Ijazah Palsu, Pemerintah Harus Benahi Struktural-Kultural Pendidikan
A
A
A
JAKARTA - DPR meminta pemerintah melakukan pembenahan secara struktural dan kultural dalam pendidikan. Permintaan ini terkait terbongkarnya penggunaan ijazah palsu perguruan tinggi.
Wakil Ketua Komisi X DPR Sohibul Iman mengatakan, dalam menyelesaikan masalah ini harus ada pendekatan struktural dan kedua. Pembenahan secara struktural yakni dengan menegakan aturan yakni membenahi UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi.
"Nah ini tolong ditegakkan oleh pemerintah dengan seketat-ketatnya dan setegas-tegasnya tanpa pandang bulu, dengan itu diharapkan ada efek kapok," kata Sohibul Iman dalam diskusi yang bertajuk "Ijazah Palsu Mencederai Dunia Akademik" di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 28 Mei kemarin.
Kemudian, lanjut Iman, untuk perbaikan jangka panjang yakni dengan pendekatan secara kultural. Faktanya, masyarakat memiliki kultur negatif yakni menganggap gelar ijazah sebagai sesuatu yang berstatus sosial. Padahal itu adalah sebuah label administratif atas sebuah pencapaian.
"Kedua, budaya menerabas atau instan sehingga muncul upaya-upaya membeli ijazah," jelas politikus PKS itu. Oleh karena itu, menurutnya, dua kultur ini harus diubah. Dengan pendekatan struktural yang tegas, maka perbaikan kulturalnya pun bisa berjalan dalam mengubah persepsi publik.
Sementara itu, Akademisi dari Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mar'iyah berpendapat, gelar akademik hanyalah label, meski gelar itu memang penting tapi pada dasarnya hal itu tidak terlalu penting, yang penting yakni kemampuan personanya. "Dalam upaya mencerdaskan bangsa tidak boleh seperti itu. Tapi praktiknya ijazah palsu dan gelar palsu luar biasa," katanya dalam kesempatan sama.
Hal senada diungkapkan oleh dosen dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar. Menurut dia, ijazah palsu ini terkait dengan budaya bahwa label itu penting sekali karena berbagai motif. Sehingga yang harus dilakukan adalah perubahan di sisi budaya yakni budaya menerabas.
"Itulah yang kita saksikan, kalau mau jadi doktor itu sulit, bagaimana caranya pejabat yang sibuk bisa lulus S3? Jadi, betapa pentingnya kita memperoleh sesuatu dengan kerja keras dan usaha," kata Musni.
Wakil Ketua Komisi X DPR Sohibul Iman mengatakan, dalam menyelesaikan masalah ini harus ada pendekatan struktural dan kedua. Pembenahan secara struktural yakni dengan menegakan aturan yakni membenahi UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi.
"Nah ini tolong ditegakkan oleh pemerintah dengan seketat-ketatnya dan setegas-tegasnya tanpa pandang bulu, dengan itu diharapkan ada efek kapok," kata Sohibul Iman dalam diskusi yang bertajuk "Ijazah Palsu Mencederai Dunia Akademik" di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 28 Mei kemarin.
Kemudian, lanjut Iman, untuk perbaikan jangka panjang yakni dengan pendekatan secara kultural. Faktanya, masyarakat memiliki kultur negatif yakni menganggap gelar ijazah sebagai sesuatu yang berstatus sosial. Padahal itu adalah sebuah label administratif atas sebuah pencapaian.
"Kedua, budaya menerabas atau instan sehingga muncul upaya-upaya membeli ijazah," jelas politikus PKS itu. Oleh karena itu, menurutnya, dua kultur ini harus diubah. Dengan pendekatan struktural yang tegas, maka perbaikan kulturalnya pun bisa berjalan dalam mengubah persepsi publik.
Sementara itu, Akademisi dari Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mar'iyah berpendapat, gelar akademik hanyalah label, meski gelar itu memang penting tapi pada dasarnya hal itu tidak terlalu penting, yang penting yakni kemampuan personanya. "Dalam upaya mencerdaskan bangsa tidak boleh seperti itu. Tapi praktiknya ijazah palsu dan gelar palsu luar biasa," katanya dalam kesempatan sama.
Hal senada diungkapkan oleh dosen dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar. Menurut dia, ijazah palsu ini terkait dengan budaya bahwa label itu penting sekali karena berbagai motif. Sehingga yang harus dilakukan adalah perubahan di sisi budaya yakni budaya menerabas.
"Itulah yang kita saksikan, kalau mau jadi doktor itu sulit, bagaimana caranya pejabat yang sibuk bisa lulus S3? Jadi, betapa pentingnya kita memperoleh sesuatu dengan kerja keras dan usaha," kata Musni.
(whb)