Rangkaian Hari Santri Ditutup, Pemikiran Islam Dinilai Melestarikan Kebhinnekaan

Minggu, 23 Oktober 2022 - 20:54 WIB
loading...
Rangkaian Hari Santri...
Simposium Khazanah Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren ditutup di Sunlake Hotel, Jakarta, (23/10/2022). Foto/Dok/Kemenag
A A A
JAKARTA - Simposium Khazanah Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren ditutup di Sunlake Hotel, Jakarta, (23/10/2022). Pada acara penutupan, disampaikan resume singkat hasil-hasil diskusi panel yang telah dilakukan selama 3 hari, sejak Jumat (21/10).

Penutupan simposium ini bersamaan dengan berakhirnya seluruh rangkaian acara Hari Santri 2022 , termasuk "Malam Puncak Peringatan Hari Santri 2022" yang digelar di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta dan "Peringatan Hari Santri 2022" yang digelar di Pesantren Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur.



Simposium yang dinamai Mu'tamad (Al-multaqa al-tsanawi lil bahai an afkari al-thullab wa dirasat Pisantrin) ini menghasilkan paper-paper ilmiah tentang berbagai pemikiran baru di bidang keislaman dari para panelis yang umumnya adalah tokoh dari pesantren-pesantren terkemuka di Indonesia.

Paper yang paling mendapat perhatian adalah "Pesantren dan Tantangan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia" yang dibahas oleh tiga tokoh ulama, KH. Masdar Farid Mas’udi (Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia), KH. Asrorun Ni’am, (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia), dan KH. Rumadi Ahmad, (Tenaga Ahli Utama Kantor Sekretariat Presiden).

Menurut KH. Asrorun Ni'am Sholeh, Indonesia adalah negara Pancasila yang menjunjung tinggi kesetaraan derajat semua golongan, dan oleh karena itu hukum yang berlaku adalah hukum negara, bukan berdasarkan hukum Islam atau golongan lain.



Namun, selama ini pesantren telah berkontribusi dalam konsolidasi hukum nasional. Di antaranya telah membangun, menjaga, dan merawat budaya hukum Islam di Indonesia, dalam praktik living law.

Dalam kaitannya dengan hukum positif, pemikiran Islam telah menyumbang khazanah keilmuan melalui literatur, dan aktor-aktornya, yaitu para santri yang saat ini menjadi akademisi, politisi, birokrat, dan lain-lain.

Prinsip keislaman dalam hukum Indonesia bukan secara simbolis, akan tetapi menginternalisasi norma dan perilaku. Misalnya budaya tertib hukum, budaya bersih, budaya sehat, budaya disiplin, dan budaya integritas.

"Indonesia berpenduduk mayoritas Islam dan memiliki budaya yang tinggi nilainya," katanya.

Ini tak lepas dari prinsip yang ditanamkan oleh para pendidik bangsa yang mengajari bangsa ini dengan karakter agama Islam dan budaya ketimuran. Hukum Islam dari dulu sampai sekarang sukses mendampingi masyarakat dan memecahkan banyak problematika kehidupan.

Misalnya dalam perubahan sosial yang cepat, hukum-hukum Islam selalu memberi guidance ke arah yang benar dan tak membiarkan yang besar melakukan monolpoli. Terhadap munculnya masalah-masalah baru yang belum pernah ada presedennya, hukum Islam telah menjalankan fungsi ijtihad baru.

"Contohnya tentang kewajiban zakat bagi perusahaan, perluasan mas’a, perluasan mina, dan sejenisnya," imbuh Asrorun Ni'am.

KH. Rumadi Ahmad, tokoh kiyai muda yang juga duduk sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Sekretarian Presiden, mengatakan, hukum Islam di Indonesia itu efektif dan berlaku dalam masyaralat.

"Masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam melalui lembaga pendidikan, terutama pondok pesantren" katanya.

Di sejumlah wilayah, terutama Jawa dan Minangkabau terdapat “benturan” antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah.

Secara substatif, hukum Islam telah berada dalam lima level penerapan. Yang pertama tentang masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan, telah diadopsi dalam hukum nasional.

Yang kedua, urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat juga telah diresepsi dalam hukum nasional.

Ketiga, praktik-praktik ritual keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslim, ataupun pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol dan perjudian sudah masuk pada Perda-Perda lokal.

Keempat, penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar di Aceh. Kelima, penggunaan prinsip Islam yang monotheistik murni sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan.

"Hal ini bukan hal baru, karena pengangkatan penghulu dan para qadi di kerajaan Islam masa lalu juga telah terjadi," pungkasnya.
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7992 seconds (0.1#10.140)