Kemenag Ajak 9 Rektor Bangun Konsep Bela Negara bagi Mahasiswa dan Dosen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Agama mengajak sembilan pimpinan Perguruan Tinggi untuk membangun konsep Bela Negara bagi mahasiswa dan juga dosen di lingkungan masing-masing. Bela Negara dinilai penting sebagai wujud kecintaan kepada NKRI.
Ajakan ini disampaikan oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi saat mewakili Menag Yaqut Cholil Qoumas pada Launching Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara (GMBBN) yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Agama Islam di Auditorium Makara Art Center, Universitas Indonesia, Jalan Margonda Raya Pondok Cina, Depok.
Hadir, Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro, Rektor Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Surabaya, UNM, Unisma, Unwahas, Universitas Pendidikan Islam, Universitas Islam Nusantara, dan Universitas Garut. Hadir juga, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, dan Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan.
Baca juga: Lulusan Jurusan Sastra Mau Jadi Apa? Berikut Prospek Kerjanya
"Saya mengajak seluruh Rektor yang hadir pada kesempatan kali ini untuk membangun konsep bersama untuk Bela Negara yang dapat dijadikan pegangan seluruh mahasiswa dan dosen di lingkungan masing-masing," tegas Wamenag di Jakarta, dalam keterangan resmi, Selasa (29/11/2022).
Dalam wacana keagamaan dan politik Indonesia, lanjut Wamenag, istilah Bela Negara memiliki akar sejarah cukup kuat. Berdasarkan sumber yang terdapat di Museum Nasional dan Museum NU, bahwa wacana dan Gerakan Bela Negara diawali ketika Fatwa Resolusi Jihad Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari keluar sebagai maklumat bersama dalam membela negara.
Ada dua naskah Resolusi Jihad yang dapat dipelajari bersama. Pertama, naskah Resolusi Jihad fi Sabillah, berisi beberapa pandangan dan pertimbangan yang berkembang pada rapat besar wakil-wakil daerah pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Kedua, naskah “Resoloesi Moe’tamar Nahdlatoel Oelama’ ke-XVI” di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946.
"Dari kedua naskah ini, jelas Wamenag, ada tiga poin penting yang saya sampaikan. Pertama, hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf (akil baligh)," katanya.
Kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, sehingga warga negara yang mati dalam peperangan adalah sahid. Ketiga, mereka yang ikut peperangan umat dan warga negara-bangsa dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah dapat digolongkan sebagai pengkhianat.
"Fatwa jihad yang kemudian dirumuskan secara tertulis dalam “Resolusi Jihad” tersebut mampu menjadi penyemangat Presiden Soekarno dan seluruh rakyat Indonesia untuk membela negara, Tanah Air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia," tegas Wamenag.
Ajakan ini disampaikan oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi saat mewakili Menag Yaqut Cholil Qoumas pada Launching Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara (GMBBN) yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Agama Islam di Auditorium Makara Art Center, Universitas Indonesia, Jalan Margonda Raya Pondok Cina, Depok.
Hadir, Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro, Rektor Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Surabaya, UNM, Unisma, Unwahas, Universitas Pendidikan Islam, Universitas Islam Nusantara, dan Universitas Garut. Hadir juga, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, dan Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan.
Baca juga: Lulusan Jurusan Sastra Mau Jadi Apa? Berikut Prospek Kerjanya
"Saya mengajak seluruh Rektor yang hadir pada kesempatan kali ini untuk membangun konsep bersama untuk Bela Negara yang dapat dijadikan pegangan seluruh mahasiswa dan dosen di lingkungan masing-masing," tegas Wamenag di Jakarta, dalam keterangan resmi, Selasa (29/11/2022).
Dalam wacana keagamaan dan politik Indonesia, lanjut Wamenag, istilah Bela Negara memiliki akar sejarah cukup kuat. Berdasarkan sumber yang terdapat di Museum Nasional dan Museum NU, bahwa wacana dan Gerakan Bela Negara diawali ketika Fatwa Resolusi Jihad Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari keluar sebagai maklumat bersama dalam membela negara.
Ada dua naskah Resolusi Jihad yang dapat dipelajari bersama. Pertama, naskah Resolusi Jihad fi Sabillah, berisi beberapa pandangan dan pertimbangan yang berkembang pada rapat besar wakil-wakil daerah pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Kedua, naskah “Resoloesi Moe’tamar Nahdlatoel Oelama’ ke-XVI” di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946.
"Dari kedua naskah ini, jelas Wamenag, ada tiga poin penting yang saya sampaikan. Pertama, hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf (akil baligh)," katanya.
Kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, sehingga warga negara yang mati dalam peperangan adalah sahid. Ketiga, mereka yang ikut peperangan umat dan warga negara-bangsa dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah dapat digolongkan sebagai pengkhianat.
"Fatwa jihad yang kemudian dirumuskan secara tertulis dalam “Resolusi Jihad” tersebut mampu menjadi penyemangat Presiden Soekarno dan seluruh rakyat Indonesia untuk membela negara, Tanah Air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia," tegas Wamenag.