Survei Alvara Sebut 50% Lebih Orang Tua Masih Takut Anaknya Kembali Sekolah

Minggu, 12 Juli 2020 - 19:42 WIB
loading...
Survei Alvara Sebut...
FOTO/SINDOnews/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Ketakutan para orang tua jika anaknya kembali sekolah di era kenormalan baru ( new normal ) ini ternyata masih cukup tinggi. Hasil survei yang dilakukan Alvara Research Center, menunjukkan bahwa lebih dari 50% atau tepatnya 54,5% tidak setuju jika anak sekolah masuk kembali.

CEO Alvara Hasanuddin Ali menyebutkan berbagai alasan yang membuat pra orang tua masih cukup takut anaknya kembali ke sekolah. Antara lain, takut tertular dan membawa virus, anak rentan terhadap penyakit, susah mengikuti protokol kesehatan seperti memakai masker dan cuci tangan, serta suka jajan sembarangan. (Baca juga: Inilah 5 Negara Tanpa Ujian Nasional)

Sementara mereka yang setuju anaknya kembali masuk sekolah, meski lebih sedikit dibanding yang tidak setuju, namun angkanya ternyata masih cukup tinggi mencapai 45,5%. "Dua dari lima orang setuju jika anak sekolah masuk kembali setelah ‘New Normal’ diberlakukan," ujar Hasanuddin saat merilis hasil survei secara virtual, Minggu (12/7/2020).

Hasan menyebutkan berbagai alasan orang tua yang setuju anaknya kembali masuk sekolah. Antara lain, anak justru tidak belajar ketika berada di rumah, anak bosan di rumah saja, anak susah disuruh belajar, dan anak jadi sering bermain dan kelayapan. Selain itu, anak sudah kangen masuk sekolah, orang tua tidak memiliki teknik mengajar anak yang baik di rumah, menghabiskan kuota internet, orang tua belum memahami substansi pelajaran, dan alasan orang tua yang sudah mulai kembali bekerja di era New Normal.

Hasan juga menyebutkan harapan mayoritas publik jika sekolah masuk kembali saat kondisi “New Normal”. Antara lain, adanya imbauan untuk mengikuti protokol kesehatan dengan menyediakan tempat cuci tangan, masker, vitamin, dan diberlakukan shift masuk sekolah.

Selain itu, pemerintah dan sekolah diminta menyediakan vitamin untuk menjaga imun anak, kantin sekolah diimbau untuk menjual makanan bergizi, dan dilakukan rapid test selama seminggu sekali. Sekolah juga diminta menyediakan makanan bergizi.

Dikatakan Hasan, persoalan pendidikan anak di era pandemi ini menjadi masalah serius baik bagi anak, sekolah, maupun orang tua. "Saya nggak bisa membayangkan misalnya punya anak tiga, terus mereka harus belajar dengan zoom secara bersamaan, betapa repotnya, rumitnya," katanya.

Hasan menyarankan agar pemerintah memberikan panduan kepada sekolah mengenai sistem belajar di rumah. Pemerintah tidak bisa hanya menyerahkan kepada sekolah untuk berkreasi dan membuat pola pendidikan sendiri di era pandemi ini. "Pemerintah harus membuat SOP untuk memberikan panduan bagi sekolah dan juga kepada orangtua. Mereka juga perlu dibimbing cara mendidik anak yang dibutuhkan apa, kompetensinya apa, itu yang diperlukan orang tua," tuturnya.

Di sisi lain, juga harus ada penekanan dari pemerintah agar para guru tidak terlalu banyak memberikan tugas belajar kepada anak dalam sistem Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) sekarang ini. "Sekolah daring kok tugas terus, repot," katanya.

Melihat perjalanan dalam beberapa bulan terakhir, kata Hasan, pemerintah harus punya formula yang jelas mengenai pola pendidikan daring seperti apa.

Di sisi lain, soal kebutuhan kuota juga harus menjadi perhatian penting karena tidak setiap orang punya kemampuan membeli kuota internet. "Kelompok bawah untuk makan saja belum punya duit maka bantuan tunai dan sembako sangat penting. Dalam kaitannya pendidikan, perlu ada bantuan kuota internet sehingga anak bisa mengikuti pembelajaran dengan internet," urainya.

Hasan mengatakan bahwa sejak terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia awal Maret 2020 lalu, Alvara rutin melakukan riset untuk melihat pandangan masyarakat terkait Covid-19 dan dampaknya yang dirasakan secara riil oleh masyarakat.

Survei ini dilakukan pada 22 Juni-1 Juli 2020 dengan melibatkan 1.225 responden. Metode yang digunakan adalah Online Survey dan Mobile Assisted Phone Interview dengan wilayah survei seluruh Indonesia. Namun, ada beberapa provinsi di wilayah Indonesia timur seperti Papua, Papua Barat, dan Maluku yang karena terkendala jaringan internet dan coverage sehingga tidak masuk survei. Margin of error berkisar 2,86%.
(nbs)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2355 seconds (0.1#10.140)