Cerdik Kejar Gelar Akademik saat Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mencari ilmu tidak ada batasnya karena semakin banyak ilmu hidup akan semakin lapang, pikiran pun jadi lebih terbuka terhadap banyak kemungkinan dan perbedaan.
Menuntut ilmu tidak mengenal waktu dan tempat. Pada era pandemi corona (Covid-19) seperti sekarang ini, walau belajar mengajar harus dipindahkan ke rumah masing-masing, semangat belajar harus terus dipacu.
Lalu bagaimana cara mahasiswa melakukan penyusunan makalah, tugas akhir, tesis dan disertasi di tengah wabah pandemi seperti saat ini?
Tentu akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan pada situasi normal. Proses pengerjaan yang menyita waktu, tenaga, biaya, dan pikiran akan semakin berat lantaran pembatasan fisik karena wabah corona.
Hal inilah yang dirasakan Herfiza Novianti yang akrab dengan sapaan Fiza. Mahasiswi studi komunikasi pengembangan pertanian dan perdesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini sedang mengerjakan tugas akhir tentang kebencanaan dan mengambil lokasi penelitian di daerah aliran sungai Citarum Bandung.
Dalam situasi darurat korona ia mesti melakukan segala aktivitas kuliah dan bimbingan tesisnya secara online. Fiza bersyukur seluruh persiapan tugas akhirnya kini telah memasuki tahap pengambilan data.
Namun situasi corona mengharuskan ia mengubah metode pengambilan data yang awalnya survei primer menjadi studi literatur karena mengikuti imbauan kampus. (Baca: Kisruh PPDB DKI< Mendikbud Ajak Mendagri dan Kepala Dinas Cari Solusi)
"Rencana awalnya setelah dasar teorinya mantap, kemudian selesai dengan analisis spasial. Saya bakal melakukan triangulasi data, yaitu dengan survei primer ke lokasi yang keluar di hasil penelitian. Selain itu juga mau melakukan wawancara ke beberapa stakeholder terkait seperti dinas maupun pemerintah daerah," urainya.
Pengubahan lingkup pengerjaan tugas akhir tersebut di IPB merupakan bentuk respons untuk menjamin keamanan mahasiswa dalam situasi pandemi korona. Dengan demikian persiapan tesis yang Fiza lakukan menjadi agak kacau.
"Dukanya karena jadi agak kacau semua persiapan yang sudah dilakukan untuk pengambilan data. Mau tidak mau survei primer mesti dihilangkan atau diubah caranya biar bisa aman dan tidak mesti keluar rumah," ujarnya.
Hambatan lain dirasakan saat pencarian data untuk analisis. Dia menyebutkan data untuk bahan analisis yang biasanya diperoleh di dinas-dinas terkait sulit untuk diakses.
"Karena nggak cuma banyak yang bentuknya hard copy, data soft copy pun banyak yang lokasi penyimpanannya di kantor dinas. Kita memang harus kerja pintar dan selalu berusaha mengomunikasikan hambatan ke dosen pembimbing biar sama-sama ada jalan keluarnya dan jadinya bisa meminimalkan kerugian," kata Fiza.
Dia mengatakan networking dalam kondisi saat ini menjadi sangat berguna untuk mendapatkan data pendukung skripsinya. Menurutnya, hal terpenting dan memudahkan mahasiswa untuk mengerjakan tugas akhir saat ini adalah transparansi pemerintah dalam data dan keaktifannya dalam mengubah data ke website sehingga bisa diakses publik. (Baca juga: Pembatalan PPDB Dikhawatirkan timbulkan Konflik Antar Orang Tua Siswa)
"Karena sebagai mahasiswa pasti ada waktu di mana kita membutuhkan itu, salah satunya seperti sekarang. Saya kira seharusnya kita sudah ada dalam periode kemudahan mengakses data," ujarnya.
Meskipun demikian ia merasa terbantu karena pihak kampus bisa memahami kondisi yang terjadi saat ini dan mengambil langkah strategis. Ia tak menampik ada beberapa kenyataan pahit yang mesti ia telan dalam penyusunan tesisnya.
"Sebanyak 51% yakin lulus semester ini kalau data-datanya dapat," tambah Fiza.
Berbeda dengan Fiza yang masih menyusun tesis untuk mendapatkan gelar masternya, Darto mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Tarumanegara, telah lulus dari kampusnya. Namun Darto mengaku dirinya adalah mahasiswa gelombang pertama yang lulus dengan sistem sidang akhir online.
"Saya sebenarnya ngerjain tesis sebelum pandemi, tapi pas mau sidang akhir keburu ada korona. Untungnya kampus bikin secara online. Ya alhamdulillah bisa lulus. Ya lulus lewat jalur korona," ujarnya.
Menurut pengalamannya, melakukan sidang secara online rasanya aneh dan banyak masalah teknis. Hal tersebut diakibatkan pengumuman sidang yang mendadak sehingga dia tidak bisa maksimal mempersiapkan diri. Darto menyebut kampusnya memberi uang untuk membeli kuota, tetapi uang tersebut sebenarnya tidak cukup untuk melakukan video call selama 40 menit. (Baca juga: Netizen Harus Hati-hati Beli Produk Murah di Medsos, Ini Alasannya)
Selain masalah teknis, Darto mengaku canggung harus bicara sendiri di depan laptop dan dilihat oleh dosen-dosen. Apalagi dia juga sering mengulang-ulang penjelasannya karena masalah koneksi internet. Namun setelah melewati seluruh proses tersebut, Darto merasa lega. Apagi setelah dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
Berbeda dengan sidang konvensional yang harus bertatap muka, menurut Darto sidang online jauh lebih memudahkannya untuk lulus.
"Asal sudah terkoneksi, sidang secara online jadi lebih gampang daripada sidang sebagaimana biasanya. Contohnya pas lagi seminar proposal itu lebih susah dan grogi karena ketemu dan tatap muka langsung sama penguji. Nah, kalau secara online kayak ngobrol sama laptop jadi lebih rileks aja. Apalagi kan ada batas waktu menjelaskan dan menjawab pertanyaan," ungkapnya. (Lihat videonya: Diduga Gunakan Ilmu kebal, Pencuri jadi Bulan-bulanan Warga)
Meski begitu Darto mengaku sedih karena lulus di masa pandemi. Alasannya dia tidak bisa merayakan kelulusannya bersama dengan teman-temannya. "Sedih karena tidak bisa merasakan euforia kelulusan seperti yang orang lain rasakan, tetapi tetap bahagia karena bisa memenuhi tanggung jawab kepada orang tua," tambahnya. (Aprilia S Andyna)
Menuntut ilmu tidak mengenal waktu dan tempat. Pada era pandemi corona (Covid-19) seperti sekarang ini, walau belajar mengajar harus dipindahkan ke rumah masing-masing, semangat belajar harus terus dipacu.
Lalu bagaimana cara mahasiswa melakukan penyusunan makalah, tugas akhir, tesis dan disertasi di tengah wabah pandemi seperti saat ini?
Tentu akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan pada situasi normal. Proses pengerjaan yang menyita waktu, tenaga, biaya, dan pikiran akan semakin berat lantaran pembatasan fisik karena wabah corona.
Hal inilah yang dirasakan Herfiza Novianti yang akrab dengan sapaan Fiza. Mahasiswi studi komunikasi pengembangan pertanian dan perdesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini sedang mengerjakan tugas akhir tentang kebencanaan dan mengambil lokasi penelitian di daerah aliran sungai Citarum Bandung.
Dalam situasi darurat korona ia mesti melakukan segala aktivitas kuliah dan bimbingan tesisnya secara online. Fiza bersyukur seluruh persiapan tugas akhirnya kini telah memasuki tahap pengambilan data.
Namun situasi corona mengharuskan ia mengubah metode pengambilan data yang awalnya survei primer menjadi studi literatur karena mengikuti imbauan kampus. (Baca: Kisruh PPDB DKI< Mendikbud Ajak Mendagri dan Kepala Dinas Cari Solusi)
"Rencana awalnya setelah dasar teorinya mantap, kemudian selesai dengan analisis spasial. Saya bakal melakukan triangulasi data, yaitu dengan survei primer ke lokasi yang keluar di hasil penelitian. Selain itu juga mau melakukan wawancara ke beberapa stakeholder terkait seperti dinas maupun pemerintah daerah," urainya.
Pengubahan lingkup pengerjaan tugas akhir tersebut di IPB merupakan bentuk respons untuk menjamin keamanan mahasiswa dalam situasi pandemi korona. Dengan demikian persiapan tesis yang Fiza lakukan menjadi agak kacau.
"Dukanya karena jadi agak kacau semua persiapan yang sudah dilakukan untuk pengambilan data. Mau tidak mau survei primer mesti dihilangkan atau diubah caranya biar bisa aman dan tidak mesti keluar rumah," ujarnya.
Hambatan lain dirasakan saat pencarian data untuk analisis. Dia menyebutkan data untuk bahan analisis yang biasanya diperoleh di dinas-dinas terkait sulit untuk diakses.
"Karena nggak cuma banyak yang bentuknya hard copy, data soft copy pun banyak yang lokasi penyimpanannya di kantor dinas. Kita memang harus kerja pintar dan selalu berusaha mengomunikasikan hambatan ke dosen pembimbing biar sama-sama ada jalan keluarnya dan jadinya bisa meminimalkan kerugian," kata Fiza.
Dia mengatakan networking dalam kondisi saat ini menjadi sangat berguna untuk mendapatkan data pendukung skripsinya. Menurutnya, hal terpenting dan memudahkan mahasiswa untuk mengerjakan tugas akhir saat ini adalah transparansi pemerintah dalam data dan keaktifannya dalam mengubah data ke website sehingga bisa diakses publik. (Baca juga: Pembatalan PPDB Dikhawatirkan timbulkan Konflik Antar Orang Tua Siswa)
"Karena sebagai mahasiswa pasti ada waktu di mana kita membutuhkan itu, salah satunya seperti sekarang. Saya kira seharusnya kita sudah ada dalam periode kemudahan mengakses data," ujarnya.
Meskipun demikian ia merasa terbantu karena pihak kampus bisa memahami kondisi yang terjadi saat ini dan mengambil langkah strategis. Ia tak menampik ada beberapa kenyataan pahit yang mesti ia telan dalam penyusunan tesisnya.
"Sebanyak 51% yakin lulus semester ini kalau data-datanya dapat," tambah Fiza.
Berbeda dengan Fiza yang masih menyusun tesis untuk mendapatkan gelar masternya, Darto mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Tarumanegara, telah lulus dari kampusnya. Namun Darto mengaku dirinya adalah mahasiswa gelombang pertama yang lulus dengan sistem sidang akhir online.
"Saya sebenarnya ngerjain tesis sebelum pandemi, tapi pas mau sidang akhir keburu ada korona. Untungnya kampus bikin secara online. Ya alhamdulillah bisa lulus. Ya lulus lewat jalur korona," ujarnya.
Menurut pengalamannya, melakukan sidang secara online rasanya aneh dan banyak masalah teknis. Hal tersebut diakibatkan pengumuman sidang yang mendadak sehingga dia tidak bisa maksimal mempersiapkan diri. Darto menyebut kampusnya memberi uang untuk membeli kuota, tetapi uang tersebut sebenarnya tidak cukup untuk melakukan video call selama 40 menit. (Baca juga: Netizen Harus Hati-hati Beli Produk Murah di Medsos, Ini Alasannya)
Selain masalah teknis, Darto mengaku canggung harus bicara sendiri di depan laptop dan dilihat oleh dosen-dosen. Apalagi dia juga sering mengulang-ulang penjelasannya karena masalah koneksi internet. Namun setelah melewati seluruh proses tersebut, Darto merasa lega. Apagi setelah dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
Berbeda dengan sidang konvensional yang harus bertatap muka, menurut Darto sidang online jauh lebih memudahkannya untuk lulus.
"Asal sudah terkoneksi, sidang secara online jadi lebih gampang daripada sidang sebagaimana biasanya. Contohnya pas lagi seminar proposal itu lebih susah dan grogi karena ketemu dan tatap muka langsung sama penguji. Nah, kalau secara online kayak ngobrol sama laptop jadi lebih rileks aja. Apalagi kan ada batas waktu menjelaskan dan menjawab pertanyaan," ungkapnya. (Lihat videonya: Diduga Gunakan Ilmu kebal, Pencuri jadi Bulan-bulanan Warga)
Meski begitu Darto mengaku sedih karena lulus di masa pandemi. Alasannya dia tidak bisa merayakan kelulusannya bersama dengan teman-temannya. "Sedih karena tidak bisa merasakan euforia kelulusan seperti yang orang lain rasakan, tetapi tetap bahagia karena bisa memenuhi tanggung jawab kepada orang tua," tambahnya. (Aprilia S Andyna)
(ysw)