UI Usulkan Upaya Mitigasi Saat Sekolah Kembali Dibuka
loading...
A
A
A
JAKARTA - Universitas Indonesia (UI) melalui Southeast Asian Ministry of Education Organization–Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO RECFON)/Pusat Kajian Gizi Regional UI meluncurkan policy brief terkait Pembukaan Kembali Aktivitas Sekolah di Indonesia. Diseminasi rekomendasi kebijakan tersebut dilakukan pada webinar yang berjudul "Pembukaan Kembali Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah: Pertimbangan Kesehatan, Pendidikan, dan Psikologi Perkembangan Anak" yang terselenggara atas kerja sama Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP UI) dengan SEAMEO RECFON pada Rabu (1/7/2020).
Di awal tahun 2020, pandemi COVID-19 memaksa banyak negara untuk melakukan pembatasan sosial, baik penutupan kegiatan bisnis dan maupun kegiatan belajar tatap muka di sekolah. Penutupan kegiatan belajar sekolah ini perlu dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk mempercepat pemutusan mata rantai penularan COVID-19.
Sekitar tiga bulan lamanya, anak-anak belajar di rumah dengan variasi kegiatan yang terbatas. Jelang dibukanya tahun ajaran baru, opini publik mulai bergulir. Ada yang setuju, namun tidak sedikit pula yang menyangsikan pembukaan sekolah. Kekhawatiran mengenai tindakan pencegahan yang bisa dilakukan saat anak berada di sekolah membuat sebagian besar orangtua masih ada yang berharap bahwa metode pembelajaran jarak jauh tetap dilakukan.
Wakil Rektor UI bidang Riset dan Inovasi, Prof Abdul Haris menyampaikan pembukaan kembali sekolah merupakan keputusan yang kompleks dan membutuhkan banyak pertimbangan dan keahlian. ( )
"Oleh sebab itu, UI melalui Pusat Kajian Gizi Regional UI berusaha memberikan sumbangsih pemikiran dengan mengadakan diseminasi yang menghadirkan para penyusun policy brief dan penyampai materi yang dapat memberikan kontribusi UI berupa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah, terkait pembukaan sekolah kembali di Indonesia," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima SINDOnews, Kamis (2/7/2020).
Diseminasi policy brief dipaparkan langsung oleh tim penyusun yaitu, dr. Grace Wangge, Ph.D. (SEAMEO RECFON/Pusat Kajian Gizi Regional UI) dan dr. Ahmad Fuady, M.Sc., Ph.D. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI), serta diisi oleh para penanggap yaitu, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd. (Direktur Pembinaan Sekolah Dasar, Kemendikbud RI), Prof. Dr. H. Juntika Nurihsan, M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia), serta Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi. (Fakultas Psikologi UI), serta dimoderatori oleh Direktur DISTP UI, Ahmad Gamal, S.Ars., M.Si., MUP, Ph.D.
Dalam paparannya, tim penyusun menjelaskan bahwa upaya pembatasan jarak fisik pada kelompok usia ini seringkali berfokus pada penutupan sekolah yang secara tidak langsung juga memiliki dampak di luar risiko kesehatan yang harus dimitigasi secara paripurna. Ada kekhawatiran besar pada orangtua siswa mengenai risiko kesehatan anak-anak mereka ketika sekolah dibuka kembali, sedangkan perhatian terhadap upaya intervensi selain penutupan sekolah masih sangat terbatas.
Dalam uraiannya, dr Ahmad Fuady menuturkan, imbas dari penutupan sekolah menyebabkan pelandaian kurva pembelajaran siswa. Pembelajaran jarak jauh berpotensi melebarkan kesenjangan pencapaian antar status sosial dan meningkatkan potensi anak putus sekolah.
Menurut riset, efek menutup sekolah menekan 2-4% sebaran infeksi, dan data menunjukkan bahwa rata-rata kasus anak 1-5 % total kasus COVID-19, dimana di Indonesia ada pada rate 6 % total kasus dengan mayoritas anak yang terinfeksi dengan gejala ringan. "Maksud kami bukan mengecilkan risiko COVID-19 terhadap anak, namun mari bersama-sama memitigasi risiko ketika membuka kembali aktivitas belajar mengajar di sekolah, agar capaian belajar dapat tetap terpenuhi dan anak-anak dapat tetap sehat,” ujarnya.
Lebih lanjut, dr. Grace menguraikanm asalah gizi anak pada pandemi COVID-19 menjadi salah satu isu yang berkembang ketika berbagai fasilitas publik ditutup. Seperti yang kita ketahui, fasilitas Posyandu dan fasilitas yang berbasis promotif dan preventif di sekolah juga ikut ditutup. Pada jangka panjang hal ini dapat berpotensi menurunkan pola konsumsi gizi seimbang yang dapat dibentuk sejak usia sekolah dan menempatkan anak pada risiko gangguan nutrisi jangka panjang.
Di awal tahun 2020, pandemi COVID-19 memaksa banyak negara untuk melakukan pembatasan sosial, baik penutupan kegiatan bisnis dan maupun kegiatan belajar tatap muka di sekolah. Penutupan kegiatan belajar sekolah ini perlu dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk mempercepat pemutusan mata rantai penularan COVID-19.
Sekitar tiga bulan lamanya, anak-anak belajar di rumah dengan variasi kegiatan yang terbatas. Jelang dibukanya tahun ajaran baru, opini publik mulai bergulir. Ada yang setuju, namun tidak sedikit pula yang menyangsikan pembukaan sekolah. Kekhawatiran mengenai tindakan pencegahan yang bisa dilakukan saat anak berada di sekolah membuat sebagian besar orangtua masih ada yang berharap bahwa metode pembelajaran jarak jauh tetap dilakukan.
Wakil Rektor UI bidang Riset dan Inovasi, Prof Abdul Haris menyampaikan pembukaan kembali sekolah merupakan keputusan yang kompleks dan membutuhkan banyak pertimbangan dan keahlian. ( )
"Oleh sebab itu, UI melalui Pusat Kajian Gizi Regional UI berusaha memberikan sumbangsih pemikiran dengan mengadakan diseminasi yang menghadirkan para penyusun policy brief dan penyampai materi yang dapat memberikan kontribusi UI berupa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah, terkait pembukaan sekolah kembali di Indonesia," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima SINDOnews, Kamis (2/7/2020).
Diseminasi policy brief dipaparkan langsung oleh tim penyusun yaitu, dr. Grace Wangge, Ph.D. (SEAMEO RECFON/Pusat Kajian Gizi Regional UI) dan dr. Ahmad Fuady, M.Sc., Ph.D. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI), serta diisi oleh para penanggap yaitu, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd. (Direktur Pembinaan Sekolah Dasar, Kemendikbud RI), Prof. Dr. H. Juntika Nurihsan, M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia), serta Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi. (Fakultas Psikologi UI), serta dimoderatori oleh Direktur DISTP UI, Ahmad Gamal, S.Ars., M.Si., MUP, Ph.D.
Dalam paparannya, tim penyusun menjelaskan bahwa upaya pembatasan jarak fisik pada kelompok usia ini seringkali berfokus pada penutupan sekolah yang secara tidak langsung juga memiliki dampak di luar risiko kesehatan yang harus dimitigasi secara paripurna. Ada kekhawatiran besar pada orangtua siswa mengenai risiko kesehatan anak-anak mereka ketika sekolah dibuka kembali, sedangkan perhatian terhadap upaya intervensi selain penutupan sekolah masih sangat terbatas.
Dalam uraiannya, dr Ahmad Fuady menuturkan, imbas dari penutupan sekolah menyebabkan pelandaian kurva pembelajaran siswa. Pembelajaran jarak jauh berpotensi melebarkan kesenjangan pencapaian antar status sosial dan meningkatkan potensi anak putus sekolah.
Menurut riset, efek menutup sekolah menekan 2-4% sebaran infeksi, dan data menunjukkan bahwa rata-rata kasus anak 1-5 % total kasus COVID-19, dimana di Indonesia ada pada rate 6 % total kasus dengan mayoritas anak yang terinfeksi dengan gejala ringan. "Maksud kami bukan mengecilkan risiko COVID-19 terhadap anak, namun mari bersama-sama memitigasi risiko ketika membuka kembali aktivitas belajar mengajar di sekolah, agar capaian belajar dapat tetap terpenuhi dan anak-anak dapat tetap sehat,” ujarnya.
Lebih lanjut, dr. Grace menguraikanm asalah gizi anak pada pandemi COVID-19 menjadi salah satu isu yang berkembang ketika berbagai fasilitas publik ditutup. Seperti yang kita ketahui, fasilitas Posyandu dan fasilitas yang berbasis promotif dan preventif di sekolah juga ikut ditutup. Pada jangka panjang hal ini dapat berpotensi menurunkan pola konsumsi gizi seimbang yang dapat dibentuk sejak usia sekolah dan menempatkan anak pada risiko gangguan nutrisi jangka panjang.