Ikhtiar di Bidang Pendidikan Agar Menjadi yang Terbaik di Asia

Senin, 29 Oktober 2018 - 10:44 WIB
Ikhtiar di Bidang Pendidikan...
Ikhtiar di Bidang Pendidikan Agar Menjadi yang Terbaik di Asia
A A A
Setelah infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi fokus pemerintah. Berbagai langkah dan upaya dilakukan untuk menjadikan SDM Indonesia sebagai yang terbaik.

Pendidikan tinggi memiliki peran yang signifikan dalam ikhtiar ini. Kondisi pendidikan tinggi saat ini masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai akreditasi, kualitas dosen, publikasi riset, sampai sarana dan prasarana. Kepala Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Tjan Basarudin menyebut ada peningkatan dalam kaitannya perbaikan kualitas pendidikan tinggi.

Hal itu bisa dilihat dari bertambahnya perguruan tinggi yang mendapatkan akreditasi A pada 2018 ini. Dari 4.600-an perguruan tinggi, hanya 1.700 yang sudah terakreditasi. Sementara dari 1.700 yang sudah diakreditasi, 73 perguruan tinggi terakreditasi A, 608 terakreditasi B, dan 1.019 terakreditasi C.

“Dari hasil penilaian akreditasi kami, ada peningkatan. Misalnya dalam empat tahun terakhir, jumlah perguruan tinggi yang dapat A cukup signifikan meningkat dua kali lipat. Bahkan, tahun 2015 itu kurang dari setengah jumlah yang sekarang. Termasuk juga program studi yang akreditasinya A,” ungkapnya.

Namun, dia menyayangkan masih banyak perguruan tinggi yang belum terakreditasi. Padahal, sesungguhnya hal ini tidak dibenarkan, tetapi masih belum ada tindakan bagi perguruanperguruan tinggi tersebut. Ini diperparah dengan ketidakpedulian masyarakat terkait status perguruan tinggi.

“Ini macam-macam penyebabnya. Mungkin belum punya waktu ataupun komitmen.
Dari sisi undang-undang, itu kan sudah wajib. Masyarakat kita baru melihat prodi tanpa institusi. Padahal, keduanya harus diurus. Dampaknya, kemarin saat rekrutmen CPNS pada kebingungan dan tidak bisa ikut karena tak ada akreditasi,” ujarnya.

Dari segi kualitas dosen, Tjan menyebut ada peningkatan dari segitingkat pendidikan, yang saat ini sudah tidak ada lagi dosen dengan latar belakang pendidikan strata satu (S-1). Jumlah dosen bergelar S-2 dan S-3 pun semakin meningkat. Kondisi ini masih perlu ditingkatkan karena belumlah cukup.

“Seharusnya yang jadi dosen S-3 semua dan yang S-2 makin sedikit. Kalau dilihat sekarang proporsinyakan masih banyak S-2 daripada S-3. Kemudian kalaupun S-3 itu lulusan mana? Jadi PR-nya masih banyak,” ungkapnya.

Terkait dengan dosen, dia juga menyoroti kemampuan dalam mengelola pembelajaran. Hal ini tidak kalah dengan latar belakang pendidikan dosen sehingga masih perlu dikembangkan. Terlebih lagi, bagi dosen-dosen di perguruan tinggi vokasi seperti politeknik.

“Dosen vokasi di poltek bukan hanya kualifikasi saja, tapi harus banyak ditingkatkan sertifikasi di bidang kompetensi. Yang mengajar ngelas harus tersertifikasi sebagai pengelas. Pengajar di bidang kuliner juga harus ada sertifikat di bidang kuliner. Sertifikasi ini yang masih sangat kurang. Hasil penilaian kami itu sertifikasi hanya di politeknik besar dan itu pun belum banyak proporsinya,” ungkapnya.

Mengenai sarana-prasarana, Tjan mengataku tidak melakukan penilaian langsung. Namun, dengan meningkatnya akreditasi perguruan tinggi, pasti akan diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana.

“Mungkin untuk prasarana umum seperti ruang, laboratorium dasar sudah ada. Tapi yang namanya peralatan canggih untuk riset serius itu masih belum,” paparnya.

Dalam hal publikasi, Tjan mengatakan jika dilihat secara parsial memang meningkat begitu tajam. Tapi kalau dilihat secara mendalam, masih publikasi utama pada konferensi dan bu - kanlah jurnal. Jika di negara maju ukuran kualitas publikasi itu bukan hanya dari sisi jumlah dan sitasi, tapi banyak ukuran lain.

“Misalnya, sejauh mana adopsi hasil penelitian itu oleh industri. Memang ini kita belum punya data yang konkret. Bahkan, jika kita lihat bagaimana hubungan antara perguruan tinggi dan industri, itu juga belum terjamah,” katanya.

Menurut dia, banyak faktor yang bisa dijadikan alat pengukur kualitas pendidikan tinggi. Misalnya saja angka pengangguran terbuka dari lulusan perguruan tinggi yang masih belum sesuai harapan, yang mana hal ini disebabkan oleh banyak hal dan bukan saja peran pendidikan tinggi.

“Misal pengangguran terbuka ini bukan tidak mampu bekerja, tapi karena sektor riilnya atau lapangan pekerjaannya belum ada. Variabelnya banyak. Tapi dalam waktu bersamaan, orang akan menagih bahwa jika sistem pendidikannya baik dan efektif, maka harusnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Jadi tidak simpel dan tidak linear,” paparnya.

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) M Nasir mengatakan, dalam hal pembangunan, SDM memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan harus berkelanjutan.

Selama empat tahun ini, sudah banyak capaiancapaian yang dilakukan pemerintah. Dari meningkatnya jumlah perguruan tinggi terakreditasi A sampai jumlah publikasi riset internasional meningkat pesat.

“Posisi Indonesia tidak pernah melebihi Thailand. Tapi per tanggal 10 Oktober 2018, publikasi ilmiah internasional Indonesia telah berhasil menghasilkan 20.610 publikasi. Sudah mengungguli Thailand dan Singapura. Lalu awalnya hanya 19 perguruan tinggi yang akreditasinya A, terus jadi 26. Saya minta diubah dengan pendampingan. Ini jadi 73. Target saya 100. Masih 23. Kita akan kejar,” tandasnya.

Dalam hal peningkatan kapasitas dosen, dia akan mendorong sistem pembelajaran daring agar lebih sederhana. Dengan begitu maka dapat dilakukan kuliah jarak jauh untuk S-3. Saat ini pun, ujarnya, sudah banyak dosen yang ikut program beasiswa LPDP. Ini juga menambah jumlah dosen yang bergelar S-3.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6238 seconds (0.1#10.140)