Profesor Indonesia Minim Publikasi Internasional
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah mendesak profesor harus lebih produktif membuat karya tulis yang dipublikasikan secara internasional. Hingga Februari 2018 dari total 5.463 profesor, hanya 1.551 publikasi yang memenuhi persyaratan. Hasil evaluasi yang sudah dilakukan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) diketahui bahwa dari 4.299 profesor yang mendaftarkan publikasi internasionalnya ke Science and Technology Index (Sinta), hanya 1.551 publikasi yang tulisannya memenuhi persyaratan.
"Jadi (masih banyak publikasi profesor yang belum terevaluasi) karena mereka hanya mendaftar. Nah, kita harap semua profesor mendaftarkan publikasinya ke Sinta karena untuk mendeteksi karya ilmiah itu melalui Sinta," ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Iptek Dikti (SDID) Kemenristek-Dikti Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Kamis (22/2/2018).
Kebanyakan para profesor yang belum membuat publikasi internasional terkendala masalah waktu. Mereka selain mengajar sebagai dosen, juga harus membagi waktu untuk konsultasi dan berbagai undangan acara sehingga waktu menulis terbatas. Ali Ghufron mengutip pendapat Chief Editor Jurnal Lancet, Richard Horton yang menyebutkan bahwa kultur budaya menulis orang Indonesia sangat kurang karena kita lebih sering berbicara. Dia pun memandang sejak sekolah dasar, guru harus mewajibkan siswanya menulis agar budaya menulis meningkat daripada update status di media sosial.
Selain itu, sulitnya profesor menjadi academic leader karena kesulitan dana. Sementara alasan ketiga, mengapa profesor tidak membuat publikasi internasional karena tidak ada sanksi apa-apa bagi mereka yang menurun produktivitasnya.
Meski demikian, Ali menjelaskan bahwa sudah disiapkan sanksi untuk diberlakukan pada 2019 mendatang. Sanksi itu disematkan pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristek-Dikti) Nomor 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Ancamannya, tunjangan profesor akan dicabut jika mereka tidak produktif. "Pada November 2019, jika profesor masih tidak produktif maka tunjangan bisa dicabut," tegasnya.
Oleh karena itu, semua profesor diharapkan bisa memanfaatkan waktu 1,5 tahun ini untuk membuat karya tulis ilmiah yang dipublikasikan secara internasional. Sesuai dengan Permenristek-Dikti No/2017, selain menghasilkan jurnal internasional, mereka bisa membuat paten, karya seni monumental, atau satu buku. Pemerintah sangat yakin karya ilmiah itu bisa dihasilkan di sisa waktu menuju 2019 ini, karena sudah banyak profesor yang sudah setengah jalan memproses karya ilmiahnya.
Meski hasil evaluasi profesor tidak menggembirakan, untuk pertama kalinya setelah 20 tahun terakhir, publikasi internasional Indonesia berhasil mengalahkan Thailand. Per November, publikasi internasional Indonesia di angka 13.729, sementara Thailand 12.184. Padahal pada 2014, publikasi internasional Indonesia hanya 4.200. "Kita sudah on the right track. Buktinya dari segi kuantitas kita bisa mengalahkan Thailand," jelasnya.
Menurut Ali, sebetulnya jika mau membuat publikasi, profesor tidak perlu menulis sendiri, dan tidak harus menjadi penulis pertama. Profesor bisa berkolaborasi dengan akademisi lain untuk membuat publikasi sehingga bisa dicantumkan namanya. Selain itu, dengan adanya Permenristek-Dikti Nomor 20 itu, semakin banyak perguruan tinggi (PT) yang memberi insentif bagi dosennya yang membuat publikasi. Sejumlah PT memberi insentif dari rentang Rp5 juta ke Rp50 juta.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin menyatakan, jika masih banyak profesor yang belum lolos kriteria maka itu tanda bahwa profesor yang merupakan status tertinggi dari seorang akademisi mesti bekerja lebih keras lagi. "Profesor itu kepangkatan akademik tertinggi. Penyandangnya harus memenuhi syarat penting, yaitu meriset, menulis, dan menerbitkannya di jurnal internasional. Di sisi lain, ada kriteria dan seleksi agar memenuhi standar mutu yang tinggi," katanya.
Totok mengungkapkan ada problem klasik yang menyebabkan profesor itu kurang membuat publikasi, yakni sibuk dengan proyek-proyek konsultan baik sibuk dengan proyek di pemerintahan maupun swasta yang sangat menyita banyak waktu. "Idealnya, proyek yang digarap itu bisa digabung dengan konsultasi dan riset," katanya.
Dinilai Blunder
Rencana pemotongan tunjangan profesor yang tak produktif menghasilkan karya ilmiah secara internasional menunai kritik. Mantan Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) periode 2012-2016 Profesor Muh Mukhtasar Syamsuddin mengatakan, upaya Kemenristek-Dikti untuk meningkatkan jumlah publikasi internasional bagi guru besar atau profesor di Indonesia melalui dana hibah publikasi patut diapresiasi. Namun, penghentian tunjangan kehormatan bagi profesor perlu dikaji ulang. Kebijakan itu dikhawatirkan dapat dipandang sebagai ancaman dan blunder yang akan meredupkan semangat para dosen untuk terpacu menjadi profesor atau guru besar.
"Padahal, semestinya (pemerintah) bisa meningkatkan jumlah profesor/guru besar yang sampai saat ini masih terbilang kurang di berbagai perguruan tinggi di Indonesia," ujarnya.
Menurut Mukhtasar, menjadi guru besar atau profesor merupakan pencapaian tertinggi di bidang akademik yang tidak mudah diraih oleh seorang dosen. Selain menjalankan tugas pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat, dosen juga harus melakukan penelitian yang selanjutnya memublikasikannya. Oleh karena itu, tunjangan guru besar mestinya dipahami sebagai sebentuk apresiasi setelah seorang dosen berusaha sekuat tenaga untuk berkarya dalam Tridarma Perguruan Tinggi.
"Seharusnya upaya memacu produktivitas dosen guru besar dilakukan melalui pemberian insentif, bukan sebaliknya dengan memberikan peringatan untuk menghentikan tunjangan," tandasnya.
"Jadi (masih banyak publikasi profesor yang belum terevaluasi) karena mereka hanya mendaftar. Nah, kita harap semua profesor mendaftarkan publikasinya ke Sinta karena untuk mendeteksi karya ilmiah itu melalui Sinta," ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Iptek Dikti (SDID) Kemenristek-Dikti Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Kamis (22/2/2018).
Kebanyakan para profesor yang belum membuat publikasi internasional terkendala masalah waktu. Mereka selain mengajar sebagai dosen, juga harus membagi waktu untuk konsultasi dan berbagai undangan acara sehingga waktu menulis terbatas. Ali Ghufron mengutip pendapat Chief Editor Jurnal Lancet, Richard Horton yang menyebutkan bahwa kultur budaya menulis orang Indonesia sangat kurang karena kita lebih sering berbicara. Dia pun memandang sejak sekolah dasar, guru harus mewajibkan siswanya menulis agar budaya menulis meningkat daripada update status di media sosial.
Selain itu, sulitnya profesor menjadi academic leader karena kesulitan dana. Sementara alasan ketiga, mengapa profesor tidak membuat publikasi internasional karena tidak ada sanksi apa-apa bagi mereka yang menurun produktivitasnya.
Meski demikian, Ali menjelaskan bahwa sudah disiapkan sanksi untuk diberlakukan pada 2019 mendatang. Sanksi itu disematkan pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristek-Dikti) Nomor 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Ancamannya, tunjangan profesor akan dicabut jika mereka tidak produktif. "Pada November 2019, jika profesor masih tidak produktif maka tunjangan bisa dicabut," tegasnya.
Oleh karena itu, semua profesor diharapkan bisa memanfaatkan waktu 1,5 tahun ini untuk membuat karya tulis ilmiah yang dipublikasikan secara internasional. Sesuai dengan Permenristek-Dikti No/2017, selain menghasilkan jurnal internasional, mereka bisa membuat paten, karya seni monumental, atau satu buku. Pemerintah sangat yakin karya ilmiah itu bisa dihasilkan di sisa waktu menuju 2019 ini, karena sudah banyak profesor yang sudah setengah jalan memproses karya ilmiahnya.
Meski hasil evaluasi profesor tidak menggembirakan, untuk pertama kalinya setelah 20 tahun terakhir, publikasi internasional Indonesia berhasil mengalahkan Thailand. Per November, publikasi internasional Indonesia di angka 13.729, sementara Thailand 12.184. Padahal pada 2014, publikasi internasional Indonesia hanya 4.200. "Kita sudah on the right track. Buktinya dari segi kuantitas kita bisa mengalahkan Thailand," jelasnya.
Menurut Ali, sebetulnya jika mau membuat publikasi, profesor tidak perlu menulis sendiri, dan tidak harus menjadi penulis pertama. Profesor bisa berkolaborasi dengan akademisi lain untuk membuat publikasi sehingga bisa dicantumkan namanya. Selain itu, dengan adanya Permenristek-Dikti Nomor 20 itu, semakin banyak perguruan tinggi (PT) yang memberi insentif bagi dosennya yang membuat publikasi. Sejumlah PT memberi insentif dari rentang Rp5 juta ke Rp50 juta.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin menyatakan, jika masih banyak profesor yang belum lolos kriteria maka itu tanda bahwa profesor yang merupakan status tertinggi dari seorang akademisi mesti bekerja lebih keras lagi. "Profesor itu kepangkatan akademik tertinggi. Penyandangnya harus memenuhi syarat penting, yaitu meriset, menulis, dan menerbitkannya di jurnal internasional. Di sisi lain, ada kriteria dan seleksi agar memenuhi standar mutu yang tinggi," katanya.
Totok mengungkapkan ada problem klasik yang menyebabkan profesor itu kurang membuat publikasi, yakni sibuk dengan proyek-proyek konsultan baik sibuk dengan proyek di pemerintahan maupun swasta yang sangat menyita banyak waktu. "Idealnya, proyek yang digarap itu bisa digabung dengan konsultasi dan riset," katanya.
Dinilai Blunder
Rencana pemotongan tunjangan profesor yang tak produktif menghasilkan karya ilmiah secara internasional menunai kritik. Mantan Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) periode 2012-2016 Profesor Muh Mukhtasar Syamsuddin mengatakan, upaya Kemenristek-Dikti untuk meningkatkan jumlah publikasi internasional bagi guru besar atau profesor di Indonesia melalui dana hibah publikasi patut diapresiasi. Namun, penghentian tunjangan kehormatan bagi profesor perlu dikaji ulang. Kebijakan itu dikhawatirkan dapat dipandang sebagai ancaman dan blunder yang akan meredupkan semangat para dosen untuk terpacu menjadi profesor atau guru besar.
"Padahal, semestinya (pemerintah) bisa meningkatkan jumlah profesor/guru besar yang sampai saat ini masih terbilang kurang di berbagai perguruan tinggi di Indonesia," ujarnya.
Menurut Mukhtasar, menjadi guru besar atau profesor merupakan pencapaian tertinggi di bidang akademik yang tidak mudah diraih oleh seorang dosen. Selain menjalankan tugas pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat, dosen juga harus melakukan penelitian yang selanjutnya memublikasikannya. Oleh karena itu, tunjangan guru besar mestinya dipahami sebagai sebentuk apresiasi setelah seorang dosen berusaha sekuat tenaga untuk berkarya dalam Tridarma Perguruan Tinggi.
"Seharusnya upaya memacu produktivitas dosen guru besar dilakukan melalui pemberian insentif, bukan sebaliknya dengan memberikan peringatan untuk menghentikan tunjangan," tandasnya.
(amm)