilangnya pendidikan kewarganegaraan dalam mata pelajaran wajib atau mata kuliah wajib. RUU Sisdiknas dalam penjelasannya, pendidikan kewarganegaraan dimasukkan dalam pendidikan Pancasila. Akan tetapi penggabungan ini merupakan kemunduran karena materi muatan pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan Pancasila berbeda. Sebagai bahan perbandingan bahwa dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 telah dibedakan antara pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan.
(nnz)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2976 seconds (0.1#10.140)