Zonasi Sekolah Permudah Distribusi Guru
A
A
A
JAKARTA - Penerapan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi sekolah akan lebih mempermudah pelaksanaan kebijakan pendistribusian guru pegawai negeri sipil (PNS).
Pemerintah ingin guru bisa mengajar tidak hanya di sekolah favorit namun menyebar agar kualitas pendidikan pun semakin merata. Karena itu arah kebijakan sistem zonasi sekolah memang akan berdampak pada pendidikan. Salah satunya adalah distribusi guru, di mana hingga saat ini masih terjadi ketidakmerataan guru.
Karena itu guru akan dirotasi dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan zonasi masing-masing. “Kita akan lakukan tour of duty guru. Sebab masih banyak guru yang ngumpul di beberapa sekolah saja,’’ kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy saat diskusi Forum Merdeka Barat bertajuk Zonasi Sekolah untuk Pemerataan di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Jakarta, kemarin.
Muhadjir optimistis guru akan bisa di distribusikan karena sudah ada UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengatur bahwa seluruh pegawai negeri harus bersedia ditempatkan di mana saja.
Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini menjelaskan, dengan adanya zonasi maka bisa dibuat pemetaan mana sekolah yang kelebihan atau kekurangan guru. Sehingga nanti guru yang selama ini mengajar di sekolah favorit nanti harus dirotasi untuk merasakan bagaimana mengajar di sekolah nonfavorit.
Menurut Muhadjir sekolah itu bisa berstatus favorit karena gurunya juga hebat. "Dengan demikian kita bisa tahu sekolah itu bagus karena kinerja sekolah atau memang siswanya yang terpilih," jelasnya.
Guru besar Universitas Negeri Malang ini menerangkan, Kemendikbud ingin tidak ada guru yang mengajar dan pensiun di satu sekolah sejak pertama kali mengajar. Hal demikian tidak diperbolehkan, menurut Muhadjir, maksimum guru mengajar di satu sekolah hanya selama empat hingga lima tahun dan selebihnya harus dirotasi. Muhadjir juga menginginkan agar semua guru PNS bisa mengalami dinas mengajar di kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) sehingga kualitas pendidikan bisa merata.
Mendikbud menyampaikan bahwa pada akhir Juli ini Kemendikbud akan mengundang seluruh kepala dinas untuk melakukan evaluasi sistem zonasi ini. Sekaligus juga untuk mendata sehingga bisa membuat pemetaan berapa siswa yang bersekolah dalam satu zonasi dan juga distribusi gurunya. “Kebijakan zonasi ini untuk membantu menganalisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru,” tuturnya.
Anggota Komisi X DPR My Esti Wijayanti dalam kesempatan kemarin menjelaskan, distribusi guru memang sudah menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah. Namun kemauan pemerintah untuk merotasi guru ini harus dilakukan dengan kajian mendalam. Sebab, masih banyak daerah yang kekurangan guru dan juga ada penumpukan guru. Sehingga dikhawatirkan jika tidak ada kajian maka distribusi guru sesuai zonasi ini tidak akan tepat sasaran.
Politikus PDIP ini menjelaskan, distribusi guru harus segera dilaksanakan agar jangan sampai persoalan guru ini menjadi penghambat pendidikan di beberapa wilayah tertentu. Dia memandang sistem zonasi memang baik dilakukan di seluruh Indonesia. Sistem zonasi menjadi bagian untuk memberikan ruang bagi siswa yang tidak mampu mendapatkan akses pendidikan yang memadai.
Melalui zonasi pula, lanjut dia, paradigma menilai kualitas pendidikan semata-mata dari nilai ujian pun terhapus. Esti menambahkan bahwa kualitas sekolah yang bagus pula tidak bisa dipandang semata karena hasil ujian nasional (UN) yang bagus. “Saya sepakat bahwa UN tidak menjadi salah satu parameter pokok di dalam menentukan anak tersebut diterima di sekolah,” tegasnya.
Sementara Anggota Komisioner Ombudsman RI (ORI) Achmad Su’adi menjelaskan, pihaknya memang mendukung pemerintah untuk melakukan sistem zonasi. Dukungan ini dengan alasan adanya sekolah favorit hanya akan menimbulkan ketidak adilan. Dia berasumsi, adanya kastanisasi sekolah favorit dan tidak favorit menjadi sumber korupsi dan hanya akan membangun segregasi.
Meski mendukung adanya zonasi namun dia menyampaikan sejumlah permasalahan yang harus menjadi perhatian. Pertama, adalah mepetnya peraturan tentang sistem zonasi dikeluarkan oleh Kemendikbud. Dia mengatakan, Permendikbud No 14/2018 tentang PPDB baru dikeluarkan pada bulan Mei sehingga pemerintah daerah pun kelabakan. ‘’Maka kami berharap tahun depan aturan baru keluar lebih awal sehingga pemerintah daerah bisa menyesuaikan,” sebutnya.
Su’adi melanjutkan, beramai-ramainya orang kaya mengaku miskin dengan membawa surat keterangan tidak mampu (SKTM) pada saat pendaftaran menunjukkan mentalitas kelas menengah yang belum selesai dengan masalahnya. Dia mengaku heran, bahwa di daerah yang sulit seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) ataupun Kalimantan tidak ada masalah SKTM. Masalah SKTM malah justru muncul di perkotaan yang terbilang maju.
Su’adi mengatakan, terkait zonasi sekolah persoalan kesadaran dan mentalitas masyarakat yang harus terus dibangun. Karena itu yang selama ini menjadi titik kelemahannya. “Terkait SKTM harus ada koordinasi dengan Kemendagri. Kita ketahui hingga saat ini Kemendagri yang paling siap untuk persoalan SKTM. Pemerintah daerah harus segera siap terkait penerapan zonasi ini,” jelasnya.
Masalah blankspot atau siswa yang tidak diterima di sekolah manapun juga harus menjadi perhatian. Suadi mengatakan, harus ada diskresi kepada pemerintah daerah untuk mengatasi blankspot. Misalnya wilayah di kawasan pegunungan atau kepulauan yang minim fasilitas sekolah harus ada diskresi.
Namun tidak hanya di kawasan terpencil diskresi diperlukan sebab ORI juga menerima laporan di Bandung ada sekitar 150 siswa yang belum mendapat sekolah atau tidak tertampung di sekolah negeri ataupun swasta. "Hal-hal seperti itu harus cepat dicarikan jalan keluar," ujarnya. (Neneng Zubaidah)
Pemerintah ingin guru bisa mengajar tidak hanya di sekolah favorit namun menyebar agar kualitas pendidikan pun semakin merata. Karena itu arah kebijakan sistem zonasi sekolah memang akan berdampak pada pendidikan. Salah satunya adalah distribusi guru, di mana hingga saat ini masih terjadi ketidakmerataan guru.
Karena itu guru akan dirotasi dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan zonasi masing-masing. “Kita akan lakukan tour of duty guru. Sebab masih banyak guru yang ngumpul di beberapa sekolah saja,’’ kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy saat diskusi Forum Merdeka Barat bertajuk Zonasi Sekolah untuk Pemerataan di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Jakarta, kemarin.
Muhadjir optimistis guru akan bisa di distribusikan karena sudah ada UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengatur bahwa seluruh pegawai negeri harus bersedia ditempatkan di mana saja.
Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini menjelaskan, dengan adanya zonasi maka bisa dibuat pemetaan mana sekolah yang kelebihan atau kekurangan guru. Sehingga nanti guru yang selama ini mengajar di sekolah favorit nanti harus dirotasi untuk merasakan bagaimana mengajar di sekolah nonfavorit.
Menurut Muhadjir sekolah itu bisa berstatus favorit karena gurunya juga hebat. "Dengan demikian kita bisa tahu sekolah itu bagus karena kinerja sekolah atau memang siswanya yang terpilih," jelasnya.
Guru besar Universitas Negeri Malang ini menerangkan, Kemendikbud ingin tidak ada guru yang mengajar dan pensiun di satu sekolah sejak pertama kali mengajar. Hal demikian tidak diperbolehkan, menurut Muhadjir, maksimum guru mengajar di satu sekolah hanya selama empat hingga lima tahun dan selebihnya harus dirotasi. Muhadjir juga menginginkan agar semua guru PNS bisa mengalami dinas mengajar di kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) sehingga kualitas pendidikan bisa merata.
Mendikbud menyampaikan bahwa pada akhir Juli ini Kemendikbud akan mengundang seluruh kepala dinas untuk melakukan evaluasi sistem zonasi ini. Sekaligus juga untuk mendata sehingga bisa membuat pemetaan berapa siswa yang bersekolah dalam satu zonasi dan juga distribusi gurunya. “Kebijakan zonasi ini untuk membantu menganalisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru,” tuturnya.
Anggota Komisi X DPR My Esti Wijayanti dalam kesempatan kemarin menjelaskan, distribusi guru memang sudah menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah. Namun kemauan pemerintah untuk merotasi guru ini harus dilakukan dengan kajian mendalam. Sebab, masih banyak daerah yang kekurangan guru dan juga ada penumpukan guru. Sehingga dikhawatirkan jika tidak ada kajian maka distribusi guru sesuai zonasi ini tidak akan tepat sasaran.
Politikus PDIP ini menjelaskan, distribusi guru harus segera dilaksanakan agar jangan sampai persoalan guru ini menjadi penghambat pendidikan di beberapa wilayah tertentu. Dia memandang sistem zonasi memang baik dilakukan di seluruh Indonesia. Sistem zonasi menjadi bagian untuk memberikan ruang bagi siswa yang tidak mampu mendapatkan akses pendidikan yang memadai.
Melalui zonasi pula, lanjut dia, paradigma menilai kualitas pendidikan semata-mata dari nilai ujian pun terhapus. Esti menambahkan bahwa kualitas sekolah yang bagus pula tidak bisa dipandang semata karena hasil ujian nasional (UN) yang bagus. “Saya sepakat bahwa UN tidak menjadi salah satu parameter pokok di dalam menentukan anak tersebut diterima di sekolah,” tegasnya.
Sementara Anggota Komisioner Ombudsman RI (ORI) Achmad Su’adi menjelaskan, pihaknya memang mendukung pemerintah untuk melakukan sistem zonasi. Dukungan ini dengan alasan adanya sekolah favorit hanya akan menimbulkan ketidak adilan. Dia berasumsi, adanya kastanisasi sekolah favorit dan tidak favorit menjadi sumber korupsi dan hanya akan membangun segregasi.
Meski mendukung adanya zonasi namun dia menyampaikan sejumlah permasalahan yang harus menjadi perhatian. Pertama, adalah mepetnya peraturan tentang sistem zonasi dikeluarkan oleh Kemendikbud. Dia mengatakan, Permendikbud No 14/2018 tentang PPDB baru dikeluarkan pada bulan Mei sehingga pemerintah daerah pun kelabakan. ‘’Maka kami berharap tahun depan aturan baru keluar lebih awal sehingga pemerintah daerah bisa menyesuaikan,” sebutnya.
Su’adi melanjutkan, beramai-ramainya orang kaya mengaku miskin dengan membawa surat keterangan tidak mampu (SKTM) pada saat pendaftaran menunjukkan mentalitas kelas menengah yang belum selesai dengan masalahnya. Dia mengaku heran, bahwa di daerah yang sulit seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) ataupun Kalimantan tidak ada masalah SKTM. Masalah SKTM malah justru muncul di perkotaan yang terbilang maju.
Su’adi mengatakan, terkait zonasi sekolah persoalan kesadaran dan mentalitas masyarakat yang harus terus dibangun. Karena itu yang selama ini menjadi titik kelemahannya. “Terkait SKTM harus ada koordinasi dengan Kemendagri. Kita ketahui hingga saat ini Kemendagri yang paling siap untuk persoalan SKTM. Pemerintah daerah harus segera siap terkait penerapan zonasi ini,” jelasnya.
Masalah blankspot atau siswa yang tidak diterima di sekolah manapun juga harus menjadi perhatian. Suadi mengatakan, harus ada diskresi kepada pemerintah daerah untuk mengatasi blankspot. Misalnya wilayah di kawasan pegunungan atau kepulauan yang minim fasilitas sekolah harus ada diskresi.
Namun tidak hanya di kawasan terpencil diskresi diperlukan sebab ORI juga menerima laporan di Bandung ada sekitar 150 siswa yang belum mendapat sekolah atau tidak tertampung di sekolah negeri ataupun swasta. "Hal-hal seperti itu harus cepat dicarikan jalan keluar," ujarnya. (Neneng Zubaidah)
(nfl)