Demokrat Nilai Terlalu Jauh Presiden Dilibatkan Pemilihan Rektor
A
A
A
JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Didi Irawadi mengaku pihaknya menyayangkan statmen Mendagri Tjahjo Kumolo yang menyebut ke depan pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) melalui pertimbangan presiden. Bahkan, rektor bisa dilantik di Istana.
Didi menilai, langkah pemerintah itu sudah terlalu jauh. Ia berharap, iklim demokrasi yang berkembang di dunia kampus tetap berjalan sehat, tanpa mengintervensi independensi mereka.
"Apalagi selama ini sudah berjalan dengan baik, sehingga kerap kampus berperan menjadi lembaga yang kritis yang ikut membantu publik dalam mengontrol dan menkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro pada rakyat," tutur Didi lewat rilis yang diterima SINDOnews, Minggu (4/6/2017).
Terkait alasan pemerintah yang berdalih pemilihan rektor dipilih presiden karena diduga adanya calon rektor yang menjadi simpatisan ISIS, Didi menilai hal itu bukan alasan yang tepat. Menurutnya, rektor yang bersangkutan tinggal diberikan sanksi tegas melalui perangkat hukum yang tersedia.
Didi menuturkan, sejauh ini pemilihan rektor sudah cukup baik dengan mekanisme pemungutan suara. Di mana pemerintah diwakili oleh Menristek Dikti dengan asumsi memiliki hak suara sebesar 35%, dan senat sebesar 65% dengan asumsi anggota senat memiliki hak suara yang sama.
Menurutnya, rektor terpilih akan ditentukan melalui suara terbanyak. "Selanjutnya Menristek Dikti menetapkan dan melantiknya sebagai rektor. Sebelumnya pun sudah melalui proses penyaringan yang ketat oleh panitia seleksi yang dibentuk Menristek Dikti," ucapnya.
Maka itu, Didi berharap proses demokrasi yang berlangsung di kalangan Kampus tidak perlu diganggu dan diintervensi. Ia khawatir jika hal ini dilanjutkan, maka wajar publik curiga bahwa pemerintah terkesan takut dikritisi sampai presiden harus dilibatkan dalam pemilihan rektor.
Justru publik akan bertanya, apakah kampus-kampus yang kritis hendak dibuat jinak supaya tidak berani melakukan protes-protes lagi kepada pemerintah. "Masih banyak urusan-urusan lain dalam negara saat ini yang lebih perlu diperhatikan, contoh harga kebutuhan pokok yang terus mencekik, tarif listrik yang kian mahal, padahal jelang Idul Fitri dan juga masalah-masalah krusial lainnya. Negara hendaknya peka sehubungan hal-hal tersebut di atas. Itu lebih urgent dan prioritas hemat saya," pungkasnya.
Didi menilai, langkah pemerintah itu sudah terlalu jauh. Ia berharap, iklim demokrasi yang berkembang di dunia kampus tetap berjalan sehat, tanpa mengintervensi independensi mereka.
"Apalagi selama ini sudah berjalan dengan baik, sehingga kerap kampus berperan menjadi lembaga yang kritis yang ikut membantu publik dalam mengontrol dan menkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro pada rakyat," tutur Didi lewat rilis yang diterima SINDOnews, Minggu (4/6/2017).
Terkait alasan pemerintah yang berdalih pemilihan rektor dipilih presiden karena diduga adanya calon rektor yang menjadi simpatisan ISIS, Didi menilai hal itu bukan alasan yang tepat. Menurutnya, rektor yang bersangkutan tinggal diberikan sanksi tegas melalui perangkat hukum yang tersedia.
Didi menuturkan, sejauh ini pemilihan rektor sudah cukup baik dengan mekanisme pemungutan suara. Di mana pemerintah diwakili oleh Menristek Dikti dengan asumsi memiliki hak suara sebesar 35%, dan senat sebesar 65% dengan asumsi anggota senat memiliki hak suara yang sama.
Menurutnya, rektor terpilih akan ditentukan melalui suara terbanyak. "Selanjutnya Menristek Dikti menetapkan dan melantiknya sebagai rektor. Sebelumnya pun sudah melalui proses penyaringan yang ketat oleh panitia seleksi yang dibentuk Menristek Dikti," ucapnya.
Maka itu, Didi berharap proses demokrasi yang berlangsung di kalangan Kampus tidak perlu diganggu dan diintervensi. Ia khawatir jika hal ini dilanjutkan, maka wajar publik curiga bahwa pemerintah terkesan takut dikritisi sampai presiden harus dilibatkan dalam pemilihan rektor.
Justru publik akan bertanya, apakah kampus-kampus yang kritis hendak dibuat jinak supaya tidak berani melakukan protes-protes lagi kepada pemerintah. "Masih banyak urusan-urusan lain dalam negara saat ini yang lebih perlu diperhatikan, contoh harga kebutuhan pokok yang terus mencekik, tarif listrik yang kian mahal, padahal jelang Idul Fitri dan juga masalah-masalah krusial lainnya. Negara hendaknya peka sehubungan hal-hal tersebut di atas. Itu lebih urgent dan prioritas hemat saya," pungkasnya.
(kri)